Di tengah gemuruh dunia pendidikan yang sering kali dipenuhi jargon-jargon megah, kita tak jarang dihadapkan pada kenyataan pahit: keberadaan guru besar abal-abal.
Dalam dunia yang seharusnya berorientasi pada kualitas, keberadaan guru besar tanpa integritas menjadi bencana yang mengancam masa depan pendidikan kita.
Dengan mengedepankan target yang tidak masuk akal, guru besar abal-abal ini mengajarkan mahasiswa bukan untuk berpikir kritis, melainkan mencari celah demi mendapatkan nilai. ”Lulus, sudah cukup!” mungkin adalah moto mereka.
Di ruang kelas, mereka lebih sering memutar ulang materi yang sama setiap tahun, seolah-olah pendidikan film yang bisa diputar ulang tanpa ada perubahan. Diskusi mendalam? Jangan harap.
Dalam sebuah seminar, kita sering kali menemukan mereka berkilau dengan gelar di depan nama, mengeluarkan jargon-jargon ilmiah yang membuat pendengar terkesima. Namun, ketika kembali ke kampus, mereka lebih suka menciptakan atmosfer nyaman yang membuat mahasiswa merasa seperti sedang berada di kafe daripada di kelas.
Ruang kelas adalah tempat mereka menghabiskan waktu dengan presentasi yang lebih mirip slide show daripada diskusi intelektual. Akhirnya, mahasiswa pun terjebak dalam rutinitas yang monoton: datang, duduk, mendengarkan, dan pergi tanpa ada perubahan berarti.
Dalam suasana yang serba santai ini, lahirlah generasi mahasiswa yang lebih mengenal cara mendapatkan nilai daripada cara berpikir kritis. Jika ujian ada di depan mata, mereka lebih memilih untuk menghafal informasi daripada memahami. Toh, yang penting lulus, bukan? Satu lagi prestasi yang berhasil mereka capai: gelar sarjana di tangan, tanpa harus mengalami proses belajar yang sesungguhnya. Apakah ini yang kita sebut pendidikan?
Kondisi ini diperparah dengan kenyataan bahwa banyak universitas yang lebih mementingkan akreditasi daripada kualitas pendidikan itu sendiri. Dalam perlombaan mengejar status, guru besar abal-abal ini berusaha mempertahankan citra institusi, dengan cara apa pun yang diperlukan. Mereka menjadi pelukis andal, menciptakan lukisan indah di atas kertas akreditasi, sambil menyembunyikan fakta pahit di balik layar. Gelar ”terakreditasi” seolah menjadi tameng bagi kualitas pendidikan yang merosot.
Sebagai mahasiswa, kita perlu berani mempertanyakan keberadaan mereka yang menyandang gelar guru besar, tetapi tidak memberi dampak positif bagi kita.
Saatnya kita mengajak semua pihak untuk mengedepankan integritas dalam pendidikan. Universitas perlu lebih selektif dalam memilih tenaga pengajar dan tidak hanya melihat gelar di depan nama. Mari kita kembalikan pendidikan ke jalur yang benar, di mana kualitas menjadi prioritas utama. Pendidikan bukanlah kompetisi untuk mendapatkan gelar, melainkan sebuah perjalanan untuk menemukan jati diri dan memahami dunia.
Kita harus menjadikan pendidikan sebagai wadah untuk mencetak pemimpin, inovator, dan agen perubahan yang siap menghadapi tantangan zaman. Jika tidak, kita hanya akan terjebak dalam lingkaran setan sarjana tanpa kualitas yang siap mengisi kursi kosong di dunia kerja.
Jangan biarkan gelar menjadi sekadar hiasan. Pendidikan harus bermakna dan menghasilkan lulusan yang mampu memberikan kontribusi nyata bagi bangsa.
Nahlu Hasbi Heriyanto
Arosbaya, Bangkalan, Jawa Timur