Madu dan Racun Si Seksi Kecubung
Dalam tradisi pengobatan Bali, kecubung dikenal sebagai tanaman untuk obat. Namun, penggunaannya dioles, bukan dimakan.
Mungkin sekali cerpenis Danarto cuma melihat kecubung dari satu sisi. Bahwa ia simbol dari kesucian, keseimbangan, dan kelembutan hidup. Perempuan Bunting yang menjadi tokoh utama dalam cerpen bertajuk ”Kecubung Pengasihan” itu, setelah dicampakkan oleh komunitas sosialnya, akhirnya bertemu dengan Tuhan. Laku ”spiritual” yang ia jalani, dengan memakan bunga-bunga di sebuah taman, justru mengantarkannya kepada kesadaran tentang reinkarnasi.
Bunga-bunga setiap hari secara ”sengaja” menyerahkan diri untuk menjemput ”kematian” yang bermanfaat. Jasad bunga-bunga yang akan membentuk tubuh Perempuan Bunting, menjadi pengorbanan untuk menuju reinkarnasi dalam bentuk yang lebih sempurna. Bahkan, dalam cerpen itu juga diberi ilustrasi bagaimana Sang Buddha menjalani reinkarnasi sebanyak 530 kali.
Sebanyak 42 kali terlahir sebagai orang yang dipuja-puja. Lalu 85 kali menjadi raja. Terus 24 kali menjadi pangeran. Kemudian 22 kali menjadi orang terpelajar. Lalu 2 kali menjadi maling. Lalu 1 kali menjadi budak. Lalu 1 kali menjadi penjudi. Kemudian berkali-kali menjadi singa, rusa, kuda, burung, rajawali, banteng, ular, dan juga katak….
Rasa-rasanya, Danarto tidak berangkat dari tanaman kecubung. Sebagai penggemar batu akik semasa hidupnya, ia menafsirkan kecubung sebagai pembawa keseimbangan hidup, pembawa perlindungan spiritual, dan keberuntungan bagi siapa pun yang memiliki batu tersebut. Warna batu akik kecubung yang seksi, seperti ungu, merah, dan hijau telah membuat banyak penggemarnya jatuh cinta. Bisa jadi Danarto menafsirkan batu ini juga membawa ”pengasih-asih” lewat ”persahabatan” saling menguntungkan antara Perempuan Bunting dan sekawanan bunga di taman.
Mari kita lihat fakta berikut ini. Sejak Jumat (5/7/2024) sebanyak 47 warga di Banjarmasin, terpaksa dilarikan ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Sambang Lihum Banjarmasin. Mereka mengalami mabuk berat dan halusinasi setelah diduga mengonsumsi pil racikan dari kecubung. Tragisnya, dua orang yang dirawat di RSJ dinyatakan meninggal.
Mabuk kecubung, sebagaimana unggahan dalam banyak akun media sosial, membuat pelakunya mengalami halusinasi. Mereka bertingkah aneh. Beberapa di antaranya duduk di jalan raya yang ramai, meloncat ke atas atap, atau berendam di selokan.
Sebagai bunga, kecubung (Datura metel), yang bentuknya seperti terompet dengan warna putih dan ungu, tampak seksi. Oleh sebab itu, banyak penyuka tanaman hias memilih kecubung sebagai tanaman di kebun. Belakangan muncul varian kecubung dengan warna kuning, merah muda, dan oranye. Dulu, di halaman rumah kami di kampung, Bapak menanam kecubung berwarna putih. Ia menyebutnya sebagai bunga semprong atau sompret karena bentuk bunganya yang memang mirip terompet.
Bukan tanpa alasan Bapak menanamnya. Dalam warisan tradisi pengobatan Bali, kecubung dikenal sebagai tanaman yang bisa bermanfaat untuk obat. Saat nenek mengalami nyeri kaki karena mungkin rematik, Bapak menumbuk buah kecubung yang bulat berduri seperti terong, lalu dioleskan sebagai boreh di kaki nenek. Esoknya nenek sudah bisa berjalan lagi.
Aku tak ingat lagi, kapan kecubung di halaman rumah kami itu tak ada lagi. Mungkin sekali saat kami membangun rumah baru, mengganti rumah lama yang sudah berusia lebih dari setengah abad. Kebun di samping kiri halaman rumah terkena garis rumah kami yang ”mencoba” mengikuti tatanan rumah Bali.
Hal yang kuingat suatu hari datang seorang lelaki, yang kira-kira usianya sudah di atas 60 tahun. Aku mengenalnya sebagai saudara sepupu jauh dari Bapak. Ia datang protes dan marah-marah, bahkan hendak melabrak Bapak. Anaknya selama seharian bertingkah seperti orang gila, setelah mengonsumsi buah kecubung.
”Kamu yang kasi tahu bahwa buah kecubung baik buat obat keseleo. Masih ingat?” katanya sepupu Bapak.
”Ya benar,” jawab Bapak singkat.
”Anak saya kemarin keseleo saat main bola di sawah, lalu makan buah kecubung….”
Bapak terlihat kaget. Ia mundur beberapa langkah.
”Maaf…,” kata Bapak kemudian, ”Buah kecubung bukan untuk dimakan, tetapi cukup dioleskan saja di kaki yang bengkak.”
”Sekarang kamu tanggung jawab! Anakku jadi orang gila….”
Aku tak ingat persis, bagaimana kejadian itu kemudian berakhir. Hal yang kuingat, sejak itu aku tahu bahwa kecubung seperti madu dan racun. Ia bisa menjadi tanaman obat apabila digunakan dengan cara yang benar, tetapi juga bisa mencelakakan apabila digunakan secara salah.
Pada seluruh bagian pohon kecubung, dari bunga, daun, batang, biji, dan akar, terdapat senyawa bernama alkaloid, seperti skopolamin, hiosiamin, dan atropin. Senyawa ini memiliki efek halusinogen, gangguan penglihatan, demam, mulut kering, muntah, dan peningkatan detak jantung. Terkadang juga disertai kesulitan bernapas, kejang, dan kematian.
Ini mungkin yang terjadi pada 47 orang di Banjarmasin beberapa waktu lalu. Mengapa mereka dilarikan ke RSJ, ya, karena memang gejalanya (mungkin) mirip seperti yang dialami oleh anak dari sepupu Bapak tadi.
Aku tak ingat persis, bagaimana kejadian itu kemudian berakhir. Hal yang kuingat, sejak itu aku tahu bahwa kecubung seperti madu dan racun.
Tak tahu persis, halusinasi macam apa yang dialami para pengguna atau pemakan kecubung. Aku punya bandingannya begini. Mungkin masih ingat serial buku Harry Potter karya JK Rowling? Konon, dalam perjalanan dari Manchester ke London, dari jendela kereta, Rowling seolah-olah sedang melihat seorang remaja tanggung berkacamata bundar, bertubuh kerempeng, terbang dengan sebuah sapu.
Terbang dengan sebuah sapu mengingatkan kita pada tipikal nenek sihir, bukan? Itu adalah imajinasi yang hidup di benak publik sejak abad ke-15 di Eropa. Bahwa ada seorang nenek sihir yang hidup dengan kuali besar dan sapu terbang. Setidaknya, menurut pengakuan seorang pendeta bernama Guilaume Edelin tahun 1453. Ia melihat ibunya keluar dari cerobong asap sambil mengendarai sapu terbang.
Orang-orang yang punya ”imajinasi” liar semacam ini dulu secara serta-merta dicap sebagai penyihir. Mereka biasanya dihukum gantung atau dibakar di hadapan publik. Rasanya, Guilaume Edelin juga kemudian dihukum karena dicap sebagai penyihir.
Dalam penelitian berikutnya kemudian terbukti bahwa fantasi tentang nenek sihir dengan sapu terbang itu dihasilkan oleh halusinogen setelah mengonsumsi gandum hitam. Di dalam gandung hitam terdapat senyawa bernama ergot, yang membuat pemakannya berhalusinasi seperti nenek sihir tadi.
Seperti ditayangkan dalam National Geographic, Minggu (22/9/2022), penulis dan fotografer asal Jerman, Gustav Schenk, pernah mencoba ramuan (nenek sihir), yang disebut Henbane, tahun 1966.
”Saya mengalami sensasi terbang yang memabukkan,” kata Schenk waktu itu. Ia menambahkan, ”Saya melayang di mana halusinasiku sedang berputar-putar.”
Pengakuan serta percobaan terhadap dirinya oleh Schenk ini mengukuhkan teori tentang keberadaan ergot yang dihasilkan oleh jamur Claviceps purpurea dalam roti gandum hitam. Konon kesadaran akan keberadaan ergot itulah yang membuat para ”penyihir” bereksperimen untuk membuat semacam salep dan dioleskan pada bagian genital manusia. Sesudahnya, akan muncul sensasi terbang menggunakan sapu, sebagaimana yang sampai kini hidup dalam imajinasi publik tentang keberadaan nenek sihir.
Baca juga: Pertarungan tak adil merebut sekolah favorit
Oh, satu lagi. Ketika akhir tahun 1960-an, saat merebak fenomena hippies di Pantai Kuta, Bali, mereka tak hanya membawa persaudaraan dunia, tetapi juga ”ilmu” halusinasi. Dulu, orang Bali tidak tahu kalau mengonsumsi jamur kotoran sapi bisa menimbulkan efek halusinasi.
Setelah fenomena hippies jamur ini terkenal dengan sebutan magic mushroom, alias jamur yang bisa menimbulkan efek ”sihir” dalam diri seseorang. Di dalam magic mushroom terdapat zat bernama psilosibin, yang menyebabkan penggunanya berhalusinasi tingkat tinggi. Misalnya, mengalami kegembiraan dan kesedihan pada tingkat ekstrem (Bisa baca lagi: ”Hippies”, Roman Made-Peter di Bali).
Sesudah era itu, banyak para pemuda di perdesaan Bali mempraktikkan cara-cara serupa. Mereka membuat pancake dari magic mushroom. Tahun 1980-an, di kampungku sangat sering terdapat para pemuda mabuk karena mengonsumsi jamur tahi sapi. Seseorang pernah pula mengaku bisa terbang, lalu ia benar-benar menceburkan dirinya ke dalam sungai yang berair deras. Masih untung pemuda itu bisa diselamatkan teman-temannya.
Jadi, di balik keseksian kecubung, yang memberi imbas keindahan dan kesembuhan, terdapat bahaya yang mengintai. Di balik kelezatan roti gandum hitam, yang jadi makanan sehari-hari bangsa Eropa pada abad ke-14 Masehi, terdapat efek halusinasi yang membuatmu bisa dihukum sebagai penyihir. Tak main-main, kekuasaan gereja waktu itu bisa menghukummu dengan hukuman bakar atau gantung. Tuduhan sebagai penyihir adalah kejahatan tingkat tinggi yang bisa membuatmu menjadi ”binatang” buruan.
Selain itu, di balik kesederhanaan dan keterpinggiran jamur tahi sapi, terdapat sebutan keren magic mushroom, yang bisa mengantarmu ke gerbang halusinasi, bahkan kematian. Seluruh tumbuhan dan makanan yang dekat dengan kehidupan kita sehari-hari, sebagaimana tadi telah kau ketahui, tersimpan misteri yang mesti disikapi secara hati-hati.
Peristiwa halusinogen kecubung di Banjarmasin tak sama dengan apa yang digambarkan Danarto lewat cerpen ”Kecubung Pengasihan”. Cerpen yang digolongkan berjenis surealis itu secara jelas berangkat dari tafsir terhadap batu akik berjenis kecubung, yang konon membawa dampak keberuntungan dan perlindungan spiritual bagi penggunanya. Ada pesan spiritual yang dalam ketika Perempuan Bunting ditolak komunitas gelandangan. Ia yang selalu kalah berebut sisa makanan di tong sampah, akhirnya hanya memakan bunga-bunga di taman.
Peristiwa ”hanya” memakan bebungaan itu adalah kecenderungan panteistik, sebuah jalan ketuhanan, di mana pelakunya tidak lagi terikat oleh sifat-sifat kebendaan. Bunga adalah simbol keindahan dan kesucian yang, sekali lagi, mengantarkan manusia ke jalan Tuhan.
Adapun tanaman kecubung yang kita kenal sejak dulu hingga hari ini ibarat madu dan racun. Di dalam tubuh pohon ini terdapat senyawa alkaloid, yang bisa menyembuhkan, tetapi juga bisa membuatmu berhalusinasi seperti orang gila. Itulah jawaban mengapa 47 orang ”korban” kecubung itu diangkut ke rumah sakit jiwa. Anda dan saya tentu tak mau gila, kan? Mulai hari ini, hati-hati jika bertemu dengan si seksi bernama kecubung.
Baca juga: Dongeng tentang naga di Tanah Papua
Putu Fajar Arcana, Jurnalis Kompas 1994-2022, Sastrawan, Sutradara, Perupa, dan Redaktur Tamu Sastra Kompas.