Perguruan Tinggi Era ”Post-truth”
Gonjang-ganjing PT sebagai institusi pakar dan kepakaran terdepan yang viral belakangan ini potret era ”post-truth”.
Saat ini semua kanal informasi publik diramaikan oleh berita yang dikenal sebagai the fake professorship scandal di lingkungan perguruan tinggi.
Skandal ini tidak hanya melibatkan para profesor secara personal dan internal institusinya, tetapi juga pihak-pihak eksternal, seperti editor jurnal, tim asesor angka kredit, bahkan pejabat di lingkungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Publik juga tahu bahwa kejadian ini bukan pertama kali. Sebelumnya, perguruan tinggi (PT) juga dihebohkan dengan berita tentang praktik plagiarisme, kepengarangan (authorship) tidak sah, penganugerahan gelar doktor dan jabatan profesor karier kepada dosen, dan/atau profesor kehormatan kepada pejabat publik dan politik.
Semua itu melibatkan mereka yang dianggap publik sebagai pakar/ahli dari kalangan PT. Lambat laun kepercayaan publik terhadap pakar, kepakaran, produk kepakaran, dan juga institusi kepakaran mulai berkurang dan runtuh.
Baca juga: Mengejar Jabatan Guru Besar
Berkurang atau bahkan runtuhnya kepercayaan publik terhadap pakar, kepakaran, produk kepakaran, dan juga institusi kepakaran, termasuk PT, tampaknya bukan semata-mata karena revolusi industri informasi berbasis internet. Sebuah revolusi yang memungkinkan informasi yang tersedia secara melimpah dan terperikan di berbagai kanal, seperti Google, Wikipedia, dan blog.
Revolusi yang telah menciptakan sebuah information-oriented world, tiap orang bisa memperolehnya dengan mudah, cepat, dan gratis. Publik awam bahkan berani mengklaim bahwa mereka bisa belajar secara mandiri dan menjadi pakar, serta membangun kepercayaan diri bahwa mereka pun bisa menjadi ahli dalam segala hal (everyone is as smart as everyone else).
Runtuhnya kepercayaan publik terhadap pakar, kepakaran, produk kepakaran, dan juga institusi kepakaran, juga sebagian, bahkan mungkin lebih banyak, disebabkan oleh kecurigaan dan ketidakpercayaan publik kepada pakar/ahli dan institusi kepakarannya.
Mereka, para pakar dan institusinya itu, tidak lagi dianggap mampu untuk ”memelihara tradisi akademik” (maintain academic tradition) yang agung dan sah. Para pakar dan institusinya (PT) dicurigai dan ”terbukti” telah mengabdi dan bekerja untuk para penguasa atau untuk kepentingan kekuasaan (appeals to authority).
Hal ini ditegaskan oleh Tom Nichols (2017) dalam bukunya yang menganalisis fenomena ”matinya kepakaran” (The Death of Expertise), menemukan sejumlah korelasi yang menjadi penyebab, mengapa publik meninggalkan kaum intelektual, ahli/pakar dan institusinya.
Menurut dia, publik curiga ”sebagian” pakar/ahli telah mengabdi dan bekerja untuk para penguasa atau untuk kepentingan kekuasaan (appeals to authority). Publik mencurigai adanya ”persekongkolan” antara pakar/ahli/kalangan PT dengan kekuasaan.
Lambat laun kepercayaan publik terhadap pakar, kepakaran, produk kepakaran, dan juga institusi kepakaran mulai berkurang dan runtuh.
Hampir seabad lalu, tepatnya tahun 1927, Julien Benda (2014) telah mengungkap fenomena pengkhianatan intelektual karena dianggap bersekongkol dengan penguasa melalui karyanya yang monumental, The La Trahison des Clercs (The Treat of The Intellectuals).
Pengkhianatan yang terjadi karena kalangan intelektual Perancis waktu itu melakukan korupsi intelektual dengan berkolaborasi dengan Nazi.
Para intelektual, kata Benda, telah meninggalkan tugas utamanya, yaitu mencari kesenangan dalam praktik seni atau sains atau spekulasi metafisik; dan tidak terlibat dalam kegiatan atau yang memberikan keuntungan material atau mengejar tujuan-tujuan praktis yang bersifat material.
Mereka, para intelektual (des clercs), oleh Benda dituduh telah terlibat dalam kancah politik (kekuasaan), dan mengabdikan diri pada kegiatan politik praktis, serta menjelma menjadi petualang politik yang sangat menikmati segenggam kekuasaan. Bersikap anti terhadap hak-hak asasi, anti-perikemanusiaan, dan anti-moralitas.
Cendekiawan atau intelektual sebagai pemegang otoritas sah tradisi agung universitas sejatinya adalah mereka ”yang berumah di angin”, kata WS Rendra. Atau seperti kata Edward Said, mereka sosok yang bebas, independen, dan tak berada dalam sistem (kekuasaan).
Mereka, kata Ali Syariati, seorang sosiolog asal Iran, adalah ”rauzan fikr” (manusia yang tercerahkan), sosok yang berpijak hanya pada kebenaran yang tinggi, dengan segala nilai-nilai, perspektif, dan norma melekat di dalamnya.
Tak bisa dimungkiri, profesor sebagai jabatan akademik tertinggi pada PT merupakan impian dan harapan dari setiap anggota sivitas akademika. Apa pun mereka lakukan untuk meraihnya. Tak jarang pula di antara mereka melanggar integritas dan etika akademik agar bisa meraih jabatan profesor.
Melanggar etika akademik
Kemendikbudristek mengidentifikasi sejumlah pelanggaran etika akademik yang dilakukan oleh sivitas akademika dalam penulisan karya ilmiah untuk kepentingan kenaikan jabatan akademik, termasuk jabatan akademik profesor.
Pertama, fabrikasi, yaitu membuat data penelitian atau informasi yang tidak faktual atau fiktif. Kedua, falsifikasi, yaitu merekayasa data atau informasi penelitian.
Kesalahan, sekecil apa pun, tak bisa didiamkan tanpa dikomunikasikan.
Ketiga, plagiat, yakni mengambil sebagian atau seluruh karya milik orang lain tanpa menyebut sumbernya secara tepat; menulis ulang sebagian atau seluruhnya karya milik orang lain tanpa melakukan paraphrase; atau mengambil gagasan milik sendiri tanpa menyebutkan referensinya.
Keempat, kepengarangan tak sah (authorship), yakni mengagungkan diri sebagai pengarang bersama tanpa berkontribusi nyata dalam proses penelitian dan penulisan artikel; menghilangkan nama seseorang yang berkontribusi; atau menyuruh orang lain membuatkan karyanya.
Kelima, konflik kepentingan, yakni menulis artikel hasil penelitian yang menguntungkan atau merugikan pihak tertentu.
Keenam, pengajuan jamak, yakni mengirimkan artikel ilmiah yang sama ke beberapa jurnal sehingga berpotensi dimuat di lebih dari satu jurnal (Tempo, 7/7/2024).
Runtuhnya kepercayaan publik terhadap pakar, kepakaran, produk kepakaran, dan juga institusi kepakaran (PT), menurut Nichols (2017), juga karena kekhilafan mereka sendiri yang tidak segera disikapi secara cerdas dan bijak.
”Experts are not infallible. They have made terrible mistakes, with ghastly consequences” (p.10), kata Nichols (2017).
Kesalahan bisa terjadi karena berbagai hal, seperti kesengajaan, penipuan (falsifikasi, fabrikasi), arogansi atas kepercayaan diri yang berlebihan, atau karena faktor manusiawi biasa.
Karena itu, tidak sedikit hasil-hasil pemikiran dan penelitian hasil atau produk kepakaran yang kemudian ”salah”, tidak terbukti secara empiris/sosiologis, menyebabkan kerugian atau petaka bagi alam dan manusia, serta menimbulkan ”distrust” kepada pakar dan kepakarannya.
Kesalahan, sekecil apa pun, tak bisa didiamkan tanpa dikomunikasikan. Karena itu, sangat penting bagi pakar dan institusi kepakaran untuk memberikan pengertian dan edukasi kepada publik, bagaimana dan mengapa kesalahan itu terjadi, dan mengapa pula ahli/pakar bisa berbuat salah.
Edukasi dan diseminasi hasil-hasil pemikiran dan penelitian pakar merupakan ruang dialog antara pakar-publik untuk menciptakan publik sebagai konsumen ahli yang cerdas. Bukan sekadar konsumen pasif yang hanya menerima produk kepakaran dari institusi kepakaran (PT).
Edukasi dan diseminasi juga sangat penting untuk membangun keyakinan publik tentang cara-cara para ahli membangun kepakarannya. Jika ini tak dilakukan dan diabaikan, setiap apa yang dilakukan para ahli, sekecil apa pun, akan menjadi umpan bagi publik untuk menyerang kepakaran mereka, dan pada akhirnya akan berujung pada ketidakpercayaan publik pada pakar atau kepakaran.
Tak jarang pula di antara mereka melanggar integritas dan etika akademik agar bisa meraih jabatan profesor.
Gonjang-ganjing PT sebagai salah satu institusi pakar dan kepakaran terdepan yang viral belakangan ini, disadari atau tidak, merupakan potret PT era post-truth, yaitu ketika PT tak lagi berkomitmen untuk menjaga etika dan integritas akademik sehingga menggerus kewibawaan akademiknya karena banyak sivitas akademikanya menjadi petualang akademik.
Jika sudah begitu, jangan salahkan masyarakat yang membangun sendiri kebenarannya karena PT tak lagi menjadi mercusuar kebenaran.
Mohammad Imam FarisiDosen Universitas Terbuka