Kebijakan Mematikan Perguruan Swasta
Sejumlah kebijakan pendidikan cenderung mematikan perguruan swasta. Ini bisa menjadi bumerang bagi pemerintah.
Istilah perguruan di sini mengacu pada institusi pendidikan dari tingkat taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Istilah ini jamak dipakai Tamansiswa. Saat mendirikan Tamansiswa pada 3 Juli 1922, Ki Hadjar Dewantara tidak memakai istilah sekolah, tetapi memakai kata perguruan, yang berasal dari kata paguron (tempat tinggal para guru/pamong).
Dalam tulisan ini dipakai istilah perguruan karena yang dibahas bukan hanya sekolah, melainkan juga perguruan tinggi (PT), yang sama-sama merasakan adanya kebijakan pemerintah yang cenderung mematikan eksistensi perguruan swasta.
Sejarah mencatat bahwa pada masa kolonial, tatkala akses pendidikan formal yang diselenggarakan pemerintah kolonial amat terbatas, kehadiran perguruan swasta yang didirikan Muhammadiyah, Tamansiswa, Nahdlatul Ulama (NU), Zending, dan Misionaris menjadi pilar utama masyarakat untuk memperoleh pendidikan formal, karena terbuka untuk semua warga. Bahkan, Ki Hadjar Dewantara memproklamasikan Perguruan Tamansiswa sebagai perguruan rakyat. Peran utama itu masih terasa sekali sampai tiga dekade awal kemerdekaan, tatkala pemerintah masih miskin untuk mendirikan sekolah dan kampus.
Baca juga: Perlu Kemitraan Pemerintah dan Sekolah Swasta
Pemerintah baru mampu membangun sekolah secara masif setelah ada keuntungan besar dari ekspor minyak (oil boom). Mulai 1973, pemerintah Orde Baru mendirikan puluhan ribu SD Inpres di seluruh pelosok Tanah Air. Namun, Presiden Soeharto mencanangkan Program Wajib Belajar Enam Tahun baru pada 1984, dan pencanangan Program Wajib Belajar Sembilan Tahun baru pada 1994.
Pascapencanangan dua program wajib belajar tersebut, peran perguruan swasta, khususnya untuk tingkat pendidikan dasar, mulai menurun. Namun, untuk tingkat menengah dan tinggi, peran perguruan swasta masih dominan. Saat ini murid SMK swasta dan mahasiswa PTS lebih banyak dibandingkan murid SMKN dan PTN.
Menyadari pentingnya peran perguruan swasta itulah, sampai tiga dekade awal kemerdekaan kita mengenal sekolah swasta ”bersubsidi”. Statusnya sekolah swasta, tetapi 100 persen pembiayaannya ditanggung negara. Ada pula sekolah swasta ”berbantuan”, yaitu status sekolah swasta, tetapi 50 persen pembiayaannya ditanggung negara.
Keberadaan sekolah-sekolah tersebut hilang setelah pemerintah menerapkan akreditasi sekolah yang melahirkan stratifikasi sekolah swasta menjadi ”terdaftar, diakui, dan disamakan”. Namun, bantuan untuk perguruan swasta masih tetap diberikan berupa bantuan guru/dosen PNS negeri yang diperkerjakan di perguruan swasta (guru/dosen Dpk), bantuan biaya operasional, dan lain-lain.
Langkah mundur
Saat ini, eksistensi perguruan swasta, dari tingkat taman kanak-kanak (TK) hingga PT mengalami ancaman berat, bukan karena ketidakmampuan manajerial dari para pengelola, melainkan karena langkah mundur pemerintah dengan membuat kebijakan-kebijakan yang cenderung mematikan perguruan swasta. Akibatnya, perguruan swasta dibiarkan berjalan sendiri tanpa dukungan pendanaan dari pemerintah secara signifikan, seakan-akan mereka yang bersekolah/kuliah di swasta itu bukan warga Indonesia yang juga membayar pajak dan melaksanakan segala kewajibannya sebagai warga negara.
Langkah mundur pertama itu diawali dengan menghapus jabatan struktural di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang mengurusi perguruan swasta. Sampai akhir masa Orde Baru, di Kemendikbud ada pejabat setingkat eselon II yang khusus mengurusi perguruan swasta dari tingkat TK sampai PT. Namun, pada saat menyusun UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), keberadaan jabatan tersebut tidak dipayungi.
Semangatnya saat itu adalah ingin menghapuskan diskriminasi antara negeri dan swasta. Adanya jabatan struktural yang khusus mengurusi perguruan swasta berarti pemerintah melakukan diskriminasi. Namun, faktanya di lapangan, setelah tidak ada jabatan struktural yang khusus mengurusi perguruan swasta di Kemendikbud, nasib perguruan swasta dari TK sampai PT semakin merana karena tidak punya induk lagi.
Konsekuensi dari lahirnya UU ASN ini tidak ada lagi bantuan guru/dosen PNS/P3K untuk perguruan swasta.
Langkah mundur kedua adalah penghentian bantuan guru/dosen Dpk. Kebijakan ini bermula dari keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Dalam Pasal 1 Ayat (3) PP tersebut dinyatakan bahwa ”Instansi adalah instansi pemerintah pusat dan instansi pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota”. Sementara Pasal 2: ”Pengangkatan tenaga honorer menjadi calon pegawai negeri sipil berdasarkan PP ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga tertentu pada instansi pemerintah”.
Peraturan Pemerintah No 48/2005 itu kemudian diperkuat dengan lahirnya UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), yang direvisi dengan UU No 20/2023 tentang ASN. Secara substantif, kedua UU itu mendefinisikan ASN sama dengan definisi di PP No 48/2005.
Konsekuensi dari lahirnya UU ASN ini tidak ada lagi bantuan guru/dosen PNS/PPPK (pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja) untuk perguruan swasta. Bahkan, ada sejumlah daerah yang ekstrem, yaitu guru Dpk yang sudah lama bertugas di sekolah swasta ditarik ke sekolah negeri.
Untuk tingkat PT, tidak ada penarikan dosen Dpk dari PTS, tetapi bantuan baru untuk dosen Dpk sudah tidak ada lagi sehingga seluruh kebutuhan guru/dosen di perguruan swasta menjadi tanggung jawab penuh penyelenggara. Dan yang lebih tragis lagi adalah para guru/dosen honorer di perguruan swasta yang lolos seleksi menjadi guru/dosen PPPK tidak dikembalikan ke sekolah asal, tetapi ditempatkan di sekolah negeri/PTN.
Guru/dosen itu merupakan komponen biaya terbesar dalam pengelolaan pendidikan. Ketika komponen biaya terbesar ini tidak mendapat dukungan dari pemerintah lagi, maka ancaman nyata bagi keruntuhan perguruan swasta. Bantuan pemerintah untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah itu hanya berupa dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang besarannya amat tergantung jumlah murid. Sementara untuk PTS, bantuan diperoleh melalui dana hibah kompetitif yang besarannya amat minim dibandingkan kebutuhan.
Langkah mundur pemerintah yang ketiga adalah birokratisasi pendidikan dan pajak. Birokratisasi pendidikan itu berupa keharusan bagi sekolah swasta untuk memperbarui izin pendirian sekolah setiap lima tahun sekali. Izin pendirian sekolah semestinya berlaku sekali untuk selamanya, sepanjang tidak melanggar UU Sisdiknas.
Sementara yang dikeluhkan oleh PTS sekarang adalah beban pajak yang tinggi, baik Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) maupun Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Bantuan dosen Dpk dihentikan, tetapi beban pajaknya membebani penyelenggara PTS.
Baca juga: Pembagian Beban Biaya Pendidikan Tinggi
Keempat, kebijakan pendidikan yang mematikan keberadaan perguruan swasta itu juga tampak jelas pada proses penerimaan murid/mahasiswa baru. Ada fenomena kapal keruk dalam penerimaan murid/mahasiswa baru di sekolah negeri/PTN. Di tingkat pendidikan dasar dan menengah pemerintah cenderung menambah daya tampung sekolah negeri dengan dua cara, yaitu menambah kapasitas kelas dari 32 murid menjadi 36 atau bahkan sampai 40 murid; serta menambah unit sekolah baru di wilayah yang banyak sekolah swasta.
Di wilayah DKI Jakarta bahkan muncul kebijakan yang merugikan sekolah swasta, yaitu murid-murid SMP-SMA/SMK swasta yang berprestasi diberi kebebasan pindah ke SMP-SMA/SMK negeri setelah naik kelas II/III. Akibatnya, banyak sekolah swasta yang pada tahun pertama memiliki murid banyak, tetapi pada tahun kedua/ketiga jumlah muridnya berkurang banyak.
Sementara di tingkat PT, fenomena kapal keruk tersebut dilakukan oleh PTN ataupun PTNBH dengan memperbesar penerimaan mahasiswa baru melalui jalur mandiri dan membuka program studi baru agar dapat menerima mahasiswa lebih banyak lagi. Hal itu disebabkan subsidi dari pemerintah semakin kecil, sementara PTN/PTBH tetap dituntut meningkatkan kualitasnya, sehingga pimpinan PTN dan PTNBH harus menggali sumber pendanaan dari mahasiswa.
Bumerang bagi pemerintah
Kebijakan mematikan perguruan swasta itu sebetulnya dapat menjadi bumerang bagi pemerintah karena harus menanggung sendiri seluruh pembiayaan pendidikan warganya. Seandainya pemerintah bersikap bijak dengan tetap memberikan dukungan kepada perguruan swasta, tidak harus membangun gedung sekolah/kampus baru yang investasi dan perawatannya jauh lebih besar dibandingkan dengan membantu perguruan swasta, baik berupa guru/dosen Dpk maupun biaya operasional.
Apabila mendirikan unit sekolah baru, pemerintah harus menyediakan lahan luas, membangun gedung baru beserta perlengkapan dan peralatannya, serta menyediakan guru secara penuh. Namun, apabila memberdayakan sekolah swasta yang ada, pemerintah cukup memberikan bantuan guru Dpk, dana BOS, dan dana pembinaan saja yang dapat diberikan secara insidental. Hal yang sama terjadi di tingkat pendidikan tinggi.
Memberikan bantuan dosen Dpk kepada PTS serta bantuan gedung dan perlengkapan secara insidental jelas lebih kecil dibandingkan dengan mendirikan PTN baru. Di tengah keterbatasan anggaran sektor pendidikan, langkah kebijakan mendukung eksistensi perguruan swasta jelas lebih efisien dan efektif dibandingkan dengan membuat kebijakan yang mematikan perguruan swasta.
Pemerintah tidak boleh lupa sejarah terkait dengan peran besar perguruan swasta pada masa-masa awal kemerdekaan. Niat pemerintah untuk memperingan biaya pendidikan bagi warganya tidak harus disertai dengan cara mematikan peran perguruan swasta, sebaliknya justru perlu mendukung keberadaan perguruan swasta.
Baca juga: Sekolah Swasta Dijual Saja
Dengan memberikan dukungan pendanaan kepada perguruan swasta, pemerintah dapat melakukan kontrol terhadap tata kelola perguruan swasta agar tidak memberatkan masyarakat. Namun, saat ini rasanya tidak fair apabila pemerintah melakukan kontrol terhadap perguruan swasta, sementara tidak memberikan dukungan pendanaan, sebaliknya justru cenderung mematikan.
Langkah pertama untuk menghidupkan kembali dukungan pemerintah terhadap perguruan swasta adalah merevisi UU ASN, khususnya mengenai definisi ASN, yang tidak hanya terbatas bekerja untuk instansi pemerintah, tetapi juga instansi yang menjalankan peran layanan dasar. Dengan demikian, pemerintah memiliki landasan yang kuat untuk memberikan bantuan guru/dosen Dpk kepada perguruan swasta, seperti pada masa lalu.
Langkah kedua adalah menghidupkan kembali direktorat perguruan swasta di Kemendikbudristek agar penyelenggara perguruan swasta memiliki induk yang jelas. Ketiga, stop mendirikan unit sekolah baru di lokasi-lokasi yang sudah banyak sekolah swasta dan stop pula menegerikan PTS-PTS yang sudah maju. Upaya untuk meningkatkan angka partisipasi pendidikan tinggi dapat dilakukan dengan dukungan pendanaan terhadap PTS agar PTS tidak memungut sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) yang tinggi sehingga terjangkau oleh semua warga dan tetap menjaga kualitas.
Ki Darmaningtyas, Pengurus Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI)