Gerakan Reformasi 1998 adalah gerakan untuk memperjuangkan demokrasi.
Oleh
BHAROTO
·2 menit baca
Reformasi 1998 adalah salah satu tonggak sejarah penting dalam perjalanan bangsa Indonesia, merupakan antiklimaks dari rezim Orde Baru. Buah reformasi antara lain penguatan demokrasi, penegakan supremasi hukum, kebebasan pers dan berpendapat, menolak dwifungsi ABRI, memberantas KKN, dan melahirkan lembaga-lembaga penting, seperti DPD, MK, dan KPK.
Pada awalnya, reformasi bergulir cukup kencang. Namun, seiring berjalannya waktu, pelan-pelan mulai melambat memudar, ditinggalkan, bahkan dikhianati, sebagaimana yang kita saksikan hari-hari ini. Hukum dijadikan alat sandera politik oleh penguasa. Pemerintah dan DPR menyiapkan beberapa rancangan undang-undang yang dinilai berpotensi menimbulkan masalah, misalnya revisi UU TNI dan Polri, UU Penyiaran, hingga UU Mahkamah Konstitusi. Berbagai upaya tersebut bisa mengurangi kekuatan penyeimbang, menghidupkan kembali dwifungsi ABRI, mengurangi peran pers sebagai alat kontrol, dan menghancurkan prinsip kemandirian lembaga yudikatif.
Bagaimana dengan pemberantasan KKN? Masalah korupsi dimulai dengan pelemahan KPK melalui revisi UU KPK, vonis hakim yang relatif ringan, dan UU Perampasan Aset terus digantung. Akibatnya, korupsi terus merajalela yang besarannya mencapai ratusan triliun rupiah, indeks persepsi korupsi pun terus menurun. Kolusi juga merebak dengan makin mengguritanya oligarki nepotisme dan munculnya politik dinasti.
Elite berkuasa tampak benar-benar telah melupakan semangat Reformasi 1998, sementara sebagian masyarakat sendiri tidak menganggap masalah jika terjadi kemunduran demokrasi, munculnya politik dinasti, korupsi yang terus merajalela, dan melemahnya kebebasan berpendapat. Semua masalah kebangsaan itu seakan tidak menyentuh kehidupan nyata sehari-hari sehingga memunculkan sikap permisif.
Harus diakui bahwa Reformasi 1998, yang telah berusia 26 tahun, seperti dikatakan seorang akademisi, ingatan tak pernah solid dan stabil apalagi mendekam lama di kepala kita. Ingatan dengan mudah hilang begitu saja. Gerakan Reformasi 1998 adalah gerakan untuk memperjuangkan demokrasi, lalu bagaimana agar demokrasi tidak semakin mengalami kemunduran?
Paling tidak diperlukan upaya berkelanjutan dan kolaborasi dari berbagai pihak untuk menjaga demokrasi tetap hidup dan menyalakan harapan masa depan bangsa yang lebih baik. Seorang akademisi terkemuka mengatakan bahwa ketika politik dan hukum buntu, maka ada jalan kebudayaan.
Tak heran kalau muncul percikan-percikan ungkapan sarat makna, seperti melik gendong lali (Butet Kartaredjasa), dan bener ora pamer (Alissa Wahid) sebagai kritik.
Momentum Reformasi 1998 harus terus diingat. Kita harus memelihara ingatan kolektif agar kita tidak melupakan apalagi mengkhianati dan cita-cita Reformasi 1998.
Tahun 2017 pemerintah meresmikan rumah subsidi yang berlokasi di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Perumahan subsidi yang bernama Villa Kencana itu kini dalam kondisi suram dan tidak terawat. Untuk warga yang menempati hingga saat ini juga banyak keluhan, seperti material bangunan yang mudah rusak dan kualitas air PAM yang jauh dari kata baik.
Seorang warga yang membeli rumah di sana bercerita, tetangganya cuma satu. Sisanya bangunan tak berpenghuni. Ini menunjukkan sepinya peminat. Pembangunan perumahan ini diduga tidak tepat sasaran karena banyak yang membeli rumah tersebut padahal sudah punya rumah. Ada juga yang membeli dengan tujuan investasi.
Banyaknya rumah subsidi yang terbengkalai sangat disayangkan. Apalagi jika dana pembangunannya berasal dari pajak. Banyaknya rumah subsidi yang dibangun kurang tepat sasaran perlu perhatian pemerintah agar subsidi yang diberikan dinikmati warga yang benar-benar membutuhkan.