Guru besar itu amanah, bukan jabatan mentereng untuk mendukung kekuasaan dan sekadar mengejar insentif ekonomi.
Oleh
BAGONG SUYANTO
·4 menit baca
Praktik culas untuk meraih jabatan guru besar sesungguhnya sudah berkali-kali terjadi di Tanah Air. Alih-alih sadar dan malu untuk berbuat hal yang melanggar etika dalam proses meraih guru besar, yang terjadi justru kiat-kiat menyiasati yang makin canggih. Tidak hanya oknum dosen yang tergoda memanfaatkan jalan pintas yang tak wajar, sebagian politisi dan pesohor di negeri ini juga dilaporkan terlibat dalam praktik pengajuan gelar profesor yang serba janggal.
Entah apa yang ingin dicapai, di Tanah Air tidak sedikit birokrat dan politisi yang dilaporkan telah menghalalkan segala cara untuk meraih jabatan guru besar. Bagi mereka, tambahan gelar profesor di depan namanya tampaknya menjadi kebanggaan tersendiri. Seorang guru besar yang dikatakan memiliki marwah dan tuah tersendiri dalam menyampaikan pendapatnya, sepertinya membuat sebagian oknum pejabat tergoda untuk ikut merasakan.
Dengan kuasa yang dimiliki, seorang politisi biasanya akan dapat memanfaatkan koneksi dan dukungan politik untuk mencantumkan namanya sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi. Tidak hanya memperoleh gelar profesor honoris causa dari pemberian sebuah perguruan tinggi tertentu, kini tren yang berkembang adalah mereka ingin memperoleh jabatan guru besar melalui jalur dunia pendidikan. Meski mereka mengajar hanya asal-asalan dan tidak melaksanakan tridharma perguruan tinggi dengan baik, yang penting berkat kekuasaan yang dimiliki mereka bisa saja mengajukan usulan ke Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Kasus guru besar dari Universitas Lambung Mangkurat yang kini tengah diperiksa Kemendibudristek dan pengusulan serta pemberian gelar profesor bagi sebagian politisi yang diduga dilakukan dengan cara melanggar etika, kini tengah menjadi perbincangan publik. Kondisi dunia pendidikan tinggi di Indonesia kini memang tidak sedang baik-baik saja.
Praktik publikasi abal-abal, serta birokrat dan politisi yang menghalalkan cara untuk mengejar jabatan guru besar adalah sedikit contoh dari karut-marut yang kini menodai dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Kasus ini bukan saja menampar kredibilitas perguruan tinggi, melainkan juga membuat masyarakat menjadi bertanya-tanya apa sebetulnya yang terjadi di dunia perguruan tinggi kita.
Rute lancung
Siapa pun dosen, sebetulnya sah-sah saja bercita-cita dan ingin meraih jabatan guru besar. Jabatan guru besar adalah prestasi tertinggi yang menjadi impian semua dosen di Tanah Air. Ini adalah bentuk pengakuan terhadap kompetensi akademik seorang dosen. Masalahnya adalah bagaimana cara yang ditempuh seorang dosen untuk meraih cita-citanya itu?
Sepanjang prosedur dan persyaratan yang diminta dapat dipenuhi dari hasil usaha yang tidak melanggar etika, tentu tidak masalah. Namun, ambisi untuk mengejar jabatan guru besar akan menjadi masalah jika cara untuk memperolehnya ternyata menerabas batas-batas moralitas—dan bahkan masuk ke wilayah pidana. Secara garis besar, ada sejumlah faktor yang mendorong seorang dosen dan politisi kemudian memilih rute yang tidak etis dalam meraih jabatan guru besar.
Pertama, karena mentalitas jalan pintas yang ingin menerabas rute resmi yang seharusnya dilalui. Di kalangan sebagian politisi di negeri ini, godaan mengejar jabatan guru besar memang bukan hanya insentif ekonomi tunjangan yang naik tiga kali lipat dari gaji pokok, tetapi lebih pada prestise atau gengsi.
Para pesohor dan politisi yang secara ekonomi mapan, bagi mereka jabatan guru besar adalah sesuatu yang membanggakan, yang akan membuat mereka tampak ”wah” di masyarakat, khususnya lingkungan sosialnya. Masalahnya adalah ketika mereka tidak memiliki kompetensi keilmuan dan waktu yang cukup untuk menulis artikel di jurnal internasional sehingga untuk meraih mimpinya, yang dilakukan lantas lebih banyak upaya menyiasati daripada memenuhi ketentuan yang berlaku.
Ambisi untuk mengejar jabatan guru besar akan menjadi masalah jika cara untuk memperolehnya ternyata menerabas batas-batas moralitas.
Kedua, jalan lancung menjadi guru besar dipilih karena untuk memenuhi persyaratan normatif pengajuan jabatan guru besar harus diakui bukan hal yang mudah. Seorang dosen yang ingin menjadi guru besar, syarat khusus yang harus dipenuhi adalah memiliki artikel di jurnal internasional yang bereputasi dan sekaligus menjadi koresponden author. Bagi dosen yang tidak memiliki pengalaman penelitian dan data yang memadai, tentu tidak mudah bagi mereka untuk dapat menulis artikel yang layak muat di jurnal internasional bereputasi.
Sebuah jurnal internasional yang bereputasi, kebanyakan tidak akan menerima artikel yang tidak memiliki basis data yang memadai. Seorang dosen yang tidak memiliki kegiatan penelitian, nyaris mustahil mereka dapat menulis artikel yang layak untuk jurnal internasional.
Ketiga, bagi sebagian dosen yang usianya sudah mendekati masa pensiun sebelum menduduki jabatan guru besar, godaan untuk segera memiliki artikel jurnal internasional bereputasi biasanya sangat besar. Akibat tekanan dan diburu waktu, tidak jarang sebagian dosen akhirnya berusaha menyiasati keadaan. Alih-alih berkonsentrasi untuk menulis artikel yang berkualitas, sebagian tak jarang tergoda untuk memperoleh artikel melalui berbagai cara yang tidak wajar.
Beberapa waktu lalu, sempat beredar informasi bahwa ada dosen bahkan yang sudah bergelar guru besar sekali pun ternyata memilih cara membeli artikel yang ditawarkan di dunia maya untuk memperbanyak dokumen artikel yang dimiliki. Bisa dibayangkan, ada dosen yang dalam tempo belum setahun sudah berhasil menulis 150 artikel lebih. Ini tentu sangat mustahil dilakukan dengan cara yang jujur.
Keempat, godaan untuk meraih jabatan guru besar dipilih melalui cara yang melanggar etika, karena dimanfaatkan jaringan tertentu yang mengetahui bahwa hal ini bisa dibisniskan untuk meraih keuntungan. Seperti dilaporkan di media massa bahwa tarif untuk dapat memperoleh artikel jurnal internasional cukup menyediakan dana Rp 70 juta-Rp 130 juta.
Di sini nanti akan ada pihak tertentu yang menyediakan jasa kepengurusan untuk kongkalikong dengan reviewer, oknum pemerintah yang berwenang dalam hal ini, serta pengelola jurnal abal-abal untuk memenuhi persyaratan mengusulkan jabatan guru besar. Bagi dosen yang tak sabaran dan tak menjaga marwah, mereka biasanya akan rawan tergoda memanfaatkan jalur yang tidak etis ini untuk meraih jabatan guru besar.
Menjadi guru besar sesungguhnya adalah amanah. Ini bukan jabatan mentereng yang dapat dibangga-banggakan untuk mendukung kekuasaan maupun sekadar mengejar insentif ekonomi. Seseorang yang bisa meraih cita-cita menjadi guru besar justru akan mengemban tanggung jawab yang besar karena ia akan dituntut untuk terus berkarya dan menyebarluaskan ilmu yang dimiliki demi kemajuan peradaban.
Kekeliruan memahami jabatan guru besar hanya sebagai gengsi, bukan saja mereduksi marwah jabatan ini, tetapi juga membuat yang bersangkutan dikiritik masyarakat. Di kampus mana pun, seorang guru besar yang tidak lagi pernah memproduksi artikel, buku, dan karya ilmiah lain, maka ia ibaratnya hanya menjadi etalase kosong.
Kalau melihat kartu namanya, mungkin orang lain akan segan dan menghormati jabatannya. Namun, ketika setelah memperoleh jabatan guru besar ternyata tidak ada sama sekali karya yang dihasilkan, maka bukan tidak mungkin masyarakat dan para users akan kecewa.
Di lingkungan masyarakat yang makin kritis, tantangan dan tuntutan yang dihadapi guru besar adalah pembuktian. Seorang guru besar yang tidak mampu membuktikan kompetensinya, jangan heran jika mereka justru hanya menjadi bahan tertawaan dan candaan publik—alih-alih mendapatkan respek.
Bagong Suyanto, Guru Besar FISIP Universitas Airlangga