Perang Rusia-Ukraina telah memasuki tahun ketiga. Hingga kini belum tampak tanda-tanda, kapan perang itu akan berakhir.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Ketika gempuran Rusia kian sengit, tambahan lima sistem pertahanan udara Patriot dan kedatangan pesawat tempur F-16 untuk Ukraina adalah ”sesuatu”.
Kehebatan Patriot mencegat rudal dapat berandil besar untuk menahan serangan udara Rusia. Seiring dengan itu, kehadiran F-16 yang piawai meladeni pertempuran udara dan melancarkan serangan jarak jauh akan menambah daya tahan sekaligus daya gedor Ukraina.
Memang Kyiv masih membutuhkan lebih banyak F-16 dan sistem pertahanan udara untuk bisa membalikkan keadaan. Namun, dengan tambahan alutsista itu, Ukraina akan mampu menghindari kerusakan lebih parah dan balik melawan. Di palagan Ukraina, F-16 akan menghadapi lawan tangguh sekelas SU-35 atau bahkan SU-57.
Komitmen bantuan tersebut dinyatakan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dalam konferensi tingkat tinggi di Washington DC, sekaligus memperingati 75 tahun NATO. Dalam kesempatan itu, NATO juga menegaskan terus melanjutkan dukungan jangka panjang untuk Ukraina. Bagi Kyiv, kebijakan tersebut signifikan bagi keberadaan mereka. Berapa pun jumlah bantuan yang dikucurkan, hal itu menambah panjang napas perjuangan Ukraina.
Dibentuk di era Perang Dingin, dukungan kepada Ukraina menegaskan bahwa kehadiran NATO masih relevan di masa kini. Meskipun Uni Soviet telah lama runtuh - menyusul berakhirnya Perang Dingin - NATO menilai, Rusia adalah penerus DNA Soviet. Oleh karena itu harus diwaspadai.
Dengan memberikan dukungan kepada negara-negara bekas Uni Soviet, termasuk menerima mereka menjadi anggota, NATO sejatinya hendak menegaskan relevansi itu. Kehadiran mereka bagaikan benteng yang bisa diposisikan NATO untuk ”menahan sekaligus mengepung” Rusia dan pengaruhnya di kawasan.
Pada masa-masa awal runtuhnya Uni Soviet, Moskwa yang saat itu masih berbenah memang tak mampu berbuat banyak. Akan tetapi, ketika Rusia di era Vladimir Putin telah berkembang lagi menjadi sosok yang kuat, Moskwa mulai mengingatkan NATO. Rusia tidak berkenan apabila NATO terus-menerus ”memperluas” kehadirannya, terutama di Eropa Timur.
Tak heran, ketika Ukraina yang berbatasan langsung dengan Rusia ingin bergabung dengan NATO, alarm Moskwa berteriak lebih kencang. Moskwa tidak bisa tinggal diam. Dan, akhirnya, Rusia menginvasi Ukraina, lalu terjadilah perang.
Kini perang itu telah memasuki tahun ketiga dan belum tampak kapan akan berakhir. Pada satu sisi, dukungan NATO memang membuat Ukraina dapat bertahan dari gempuran Rusia. Akan tetapi, upaya itu akan menjadi lebih positif apabila diiringi dengan usaha keras mewujudkan perdamaian.
Ketika Washington - sebagai dedengkot NATO - berpendapat bahwa perdamaian di Gaza hanya bisa terwujud dengan melibatkan Israel dan Palestina, demikian pula seharusnya dengan Ukraina. Akan sulit menghentikan perang di Ukraina jika dunia mengeksklusi Rusia.
Upaya bina damai hanya bisa terwujud apabila Ukraina, Rusia, serta Barat dan AS bersama-sama terlibat dan mengerem ego mereka masing-masing.