Sebagian besar karier politik Tan Malaka di bawah tanah. Ia diawasi dan dikejar intel dan polisi mancanegara.
Oleh
ARIEL HERYANTO
·4 menit baca
Belum pernah saya jumpai fiksi Indonesia tercetak atau film dengan lokasi kejadian sebanyak dan semajemuk novel yang saya baca belum lama ini. Lokasi peristiwa dalam novel ini meliputi sejumlah benua. Tempat-tempat itu tidak disebut selintas. Ada deskripsi rinci tentang berbagai jalan dan gedung. Bahkan, dipaparkan budaya lokal dan sejarah tempat-tempat itu. Jadinya novel rasa Wikipedia.
Kini novelis bisa menimba informasi dari Google untuk menulis detail begitu. Tapi, novel Spionnage Dienst (Patjar Merah Indonesia) diterbitkan tahun 1938. Penulisnya Matu Mona, samaran yang dipakai Hasbullah Parinduri, jurnalis koran Pewarta Deli di Medan. Jelas ia tekun mengumpulkan informasi tentang lokasi dan peristiwa di berbagai pelosok dunia dari berbagai sumber, termasuk koran dan majalah mancanegara.
Tokoh utama dalam novel ini hanya disebut dengan nama samaran Patjar Merah Indonesia. Tapi, jelas yang dimaksudkan adalah Tan Malaka (1897-1949), salah satu tokoh paling awal, radikal, dan kontroversial dalam sejarah perjuangan antikolonial Indonesia. Muhammad Yamin menjulukinya ”Bapak Republik Indonesia”. Pemerintah RI di bawah Presiden Soekarno mengangkatnya sebagai pahlawan nasional tahun 1963, yakni 14 tahun setelah ia ditembak mati oleh seorang tentara RI.
Berbeda dari banyak pejuang nasionalis lain, Tan Malaka muda berwawasan internasionalis. Baginya tujuan perjuangan antikolonial adalah perjuangan global kaum tertindas.
Tan Malaka tak setenar Soekarno dan Hatta di Tanah Air. Hidupnya banyak dijalani di rantau dan penuh misteri. Berkali-kali ia bentrok politik dengan Pemerintah RI pasca-Proklamasi. Novel tentang dirinya kurang dikenal di masa kini. Maklum, sejak diterbitkan, ia tergolong ”roman picisan” yang sejak dulu dicemooh elite sastra.
Dekade 1920-an penuh gegap gempita. Tahun 1921 pada usia 25 tahun, Tan Malaka terpilih sebagai Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI), menggantikan Semaun. Beberapa bulan kemudian ia ditahan pemerintah kolonial, lalu diasingkan ke luar Tanah Air. Belum setahun di pengasingan, ia menjadi peserta Komite Eksekutif dalam Kongres Komunis Internasional di Moskwa.
Berbeda dari banyak pejuang nasionalis lain, Tan Malaka muda berwawasan internasionalis. Baginya tujuan perjuangan antikolonial adalah perjuangan global kaum tertindas. Bukan sekadar kemerdekaan bangsa-bangsa terjajah secara terpisah. Baginya, itu pemahaman ”nasionalis” sempit alaEropa.
Ia juga berbeda pandangan dari arus utama dalam Kongres Komunis Internasional yang mengandalkan Eropa bagi perjuangan revolusioner. Bagi Tan Malaka, masa depan perjuangan revolusi dunia berpusat di Asia. Berbeda tajam dari tokoh-tokoh komunis dunia, Tan Malaka menyakini perlunya kerja sama kaum Komunis dengan gerakan progresif Pan-Islam.
Sebagian besar karier politik Tan Malaka di bawah tanah. Ia diawasi serta dikejar intel dan polisi mancanegara sebagai pelarian politik selama 20 tahun di sejumlah benua. Berkali-kali ia ditangkap atau dipenjara di satu negara, lalu diusir ke negara lain. Petualangannya merupakan bahan mentah yang dahsyat bagi yang penulis novel, apalagi jika dibumbui fantasi dramatis penulisnya.
Membaca novel karya Matu Mona ini mengingatkan saya akan film-film James Bond. Alur kisah dalam novel ini terfokus pada kisah spionase dan spionase-tandingan, diselingi romantika asmara. Sepak terjang tokoh-tokohnya melintasi beberapa benua. Mirip kisah James Bond, novel ini penuh adegan di tempat mewah yang gemerlap, minuman alkohol, wanita cantik, serta hubungan mesra antar pria-wanita yang berkelindan dengan intrik politik dan aparat negara. Beda dari James Bond, adegan erotis dan mabuk-mabukan dalam novel ini tidak melibatkan tokoh utama, seorang Muslim yang taat pada ajaran agama.
Sambutan pembaca novel itu tampaknya luar biasa. Sampai-sampai penerbitnya mendesak Matu Mona agar membuat novel lanjutan. Sejak itu terbitlah sejumlah novel lanjutan tentang Patjar Merah Indonesia, baik karangan Matu Mona maupun penulis lain.
Patjar Merah Indonesia juga mengingatkan saya pada novel-novel semi-historis karya Pramoedya Ananta Toer, seperti Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, dan Jejak Langkah. Walau kita tahu semua itu kisah fiksi, kita mudah terhanyut dalam suasana peristiwa yang dikisahkan. Membaca novel semacam ini pembaca bisa merasa sedikit belajar sejarah dengan cara yang jauh lebih memikat ketimbang membaca buku sejarah resmi.
Seperti tetralogi Pramoedya Toer, novel ini menampilkan banyak dialog panjang dan berat tentang politik dan sejarah. Berbagai bahasan seru tentang konflik antarnegara yang sedang berlangsung di saat para tokohnya berbincang. Walau bahasa Melayu menjadi bahasa utama dalam penuturan, beberapa dialog ditulis dalam bahasa Perancis dan Inggris. Istilah Belanda bertebaran dalam novel ini.
Berbeda dari Tan Malaka, beberapa tokoh PKI lain tampil dalam novel ini dengan nama yang mirip dengan nama asli mereka, Misalnya Paul Mussotte (Musso), Ivan Alminsky (Alimin), Semounov (Semaun), dan Darsonov (Darsono). Mengapa Tan Malaka dijuluki Patjar Merah Indonesia? Perlu dimaklumi, ”Patjar” dalam julukan itu tidak berkait dengan ”pacar” dalam Bahasa Indonesia mutakhir.
Istilah Patjar Merah adalah terjemahan dari Scarlet Pimpernel, nama bunga. Nama itu digunakan sebagai nama samaran tokoh fiksi Sir Percy Blakeney dalam sandiwara (1903) dan novel populer (1905) karya Baroness Orczy dengan judul yang sama. Blakeney adalah tokoh pahlawan serba-bisa yang mahir menyusup ke negara lain dengan menyamar.
Konon, novel Scarlet Pimpernel sudah diterjemahkan dalam bahasa Melayu dan populer 10 tahun sebelum terbitnya kisah Patjar Merah Indonesia. Menurut beberapa peneliti, julukan Pacar Merah Indonesia sudah diberikan pada Tan Malaka pada awal dekade 1930-an dalam terbitan pers lokal.
Novel Spionnage Dienst (Patjar Merah Indonesia) bukan buku sejarah. Di bab pengantar, penerbitnya menulis, ”Di dalam tjerita ini … soedah barang-tentoe adalah fantasie pengarangnja semata-mata, dan tidak ada kena-mengena dengan sesoeatoe kedjadian jang sebenarnja.”
Sambutan pembaca novel itu tampaknya luar biasa. Sampai-sampai penerbitnya mendesak Matu Mona agar membuat novel lanjutan. Sejak itu terbitlah sejumlah novel lanjutan tentang Patjar Merah Indonesia, baik karangan Matu Mona maupun penulis lain. Di Inggris Scarlet Pimpernel sudah berkali-kali dijadikan drama TV dan difilmkan. Mungkinkah Patjar Merah Indonesia akan tampil dalam sinema Indonesia?
Ariel Heryanto, Profesor Emeritus dari Universitas Monash, Australia