Geneva Memanggil dan Asa PRT
Forum ILC di Geneva membahas pentingnya ekonomi perawatan bagi pembangunan berkelanjutan. Ini asa bagi pelindungan PRT.
Pekerjaan layak dan ekonomi perawatan merupakan pusat kesejahteraan manusia, sosial, dan ekonomi. Ekonomi perawatan bertanggung jawab atas penyediaan perawatan dan layanan yang berkontribusi pada pemeliharaan, dukungan, dan reproduksi populasi saat ini dan masa depan.
Pekerjaan layak dan ekonomi perawatan (care economy) menjadi bahasan penting dalam Forum International Labour Conference (ILC) yang ke-112 tahun 2024 yang diselenggarakan di Geneva pada Juni lalu. Konferensi tahunan yang menghadirkan delegasi tripartit (pemerintah, pengusaha, pekerja/buruh) dari 187 negara-negara anggota International Labour Organization (ILO) ini juga membahas perlindungan pekerja terhadap bahaya biologis di lingkungan kerja dan prinsip-prinsip serta hak-hak dasar di tempat kerja.
Ekonomi perawatan mencakup semua pekerja di sektor pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan sosial, pekerja rumah tangga, serta individu yang melakukan pekerjaan perawatan tidak dibayar. Ekonomi perawatan sangat penting untuk pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan pekerjaan yang layak. Sebagian besar pekerjaan perawatan disediakan oleh negara, sektor swasta, sektor nirlaba, dan rumah tangga.
Baca juga: Partisipasi Kerja Perempuan Harus Meningkat
Pekerjaan layak dan ekonomi perawatan ini penting karena masyarakat dan ekonomi bergantung pada pekerjaan perawatan, dan berfungsi untuk mempertahankan pembangunan manusia, sosial, dan ekonomi. ILO mengelompokkan ekonomi perawatan sebagai pekerjaan yang mencakup 381 juta pekerjaan secara global–sekitar 11,5 persen dari total pekerjaan.
Pekerjaan perawatan yang tidak dibayar sebagian besar disediakan dalam rumah tangga atau keluarga, dan diperkirakan menyumbang 11 triliun dollar AS untuk ekonomi global setiap tahun. Pekerja rumah tangga (PRT) yang selama ini bekerja untuk mengurus rumah tangga dan anggota keluarga di dalamnya termasuk dalam kategori kerja perawatan (care-work) dan menjadi bagian dari ekonomi perawatan. Sebagai bentuk penghargaan dunia bagi PRT, ILO menetapkan tanggal 16 Juni sebagai Peringatan Hari PRT Internasional.
Di Indonesia, pilihan menjadi PRT tidak lepas dari kemiskinan. Hingga Maret 2024 Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan tingkat kemiskinan di Indonesia mencapai 9,03 persen atau 25,22 juta orang.
Di kelompok masyarakat miskin, menjadi PRT banyak dipilih sebagai alternatif karena syaratnya relatif mudah, yaitu tidak dibutuhkan ijazah atau sertifikat, hanya dibutuhkan tenaga untuk menjalani profesi tersebut. Kondisi ini sekaligus juga menempatkan mereka sebagai pekerja yang rentan.
Tiga fokus perhatian
Terkait PRT, paling tidak ada tiga isu yang menjadi fokus yang harus mendapatkan perhatian kita bersama. Pertama, kepastian hukum untuk melindungi PRT yang menjadi kebutuhan mendasar. Kedua, pengakuan PRT sebagai pekerjaan yang diatur dalam undang-undang serta pengakuan secara sosial ekonomi. Ketiga, perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan untuk memastikan untuk mendapatkan perlindungan dari segala risiko pekerjaan dan kesejahteraannya bersama dengan keluarganya.
Pada poin pertama, yaitu kepastian hukum terhadap PRT, sebagai pekerja informal mereka tidak memiliki payung hukum yang kuat jika mengalami ketidakadilan dalam bekerja. Banyak kasus menunjukkan, hak-hak PRT sebagai pekerja kurang terpenuhi, seperti upah yang layak, hak cuti dan libur, termasuk hak menjalankan ibadah dengan aman.
Terkait pengakuan PRT sebagai sebuah pekerjaan, pekerjaan PRT belum diakui dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tantang Ketenagakerjaan.
Data Kementerian Komunikasi dan Informatika pada 2015 menyebutkan sebanyak 2,5 juta PRT bekerja dengan kondisi 72 persen gaji dibayarkan di bawah upah minimum regional (UMR), 92 persen adalah perempuan yang sebagian besar berusia di bawah 18 tahun atau anak-anak. Banyak PRT bekerja tanpa mengenal libur, yaitu 14-18 jam sehari.
Berdasarkan data tersebut pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang mengatur standar minimum perlindungan PRT, agar hak mereka terpenuhi dan diperlakukan secara manusiawi. Namun, permen ini dipandang belum cukup kuat untuk memberikan kepastian secara hukum bagi PRT.
Poin kedua, terkait pengakuan PRT sebagai sebuah pekerjaan, pekerjaan PRT belum diakui dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tantang Ketenagakerjaan. Selayaknya pekerjaan yang lain, PRT juga mendapatkan upah untuk menjalankan ekonomi di keluarganya sendiri dan masyarakat di lingkungan keluarganya. Hal ini juga perlu diapresiasi sebagai golongan pekerjaan yang dilindungi dalam UU Ketenagakerjaan.
Seragam milik salah seorang baby sitter yang tengah menunggu panggilan kerja sebagai baby sitter infal untuk Lebaran di lembaga penyaluran pekerja rumah tangga PT Dani Mandiri di kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan, Rabu (23/4/2023).
Memanusiakan PRT
Pengakuan terhadap profesi PRT merupakan upaya untuk memanusiakan PRT sama dengan profesi lain dalam dunia kerja. Posisi yang tidak menguntungkan sebagai PRT membuat mereka lebih rentan mengalami kekerasan. Berdasarkan catatan Jaringan Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) pada 2017-2022, terdapat lebih dari 2.600 kasus kekerasan terhadap PRT. Tentu saja dalam kenyataannya lebih banyak lagi, apalagi hampir 90 persen PRT adalah perempuan yang selama ini lebih rentan mengalami kekerasan.
PRT yang mayoritas perempuan, selain rentan secara pekerjaan juga rentan secara sosial ekonomi. Berlatar belakang keluarga miskin dan pedesaan membuat PRT masuk dalam kategori sebagai pekerja rentan (miskin) yang perlu mendapatkan perhatian. Oleh karena itu, negara dituntut memberikan perlindungan sebagaimana termaktub dalam UUD RI Tahun 1945 pada Pasal 28 H Ayat (1) bahwa setiap warga negara berhak hidup sejahtera, lahir dan batin, bertempat tinggal, serta mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Karena itu, sudah selayaknya pemerintah yang sedang mengkaji skema Penerima Iuran (PBI) Jaminan Sosial Ketenagakerjaan bagi pekerja sektor informal memasukkan PRT sebagai penerima PBI. Dalam hal ini dukungan dari legislator untuk menerbitkan regulasi terkait skema PBI Jamsostek tersebut wajib ada.
Baca juga: Mayoritas Pekerja Rumah Tangga Tidak Mendapat Perlindungan Sosial
Pemerintah tengah menggodok regulasi untuk menjamin pelindungan hukum yang sesuai dengan karakteristik pekerjaan PRT yang bersifat domestik, yaitu Rancangan Undang-Undang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). Namun, sayangnya RUU PPRT ini belum juga disahkan.
Tantangan yang dihadapi PRT sebenarnya sudah tercatat dengan baik dalam naskah akademik RUU PRT tersebut. Di sana dijelaskan bahwa PRT rentan mengalami; a) jam kerja panjang/tidak dibatasi waktu, b) tidak ada waktu istirahat, c) tidak ada hari libur, d) tidak ada jaminan sosial, e) menerima perlakukan buruk seperti intimidasi dan isolasi. Artinya dalam menjalankan pekerjaannya, PRT masuk dalam situasi pekerjaan yang tidak memiliki norma-norma hukum selayaknya pekerja formal, pengawasan dari instansi yang berwenang, juga belum ada perjanjian kerja.
Untuk mencegah diskriminasi dan kekerasan terhadap PRT diperlukan pelindungan dan jaminan bagi pemenuhan hak-hak dasar PRT, kesejahteraan, serta pendidikan dan pelatihan kerja. Untuk keseimbangan hak dan kewajiban dalam hubungan kerja antara pekerja rumah tangga dengan pemberi kerja diperlukan regulasi yang mengatur dan memastikan hak-hak pelindungan PRT terpenuhi.
Selama ini PRT dalam praktik relasi sosialnya paling tidak melibatkan tiga pihak yang saling terkait, yaitu penyalur, pemberi kerja, dan PRT itu sendiri. Selama belum ada aturan khusus tentang PRT, pihak menyalur leluasa memainkan perannya, mulai dari pemberian informasi, perekrutan, penggajian dan kontrak antara PRT dengan pihak pemberi kerja.
Antara pekerja dan pemberi kerja tercipta interaksi dan ketergantungan, sehingga sudah selayaknya hak-hak pekerja diakui untuk dapat dilindungi secara hukum. Sehingga pengakuan sebagai pelaku kerja atau pekerja, dan pelindungan jaminan sosial menjadi sangat penting untuk dapat memberikan hak-haknya sebagai pekerja yang mendapatkan pelindungan.
Afirmasi sosial
Disadari, dalam melakukan pekerjaannya, PRT memiliki kerentanan terhadap risiko-risiko kerja yang harus dilindungi dan mendapatkan perhatian, termasuk dari pemberi kerja atau majikan. Pada sisi lain, karena faktor ketidakmampuan secara ekonomi dan ketidakmampuan terhadap pemahaman pelindungan sosial ketenagakerjaan maka dibutuhkan satu upaya yang bersifat afirmatif untuk bisa mewujudkan pelindungan sosial PRT. Bagaimana majikan atau orang yang berkemampuan lebih ikut peduli dengan para pekerja PRT di lingkungan sekitarnya.
Ketiga, terkait dengan pelindungan jaminan sosial adalah dengan mengikutsertakan PRT ke dalam program pelindungan jaminan sosial ketenagakerjaan sesuai amanah UU BPJS Ketenagakerjaan untuk melindungi seluruh pekerja di Indonesia. Dengan terlindunginya para PRT di dalam melakukan pekerjaannya, tidak hanya PRT saja yang diuntungkan, tetapi pemberi kerja, masyarakat secara umum serta perekonomian negara mendapatkan satu efek positif, yaitu dengan meningkatnya daya beli masyarakat. Dan ini berdampak secara positif kepada perekonomian nasional.
Sebagai bentuk kepedulian dan tanggung jawab terhadap para PRT untuk dapat bekerja dengan nyaman dan terlindungi, BPJS Ketenagakerjaan memiliki gerakan nasional yang diberi nama ”SERTAKAN” atau Sejahterakan Pekerja Sekitar Anda. Melalui gerakan ini, BPJS Ketenagakerjaan ingin mengajak seluruh pekerja formal atau penerima upah (PU) untuk turut peduli terhadap pelindungan jaminan sosial ketenagakerjaan para pekerja bukan penerima upah (BPU) yang ada di sekitarnya.
Baca juga: UU PPRT dan Indonesia Berkeadilan
Cara mendaftarkan dan membayar iurannya dapat dilakukan melalui aplikasi digital Jamsostek Mobile (JMO) yang menyajikan berbagai informasi dan layanan program termasuk daftar dan bayar iuran kepesertaan. Inovasi yang dilakukan ini merupakan jawaban atas kebutuhan para peserta yang selama ini peduli terhadap perlindungan dan kesejahteraan para pekerja BPU di dekat mereka, seperti kepada PRT, sopir pribadi, atau bahkan tukang sayur/roti, pedagang keliling langganan.
Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan mewajibkan para pekerja rentan atau bukan penerima upah untuk mendaftar minimal di dua program, yaitu Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM). Namun dalam perspektif kesejahteraan PRT ke depan, maka dua program tersebut dipandang belum cukup memadai, sehingga bisa didorong untuk melengkapi program yang akan memberikan tambahan manfaat di masa tuanya, yaitu dengan program Jaminan Hari Tua (JHT).
Atas dasar tiga fokus isu di atas, yaitu kepastian hukum, pengakuan PRT sebagai pekerjaan, dan pelindungan sosial, maka semakin menguatkan perlunya menghadirkan pelindungan hukum sebagai prasyarat yang paling mendasar yang perlu terus didorong agar PRT mendapatkan kepastian dan pengakuan secara formal maupun secara sosial. Dan yang tidak kalah penting dari itu adalah kepastian dalam mendapatkan jaminan pelindungan ketenagakerjaan.
Ini juga perlu mendapatkan perhatian dari segala pihak. Kita berharap kepada pemerintahan yang baru nanti agar RUU PRT yang sudah diinisiasi sejak 20 tahun yang lalu untuk segera ditindaklanjuti dan dituntaskan.
Muhammad Zuhri Bahri, Ketua Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan