Yang menjadi masalah adalah pelaksanaan uji emisi tidak optimal dan dilakukan secara insidental serta tidak konsisten.
Oleh
BUN B KUMALA
·2 menit baca
Harian Kompas edisi 29 Juni dan 3 Juli 2024 mengulas rencana pembatasan usia kendaraan maksimum 10 tahun di Daerah Khusus Jakarta dengan alasan ekses jumlah kendaraan di jalanan yang mengakibatkan kemacetan dan polusi udara.
Saya sangat setuju apabila sebelum peraturan dibuat harus melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk para pemilik kendaraan dan industri otomotif.
Di masyarakat kita masih banyak pemilik mobil yang cukup andal dalam memelihara mobil yang mereka miliki sehingga bisa bertahan lebih dari 10 tahun, bahkan 20 tahun lebih, dengan kondisi kendaraan yang optimal, layak pakai, dengan emisi bersih.
Yang menjadi masalah sekarang adalah pelaksanaan uji emisi tidak optimal dan dilakukan secara insidental serta tidak konsisten sehingga mengakibatkan pencemaran udara.
Jumlah kendaraan memang berkembang cepat seiring meningkatnya daya beli masyarakat, yang kita harus syukuri sebagai hasil pertumbuhan ekonomi masyarakat. Bukankah ini tugas Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Jakarta untuk menambah sarana jalan untuk mengurai kemacetan?
Memang sarana transportasi umum terus dikembangkan, hanya sayang jalur pedestrian masih minim dan banyak yang tidak nyaman bagi pejalan kaki, terutama para warga lansia dan penyandang disabilitas. Di negara maju, sarana pedestrian cukup baik dan nyaman/layak pakai.
Saya setuju apabila wilayah ganjil dan genap diperluas, dengan kendaraan listrik bebas memasuki wilayah tersebut, sehingga meningkatkan penggunaan kendaraan listrik, termasuk kendaraan roda dua.
Demikian sumbang saran saya sebagai pengguna jalan yang membutuhkan transportasi untuk melakukan kegiatan harian saya.
Saya tergelitik saat membaca artikel ”Luruskan Kembali Penggunaan Anggaran Pendidikan 20 Persen” (Kompas.id, 2 Juli 2024). Anggaran pendidikan yang jumlahnya mendekati Rp 700 triliun hampir setengahnya digunakan untuk keperluan dana desa dan transfer ke daerah.
Hal ini sah saja jika perangkat desa dan pemerintah daerah secara akurat dan efektif menggunakan dana tersebut untuk membuka akses pendidikan bermutu seluas-luasnya.
Riduan Situmorang dalam artikelnya, ”Menanti Sentralisasi Manajemen Pendidikan” (Kompas.id, 3 Mei 2023), merinci buruknya tata kelola pendidikan di era otonomi daerah. Sejak sebelum diterapkannya 20 persen APBD untuk pendidikan, telah muncul fenomena ”raja-raja kecil” yang menjadikan guru sebagai obyek politik hingga tanggung jawab pendidikan yang kabur antara lapisan pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
Bagaimana tujuan anggaran pendidikan bisa tercapai jika birokrasi buruk dan akuntabilitasnya berantakan?
Menambah jumlah anggaran pendidikan ibarat mempercantik kereta kuda sebelum memiliki kuda yang andal—pengelolaan pendidikan membutuhkan reformasi struktural dan kejelasan tugas pokok dan fungsi semua perangkatnya agar setiap rupiah yang dianggarkan dapat berdampak.
Pemerintah dan DPR mendatang wajib meninjau kembali kebijakan desentralisasi pendidikan yang telah berjalan selama dua dekade terakhir. Menempatkan pengelolaan pendidikan seluruh Indonesia di bawah satu badan yang bertanggung jawab dari hulu hingga hilir.
RUU Sisdiknas, yang pembahasannya belum juga selesai dan tidak dimasukkan ke dalam Prolegnas Prioritas 2024, patut dimasukkan pada Prolegnas Prioritas selanjutnya dan ditelaah oleh semua elemen masyarakat agar menghasilkan kebijakan yang holistik dan tepat sasaran.