Lebih baik membebaskan 1.000 orang yang bersalah daripada menghukum satu orang tak bersalah. Polisi belum melakukan itu.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
Pegi Setiawan (baju kuning) mengacungkan jempol saat keluar dari Direktorat Perawatan Tahanan dan Barang Bukti Kepolisian Daerah Jawa Barat, Kota Bandung, Senin (8/7/2024) malam sekitar pukul 22.00 WIB.
Terbuktinya kasus salah tangkap Pegi Setiawan menunjukkan polisi belum bekerja secara profesional berbasis rasionalitas dan sains.
Dalam hukum, khususnya hukum pidana, ada satu adagium terkenal yang wajib menjadi pegangan penegak hukum. Adagium yang dimaksud adalah lebih baik membebaskan 1.000 orang yang bersalah daripada menghukum satu orang tidak bersalah.
Dari adagium itu dipahami bahwa tanggung jawab penegak hukum teramat sangat besar. Mereka bukan sekadar penegak hukum, tetapi justru yang terpenting, jangan sampai mereka menghukum orang yang tak bersalah.
Namun, Pengadilan Negeri (PN) Bandung yang memutuskan status Pegi Setiawan sebagai tersangka tidak sesuai prosedur hukum, telah membuktikan polisi belum bekerja secara baik. Sebelumnya, Pegi mengajukan gugatan praperadilan atas penetapannya sebagai tersangka pembunuhan Vina Dewi Arsita dan Muhammad Rizky pada 2016.
TANGKAPAN LAYAR SIDANG PRAPERADILAN PEGI DI KOMPAS TV
Hakim tunggal Eman Sulaeman memimpin sidang praperadilan Pegi Setiawan di Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat, Jumat (5/7/2024).
Hakim PN Bandung, Eman Sulaeman, yang memimpin sidang praperadilan gugatan Pegi, seperti diberitakan Kompas pada 9 Juli 2024, menilai ada kesalahan penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jabar dalam penahanan hingga penetapan Pegi sebagai tersangka.
Pegi masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) tanpa disertai surat pemanggilan. Penyidik belum memeriksa Pegi untuk mengklarifikasi perkara tersebut. Hal ini menyalahi Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2014. Hakim pun memerintahkan Polda Jabar menghentikan penyidikan terhadap Pegi.
Salah satu tanggung jawab pemimpin kepolisian adalah memastikan setiap anak buahnya memanfaatkan kebijaksanaan dan pengalamannya untuk menjadikan lembaga mereka rasional dan ilmiah.
Pembunuhan remaja Vina-Rizky menyeret delapan orang sebagai terpidana dan tiga buron. Pegi ditangkap sebagai salah satu pelaku buron. Dari delapan terpidana, satu orang telah bebas dan tujuh lainnya diganjar hukuman seumur hidup.
Lima dari tujuh terpidana kini menggunakan putusan praperadilan Pegi sebagai bukti baru untuk mengajukan peninjauan kembali. Mereka turut lantang menyatakan sebagai korban salah tangkap.
Ontran-ontran penanganan kasus Vina-Rizky dan bebasnya Pegi memperkuat desakan publik agar polisi berbenah.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Marliyana (33), kakak Vina, menunjukkan foto adiknya di rumahnya di Jalan Kapten Samadikun, Kota Cirebon, Jawa Barat, Selasa (14/5/2024). Vina merupakan pelajar yang menjadi korban pembunuhan dan pemerkosaan pada 2016.
Polisi diingatkan bahwa profesionalitasnya dibangun dan diuji berbasis pendekatan ilmiah atau sains. Polisi harus mengedepankan pembuktian lengkap sesuai aturan berlaku juga menerapkan investigasi berbasis sains, bukan asumsi tak berdasar apalagi rekayasa atau pemalsuan saksi maupun bukti.
Pendekatan sains itu wajib agar polisi mampu memberikan manfaat besar dalam peningkatan efektivitas dan pelayanan publik yang lebih baik.
Di sisi lain, disadari bahwa kebijakan dan praktik kepolisian dipengaruhi pula oleh hukum, nilai, politik, dan opini publik.
Agar tetap profesional dan tidak terseret mengikuti pengaruh yang keliru, salah satu tanggung jawab pemimpin kepolisian adalah memastikan setiap anak buahnya memanfaatkan kebijaksanaan dan pengalamannya untuk menjadikan lembaga mereka rasional dan ilmiah.
Polri perlu bekerja keras mengembalikan profesionalitas dan kepercayaan publik pada lembaga mereka. Ingat, lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang sejatinya tidak bersalah.