Menggali kembali pengetahuan pengobatan berbasis kearifan lokal adalah cara menuju kemandirian di bidang kesehatan.
Oleh
SIWI NUGRAHENI, PENGAJAR FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN
·3 menit baca
Seorang kawan mengirim fotonya sedang nongkrong di kafe jamu Acaraki Gama dengan caption ”ikut melestarikan warisan leluhur”. Kafe yang berlokasi di Gedung Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada tersebut, antara lain, bertujuan memperkenalkan jamu di kalangan anak muda, dan dengan demikian diharapkan keberadaan jamu dapat lestari.
Fakultas Farmasi UGM dikenal cukup terbuka dalam mengembangkan obat-obatan berbasis tanaman asli Indonesia. Dulu disebut jamu, kini bernama obat herbal. Melihat foto tersebut, ingatan saya justru berkelana pada peristiwa beberapa tahun yang lalu, ketika kami berkunjung ke sebuah desa di Jawa Barat.
Di tengah situasi yang tidak mudah, penduduk desa tidak hanya mampu mempertahankan keyakinan mereka, tetapi juga makanan pokok mereka sehari-hari.
Tahun 2021, kami berkesempatan mengunjungi Cireundeu, sebuah desa adat. Kami mendapat banyak cerita tentang bagaimana masyarakat Cireundeu mampu bertahan dengan segala keunikan adat istiadat yang mereka miliki hingga saat ini. Mereka mampu merawat kepercayaan mereka kepada Sang Khalik yang mereka yakini, yaitu Sunda Wiwitan.
Kang Jajat, salah seorang pemuka desa tersebut, mengatakan, sebagai penganut kepercayaan yang tidak masuk dalam salah satu dari enam ”agama resmi” di Indonesia, penduduk desa menghadapi berbagai konsekuensi yang kurang menguntungkan di masa lalu. Namun, di tengah situasi yang tidak mudah, penduduk desa tidak hanya mampu mempertahankan keyakinan mereka, tetapi juga makanan pokok mereka sehari-hari.
Alih-alih makan nasi, mereka masih mempertahankan rasi, yaitu beras yang terbuat dari singkong dengan pengolahan khusus. Sebagian besar singkong yang digunakan sebagai makanan pokok dipanen dari ladang sendiri. Dengan rasi, penduduk Cireundeu mampu mencapai ketahanan pangan sampai saat ini.
Di antara cerita ”sukses” mempertahankan adat, budaya, dan kebiasaan leluhur, ada satu hal yang tidak terselamatkan. Kang Jajat bercerita, ketika pembangunan di bidang kesehatan masuk ke desa mereka dengan semua ”modernitasnya”, posisi paraji (dukun beranak) pelan-pelan tergeser oleh bidan dan dokter, dan salah satu konsekuensinya adalah ikut punahnya pengetahuan pengobatan tradisional berbasis tanaman lokal.
Paling tidak ada 28.000 spesies tumbuhan hidup di Indonesia dan tak kurang dari 80 persen tanaman obat ada di sini.
Di tengah lamunan saya, terbaca di running text salah satu stasiun televisi tentang harga obat di Indonesia yang tergolong mahal, dan ujung masalah kembali terkuak: sebagian besar (sekitar 95 persen) bahan baku obat di Indonesia harus didatangkan dari luar negeri. Puluhan triliun rupiah harus disediakan setiap tahun untuk melakukan impor bahan baku obat.
Sebagai negara tropis, dengan keanekaragaman hayati luar biasa, Indonesia memiliki potensi besar sebagai negara penghasil obat dan bahan baku obat. Mengutip Kompas (13 Maret 2024), paling tidak ada 28.000 spesies tumbuhan hidup di Indonesia dan tak kurang dari 80 persen tanaman obat ada di sini.
Apalagi jika mengingat bahwa Indonesia juga memiliki keanekaragaman suku dan budaya. Tak kurang dari 1.300 suku bangsa mendiami bumi Nusantara dengan kearifan lokal masing-masing, termasuk dalam hal pengobatan.
Sayangnya, sebagian besar pengetahuan yang berbasis kearifan lokal itu tidak terdokumentasi dengan memadai karena sebagian besar suku bangsa di Indonesia menganut budaya lisan, bukan tulis. Tak heran jika situasi punahnya pengetahuan pengobatan terjadi di Cireundeu, seperti yang saya ceritakan di awal tulisan ini.
Di satu sisi, belum ada kemandirian farmasi di Indonesia karena 95 persen bahan obat masih mengandalkan impor.
Di satu sisi, belum ada kemandirian farmasi di Indonesia karena 95 persen bahan obat masih mengandalkan impor. Di sisi lain, ada potensi besar Indonesia dalam bidang obat-obatan berbasis tanaman dan pengetahuan lokal.
Oleh karena itu, menggali kembali pengetahuan pengobatan berbasis kearifan lokal, yang sebagian besar masih tersembunyi di desa-desa, adalah sebuah cara menuju kemandirian di bidang kesehatan.
Disebarluaskan
Upaya-upaya seperti yang dilakukan UGM, seperti di awal tulisan ini, sangat pantas disebarluaskan untuk kemudian ditiru. Pasalnya, masih ada peristiwa punahnya pengetahuan lokal, seperti yang terjadi di Cireundeu dan sangat mungkin juga di desa-desa lain.
Barangkali bukan hanya peran para ahli farmasi yang diperlukan, melainkan juga para antropolog, sosiolog, dan para ahli dari disiplin ilmu lain untuk membuat pekerjaan tersebut dapat dilakukan dengan lebih efektif.
Perlu kesungguhan untuk menggali, menyempurnakan, dan kemudian merawat pengetahuan-pengetahuan tersebut, untuk Indonesia yang lebih baik.
Banyak pengetahuan berbasis kearifan lokal, yang masih terpendam di desa-desa, memiliki potensi menjadi solusi masalah-masalah yang dihadapi Indonesia saat ini.
Jika tulisan ini menyoroti potensi pengetahuan lokal dalam hal obat-obatan, kearifan lokal dalam hal lain, seperti pertanian ramah lingkungan dan penyimpanan air tanah, juga bisa kita temukan di desa-desa.
Perlu kesungguhan untuk menggali, menyempurnakan, dan kemudian merawat pengetahuan-pengetahuan tersebut, untuk Indonesia yang lebih baik.