Kepercayaan publik terhadap KPU sedang hancur. Perlu ada percepatan pembenahan moral institusi demokrasi tersebut.
Oleh
IBNU SYAMSU HIDAYAT
·4 menit baca
KOMPAS/SUPRIYANTO
Ilustrasi
”Menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada teradu Hasyim Asy’ari selaku ketua merangkap anggota Komisi Pemilihan Umum terhitung sejak putusan ini dibacakan.” Demikian petikan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Nomor 90- PKE-DKPP/V/2024.
Putusan tersebut berdasarkan laporan anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Belanda untuk Pemilu 2024. Dalam laporan itu disebutkan, Ketua KPU Hasyim Asy’ari diduga melakukan perbuatan asusila yang melanggar sumpah/janji anggota KPU dan merusak integritas penyelenggara pemilu dengan melanggar prinsip jujur sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Ayat (2) Huruf a Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017.
Baca Berita Seputar Pilkada 2024
Pahami informasi seputar Pilkada 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Pelaporan dugaan pelanggaran etik yang ditujukan kepada Ketua KPU Hasyim Asy’ari tersebut bukan yang pertama, bahkan sudah menjadi penilaian publik, bahwa Ketua KPU ini kebal dari putusan DKPP. DKPP dalam menjatuhkan putusan untuk Ketua KPU terus berupa sanksi peringatan terakhir.
Pada April 2023, Ketua KPU dilaporkan oleh Hasnaeni, Ketua Partai Republik Satu, atas dugaan pelanggaran etik, pelanggaran asusila. DKPP menyatakan dalam putusannya, Ketua KPU terbukti memiliki hubungan dengan Hasnaeni sehingga DKPP menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir.
Pada 25 Oktober 2023, DKPP kembali memutus dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh ketua dan anggota KPU. DKPP memutuskan bahwa ketua dan anggota KPU terbukti melanggar kode etik dalam penyusunan peraturan KPU (PKPU) yang mengatur tentang kuota bakal caleg perempuan. Pada saat itu, DKPP memberikan sanksi peringatan keras kepada Ketua KPU Hasyim Asy’ari.
Ketua KPU kembali menghadapi sidang dugaan pelanggaran etik, tindakan KPU yang menerima pendaftaran dan menetapkan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden dinilai tidak sesuai dengan perundang-undangan. KPU belum merevisi PKPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Pada 5 Februari 2024, DKPP menjatuhkan sanksi kepada Ketua KPU peringatan keras terakhir.
Ketua KPU juga menghadapi dugaan pelanggaran etik terkait pencalonan DPD eks narapidana korupsi Irman Gusman yang tidak didaftar di calon sementara DPD. Ketua KPU dijatuhkan sanksi peringatan keras.
Bahkan, Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat dalam persidangan sengketa Pilpres 2024 di MK, dengan agenda mendengarkan keterangan DKPP, juga mempertanyakan kepada DKPP mengenai putusan DKPP untuk KPU yang hanya sebatas pada sanksi keras terakhir.
KPU tidak pro terhadap perempuan
Sejak awal, ketua dan anggota KPU periode saat ini tidak pro terhadap perempuan, seperti dalam penyusunan PKPU No 10/2023 mengenai pencalonan caleg Pemilu 2024, khususnya Pasal 8 Ayat (2) mengenai cara menghitung kuota bakal caleg perempuan, KPU menerapkan pembulatan ke bawah. Pengaturan ini bertentangan dengan Pasal 245 UU Pemilu yang berbunyi ”Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada Pasal 243 memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen”.
Atas persoalan ini, Koalisi Perempuan mengajukan pengujian PKPU ke Mahkamah Agung. Dalam Putusan Nomor 24 P/HUM/2023, MA menyatakan bahwa Pasal 8 Ayat (2) PKPU 10/2023 tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yakni UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ”Dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap daerah pemilihan menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan ke atas”.
Sejak awal, ketua dan anggota KPU periode saat ini tidak pro terhadap perempuan.
Seharusnya, KPU menindaklanjuti putusan MA tersebut dan mengembalikan pengaturan pencalonan, khusus mengenai kuota perempuan kembali disesuaikan dengan Pasal 245 UU Pemilu.
Persoalan 30 persen caleg perempuan ini nyatanya bermasalah sampai saat ini. KPU memilih untuk membangkang dan tidak menjalankan putusan MA tersebut.
Akibatnya, dalam sengketa pemilihan legislatif di MK, sebagai proses yang paling akhir dalam pemilu, salah satu partai peserta pemilu (PKS) dapil Gorontalo III mengajukan gugatan karena persoalan tidak memenuhi 30 persen caleg perempuan di Gorontalo III. MK mengabulkan gugatan tersebut.
Kekerasan seksual di tubuh penyelenggara pemilu
Sungguh ironis jika lembaga penegak demokrasi dicederai kasus kekerasan seksual. Insan penyelenggara pemilu harus memiliki pandangan yang sama bagaimana menjamin kesetaraan jender dan memberikan ruang yang aman bagi penyelenggara pemilu perempuan.
Keterwakilan perempuan sebagai penyelenggara pemilu semakin terpinggirkan, komposisi komisioner penyelenggara pemilu di daerah sama sekali tidak ada representasi perempuan. Dalam pelantikan komisioner baru di 20 KPU provinsi untuk periode 2023-2028, dari 106 orang yang dilantik, hanya ada 18 perempuan atau 17 persen. Bahkan, di beberapa daerah, semua komisioner penyelenggara pemilu adalah laki-laki, seperti di KPU Banten.
Susunan anggota komisioner di satu daerah yang mayoritas laki-laki akan berpengaruh terhadap kebijakan yang diambil, produk kebijakannya kadang luput memberikan ruang yang aman dan memihak perempuan.
Komisi Antikekerasan terhadap Perempuan mencatat, ada empat kasus kekerasan seksual yang telah diadukan ke DKPP, dua di antaranya melibatkan ketua KPU tersebut. Dua kasus lainnya diduga dilakukan Ketua KPU Manggarai Barat dan Ketua KPU Labuhan Batu Selatan.
Sebentar lagi KPU menyelenggarakan proses demokrasi pemilihan kepala daerah, terdapat tantangan yang serius mengenai penyelesaian kekerasan seksual di institusi KPU.
Perlu terobosan yang tepat untuk membangun kesadaran bersama mengenai jender, memberikan ruang aman bagi penyelenggara pemilu perempuan, dan tentu memastikan produk-produk kebijakan pro terhadap semangat afirmasi perempuan.
Kepercayaan publik terhadap KPU sedang hancur, perlu akselerasi atau percepatan pembenahan moral institusi demokrasi ini.
Ibnu Syamsu Hidayat, Advokat di Themis Indonesia Law Firm