Zonasi dan Matematika Kebangsaan
Misi kebangsaan kita mengajak setiap anak bangsa pada semangat inklusivisme, bukan pada eksklusivisme.
Pada hari-hari ini, orangtua siswa sekolah lanjutan tingkat pertama dan atas disibukkan dengan aktivitas ”mencari” sekolah. Keberadaan zonasi yang diberlakukan sejak masa pandemi Covid-19 mengakomodasi sekitar 90 persen siswa lokal (zona jarak tertentu di sekitar sekolah tersebut).
Apa pun pertimbangan zonasi, pasti ada hal baik di dalamnya. Meski demikian, kita sebagai bangsa juga perlu memperhatikan kebijakan untuk anak didik sebagai bagian dari pendidikan berbangsa dan bernegara.
Fakta kebijakan zonasi
Sistem zonasi muncul pada era pandemi, mungkin sebagai bagian dari upaya pencegahan penyebaran Covid-19.
Sistem zonasi bertujuan agar siswa dapat bersekolah di zona atau area terdekat.
Sistem zonasi sekolah juga bisa memberikan kesempatan sama kepada semua sekolah negeri dalam hal input siswa, yang boleh jadi akan berdampak pada mutu dan kualitas pendidikan sehingga tak ada lagi istilah sekolah favorit.
Misi kebangsaan kita mengajak setiap anak bangsa pada semangat inklusivisme, bukan pada eksklusivisme.
Konon, kebijakan zonasi juga ditujukan agar sekolah favorit tidak didominasi oleh siswa dari kalangan ekonomi atas sehingga dikhawatirkan terjadi ketimpangan jangka panjang dari segi ekonomi, sosial, dan juga dapat memengaruhi tatanan masyarakat secara tidak langsung.
Fakta lainnya adalah banyak kalangan ekonomi atas yang lebih memilih menyekolahkan anaknya ke sekolah swasta meski dengan biaya mahal dibandingkan dengan sekolah negeri (favorit).
Fakta zona sekolah
Sistem zonasi ini dimunculkan seperti mengabaikan fakta zona (keberadaan sekolah) yang dapat memengaruhi iklim belajar bagi anak didik (iklim akademik ataupun nonakademik).
Zonasi mungkin lebih fokus pada fakta dampak akademik bahwa ada sekolah yang dekat dengan berbagai fasilitas (umumnya di perkotaan), tetapi ada juga sekolah jauh dari berbagai fasilitas (umumnya di perdesaan).
Meski demikian, di sisi lain, posisi zona sekolah dapat berdampak pada tumbuh kembang anak, tidak hanya dalam akademik, tetapi juga hal nonakademik. Fakta yang tidak dapat diabaikan adalah selalu ada murid yang menonjol dalam setiap kelompok atau generasi dan mereka pada umumnya memiliki semangat belajar yang lebih dibandingkan dengan yang lain.
Hal yang perlu dicermati adalah apakah memberikan porsi 10 persen sudah cukup mengakomodasi para siswa yang menonjol itu, yang boleh jadi tinggal di zona-zona yang jauh dari target sekolah yang lebih kondusif dan setara dengan perkembangan dan pertumbuhannya?
Zonasi boleh jadi hanya fokus pada akademik, tetapi mengabaikan aspek nonakademik, yakni bahwa zona Indonesia adalah dari Sabang sampai Merauke dengan berbagai suku dan bahasa. Ini hendaknya menjadi bagian dari sentuhan edukasi tak hanya dalam literasi tekstualnya, tetapi juga faktualnya.
Fakta agenda kebangsaan
Mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi salah satu mandat negara untuk rakyatnya. Memfasilitasi generasi terbaik untuk mendapatkan pendidikan terbaik tidak hanya dalam hal akademik, tetapi juga nonakademik, salah satunya kebangsaan. Memfasilitasi interaksi antarsiswa dari sejumlah daerah sebagai anak bangsa yang berbineka.
Memberikan perhatian khusus terkait kebangsaan seperti ini hanya bisa dilakukan dengan mempertemukan siswa (dalam iklim sekolah) yang berada pada zona berbeda.
Misi kebangsaan kita mengajak setiap anak bangsa pada semangat inklusivisme, bukan pada eksklusivisme. Interaksi antaranak bangsa perlu dikondisikan sedini mungkin seiring dengan tumbuh kembang anak di masa sekolah.
Oleh karena itu, kebijakan PPDB sistem zonasi perlu ditinjau ulang.
Pada pidato 17 Agustus 1966, Presiden Soekarno menyampaikan bahwa membangun negara, membangun ekonomi, teknik, dan pertahanan yang pertama-tama dan pada tahap utamanya adalah membangun jiwa bangsa.
Keahlian adalah perlu, tetapi keahlian saja tanpa dilandaskan pada jiwa yang besar tidak akan mungkin mencapai tujuan. Dengan demikian, mutlak perlunya nation and character building.
Pada pidato 17 Agustus 1963, Presiden Soekarno menyampaikan bahwa dari Sabang sampai Merauke, bukan sekadar satu rangkaian kata ilmu bumi, bukan pula sekadar menggambarkan geographical entity. Ia adalah satu kesatuan kebangsaan, satu kesatuan kenegaraan yang bulat kuat, satu kesatuan tekad, kesatuan ideologi yang amat dinamis, dan satu kesatuan cita-cita sosial yang hidup laksana api unggun.
Matematika kebangsaan
Indonesia terdiri dari 514 kabupaten/kota, 7.024 kecamatan, dan 83.931 wilayah administrasi setingkat desa (BPS, 2018).
Jumlah sekolah dasar (SD) 147.536 dengan murid 25.885.053. Jumlah SMP 37.023 dengan murid 10.040.277. Jumlah SMA 12.689 dengan murid 4.312.407. Jumlah SMK 12.659 dengan murid 4.334.987 (BPS, 2016).
Jika jumlah tersebut diambil 10 persen (alokasi untuk siswa masuk sekolah di luar zona), dihasilkan sejumlah 14.754 siswa SD dan 3.702 siswa SMP (SLTA tidak dihitung karena perguruan tinggi tidak ada zonasi).
Jumlah itu jika didistribusikan ke dalam wilayah (desa, kecamatan, kabupaten), dihasilkan siswa SD sejumlah 0,17 siswa per desa atau 2,1 siswa per kecamatan atau 28,7 siswa per kabupaten/kota, yang berkesempatan belajar di sekolah di luar zona tempat tinggalnya. Untuk siswa SMP, angkanya 0,04 siswa per desa, 0,18 siswa per kecamatan, atau 7,2 siswa per kabupaten/kota.
Jumlah tersebut sangat minimalis untuk merealisasikan agenda inklusif kebangsaan. Sebagai contoh, angka di atas, hanya ada 2,1 anak SD dan 0,18 anak SMP dari setiap kecamatan di Indonesia yang berkesempatan secara mobile berinteraksi (melalui sekolah formal) di luar zona tempat tinggalnya.
Oleh karena itu, jika suatu hari anak kita dari Sabang tidak mengenal sosok, budaya, atau karakter saudara sebangsanya dari Merauke, boleh jadi karena pendidikan faktual kita tidak memenuhi aspek tersebut.
Baca juga: Kecurangan PPDB Terus Berulang, Perubahan Sistem yang Berkeadilan Dibutuhkan
Jika dihitung terbalik, untuk target minimal ada satu anak SD dari setiap desa di Indonesia berkesempatan mobile belajar di luar zona, angkanya bukan 10 persen, melainkan 57 persen.
Oleh karena itu, kebijakan penerimaan peserta didik baru (PPDB) sistem zonasi perlu ditinjau ulang. Atau setidaknya, kita perlu mengubah angka target anak yang berkesempatan belajar di luar zona tempat tinggalnya, dari 10 persen menjadi 57 persen dengan tetap ada kebijakan jaminan untuk anak berkebutuhan khusus.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar. Oleh karena itu, kita perlu mempersiapkan anak didik kita menjadi anak bangsa yang berjiwa besar dengan fondasi jiwa bangsa yang kokoh serta sadar akan cita-cita bangsanya.
Bambang Suwignyo, Dosen di Universitas Gadjah Mada