Dalam lanskap teknologi media digital yang berubah dengan cepat sering muncul dua kelompok: kaum Luddit dan Teknofilia.
Oleh
IDI SUBANDY IBRAHIM
·4 menit baca
Pada awal milenium baru, kita seperti terpesona dengan kilau kemajuan mengesankan media dan teknologi: revolusi digital, mesin algoritma dan AI! Kata-kata ”hebat” untuk melukiskan penemuan baru yang dielu-elukan menjanjikan manfaat bagi manusia. Namun, beberapa kejadian menyadarkan bahwa kata ”hebat” yang merabunkan mata harus dibayar mahal.
Pertama, lumpuhnya Pusat Data Nasional atau PDN (20/6/2024) menunjukkan rapuhnya keamanan ekosistem digital nasional dari serangan hacker. Padahal, PDN adalah tempat penyimpanan dan pengolahan data strategis instansi negara (Kompas, 21/6/2024). Kedua, algoritma kecerdasan buatan banyak digunakan untuk menjebak warganet dalam promosi judi daring (Kompas, 26 Juni 2024). Ketiga, kejahatan seksual dan pornografi yang mengincar anak-anak terus berkembang menggunakan modus canggih lewat media sosial (Kompas, 12/6/2024).
Sementara bebasnya pendiri Wikileaks, Julian Assange, disambut sebagai kemenangan (26/6/2024). Namun, pengakuan bersalahnya memicu kekhawatiran soal kebebasan pers karena publikasi informasi yang dinyatakan rahasia oleh negara kini telah sah dicap sebagai kejahatan (Kompas, 29/6/2024).
Kejadian-kejadian tersebut memantik pertanyaan: Apakah pengaruh media dan teknologi digital sama berbahaya dan bermanfaatnya? Kritikus teknologi komunikasi menyebut sisi ganda kemajuan teknologi: teknologi demokrasi (sisi cerah/positif) dan teknologi dominasi (sisi gelap/negatif).
Dalam bukunya yang kritis, The Net Delusion: the Dark Side of Internet Freedom, jurnalis dan komentator sosial Evgeny Morozov mengingatkan tentang kekuatan demokratisasi internet ternyata tidak sepenuhnya mampu mengubah rezim represif. Faktanya, pemerintah otoriter secara efektif menggunakan Internet untuk menekan kebebasan berpendapat, menyempurnakan teknik pengawasan, memanipulasi pemilu, menyebarkan propaganda mutakhir, dan menenangkan masyarakat dengan hiburan digital. Dengan terjerumus ke dalam sifat demokratisasi internet, orang menyadari bahwa internet justru bisa memperkuat para diktator, mengancam para pembangkang, dan mempersulit—bukan mempermudah—untuk melakukan demokratisasi.
Dengan mengumpulkan bukti-bukti yang meyakinkan, Morozov menunjukkan mengapa kita harus berhenti menganggap internet dan media sosial sebagai sesuatu yang bersifat membebaskan dan mengapa inisiatif-inisiatif yang ambisius dan tampaknya mulia seperti promosi ”kebebasan Internet” bisa berdampak buruk bagi masa depan demokrasi secara keseluruhan.
Ironi hidup di zaman digital! Para kritikus lain mengkhawatirkan sisi gelap media digital, mulai dari jual-beli data pribadi, perdagangan organ manusia, obat terlarang, dan layanan pornografi anak, aneka kejahatan di web gelap, hingga gangguan kesehatan emosional dan mental: fokus perhatian lebih pendek, presentasi diri berlebihan atau narsisme, menurunnya kualitas hubungan antarpribadi, ancaman keamanan privasi, cyberstalking, dis/misinformasi, pesona berita palsu di tengah pemasaran viral, dan dampak negatif terhadap teman sebaya. Dengan menggunakan konsep keterlibatan berlebihan secara digital, para pakar komunikasi kontemporer menyajikan penelitian tentang beberapa konsekuensi yang tidak diinginkan dari media sosial termasuk mempermalukan tubuh, penipuan daring, perundungan daring, protes merek daring, kecanduan media sosial, dan pornografi balas dendam.
Dalam lanskap teknologi media digital yang berubah dengan cepat sering muncul dua kelompok: Pertama, para anti-teknologi (kaum Luddit) yang khawatir akan dampak buruk perubahan teknologi dan bersikap sangat keras dalam adopsi teknologi baru atau bahkan mungkin menolak sama sekali. Kedua, para pencinta teknologi (kaum Teknofilia), yakni penggemar berat teknologi yang tidak percaya sisi gelap itu ada, menjadi penikmat bahkan ”pencandu” teknologi dan merasa risau saat orang berbicara tentang sisi gelap teknologi.
Kedua kelompok tersebut mewakili dua pandangan ekstrem (Downs, 2017). Sebenarnya masih ada kelompok ketiga, mungkin jauh lebih besar penganutnya dan sangat beragam, berada di tengah-tengah, disebut netral-teknologi (kaum Tekno-netralis). Mereka hanya mengetahui sedikit tentang pro dan kontra dari beberapa jenis penggunaan media dan teknologi, atau mungkin tidak mengetahui sama sekali, atau mungkin tidak peduli atau bingung—tidak yakin harus mengambil sikap seperti apa mengenai dampak media dan teknologi. Ada pula yang mungkin penasaran dengan media dan teknologi namun tidak yakin harus mulai dari mana proses literasinya.
Jika kita ingin memperoleh sisi cerah di antara sisi gelap dunia digital, diperlukan rancangan budaya adopsi dan pengembangan budaya digital yang mempertimbangkan mengenai dampaknya.
Kelompok tersebut mungkin berada di berbagai profesi, jabatan, dan ruang kehidupan. Nampaknya upaya membangun generasi melek teknologi dan media akan semakin kompleks untuk dilakukan di abad ke-21. Pertama, sebagai sebuah budaya, kita cenderung mengadopsi teknologi sebelum mempertimbangkan berbagai dampaknya. Adopsi perangkat keras teknologi belum diimbangi dengan penguatan nilai sosial.
Kedua, era informasi telah memberi kita begitu banyak teknologi baru sekaligus sehingga hampir mustahil untuk mengkaji dan mendokumentasikan semua dampaknya. Ketiga, media dan teknologi baru umumnya memerlukan pembelajaran istilah dan proses baru untuk menyelami dan mendiskusikan ruang digitalnya (Downs & Boyson, 2019).
Jika kita ingin memperoleh sisi cerah di antara sisi gelap dunia digital, diperlukan rancangan budaya adopsi dan pengembangan budaya digital yang mempertimbangkan mengenai dampaknya. Rancangan-rancangan kebijakan adopsi teknologi seyogianya memiliki pemahaman yang lebih holistik tentang konsekuensi penggunaannya.
Akhirnya, pandangan optimistis tidak serta-merta melihat media digital sepenuhnya mengarahkan pada “sisi gelap”, tetapi upaya-upaya untuk membuat ”sisi cerah” media digital muncul memerlukan pemikiran yang hati-hati mengantisipasi perkembangan negatif tersebut. Kian diperlukan politik kebijakan teknologi untuk membangun budaya teknologi yang bijak. Kita tahu cara menggunakan media dan teknologi tetapi kita juga tahu cara media dan teknologi memengaruhi kita.
Idi Subandy Ibrahim adalah Peneliti Budaya, Media, dan Komunikasi; Pengajar di Magister Ilmu Komunikasi (MIK)Pascasarjana Universitas Pasundan Bandung dan Pengajar Luar Biasa di MIK Pascasarjana FISIP Universitas Brawijaya Malang.