Pendidikan: Penyelamat atau Penghancur Identitas Budaya?
Pendidikan bisa menjadi penghancur jika mengabaikan dimensi kebudayaan dan lebih menekankan sekularisme, konsumerisme.
Dengan semakin pesat gerak arus globalisasi dan modernisasi, muncul kekhawatiran bahwa kebudayaan lokal bisa terancam dan menghilang. Dalam konteks ini, pendidikan bisa berperan sebagai penyelamat, atau malah penghancur budaya.
Pendidikan dapat menjadi penyelamat jika berhasil memanfaatkan nilai-nilai budaya luhur dalam pembentukan karakter bangsa. Sebaliknya, pendidikan bisa menjadi penghancur jika mengabaikan dimensi kebudayaan dan lebih menekankan pada sekularisme, konsumerisme, dan hedonisme.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah berusaha memastikan bahwa berbagai bentuk kebudayaan lokal tidak hanya dilestarikan, tetapi juga dikembangkan, dimanfaatkan, dan dibina secara berkelanjutan. Langkah ini bertujuan untuk memperkuat identitas bangsa, mendorong kreativitas masyarakat, dan meningkatkan kesejahteraan dengan menjadikan kebudayaan sebagai sumber daya ekonomi dan sosial.
Baca juga: Kebudayaan yang Menguatkan
Upaya pemerintah tecermin dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, yang menekankan pentingnya melestarikan dan mengembangkan budaya lokal sebagai bagian integral dari identitas nasional Indonesia.
Salah satu cara mengembangkan dan memanfaatkan dimensi kebudayaan ialah melalui proses pendidikan karakter yang berakar pada budaya. Di dunia yang semakin mengglobal, pentingnya pendidikan karakter tidak dapat disepelekan.
Pendekatan pendidikan yang berfokus pada pengembangan nilai-nilai moral, kewarganegaraan, dan etika merupakan hal mendasar dalam membentuk individu yang tidak hanya cakap secara akademis, tetapi juga bertanggung jawab secara sosial dan berempati. Namun, perlu dicatat bahwa pendidikan karakter harus melampaui prinsip-prinsip universal; dan berakar kuat pada konteks budaya dari mana siswa berasal.
Berakar pada budaya
Mengintegrasikan budaya ke dalam pendidikan karakter memperkaya pengalaman belajar, menjadikan lebih relevan dan efektif dalam membina individu yang berwawasan luas. Marjane Satrapi (dalam azquotes.com, 2024), seorang novelis terkenal Iran, mengatakan bahwa kebudayaan dan pendidikan merupakan senjata mematikan melawan segala jenis pemikiran sempit manusia.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pendidikan karakter yang berakar pada budaya. Pertama-tama, adanya pemahaman jernih mengenai konteks budaya dalam pendidikan karakter. Budaya sangat memengaruhi nilai, keyakinan, dan perilaku seseorang. Pengaruh tersebut membentuk pemahaman orang tentang konsep-konsep seperti rasa hormat, tanggung jawab, dan komunitas.
Ketika pendidikan karakter berakar pada budaya itu terjadi, formasi edukatif terhadap peserta didik akan bergema lebih dalam, dan membumi. Para siswa melihat refleksi kehidupan dan pengalaman mereka sendiri dalam modul ajar yang diajarkan, menjadikan pelajaran tersebut lebih bermakna dan lebih mudah diinternalisasikan.
Kebudayaan dan pendidikan merupakan senjata mematikan melawan segala jenis pemikiran sempit manusia.
Misalnya, di banyak budaya setempat, terdapat penekanan kuat pada komunitas dan keterhubungan semua makhluk. Pendidikan karakter dalam konteks ini dapat diambil dari cerita tradisional, ritual, dan praktik masyarakat dalam mengajarkan nilai-nilai seperti menghormati alam, tanggung jawab komunal, dan pentingnya keharmonisan. Kekayaan budaya memberikan landasan yang kaya dan relevan bagi siswa, menjembatani kesenjangan antara konsep etika abstrak dan kehidupan sehari-hari.
Kedua, adanya kejelasan mengenai kompetensi global melalui pemahaman lokal. Memasukkan budaya ke dalam pendidikan karakter bukan berarti mengucilkan peserta didik dari dunia yang lebih luas. Sebaliknya, hal ini dapat meningkatkan kompetensi global mereka.
Dengan memahami dan menghargai warisan budaya sendiri, siswa lebih siap dalam menghormati dan terlibat dengan tradisi kultural yang berbeda. Perspektif ganda demikian menumbuhkan rasa bangga dan jati diri sekaligus menumbuhkan keterbukaan pikiran dan empati.
Baca juga: Kebudayaan dan Pendidikan
Di banyak budaya Timur, termasuk di Indonesia, keramahtamahan bukan sekadar norma sosial, tetapi merupakan nilai yang mendarah daging. Mengajarkan nilai ini dalam konteks budaya memungkinkan siswa mengapresiasi signifikansi historis dan sosial masyarakat. Ketika belajar mempraktikkan keramahtamahan, mereka juga mengembangkan keterampilan dan sikap yang dapat diterapkan secara universal, seperti kebaikan, kemurahan hati, dan rasa hormat terhadap orang lain.
Ketiga, adanya pemahaman mendalam tentang tantangan dan peluang dalam pendidikan karakter. Maria Montessori (dalam azquotes.com, 2024) menyatakan bahwa kebudayaan dan pendidikan tidak memiliki batasan; manusia kini berada pada tahap di mana mereka harus memutuskan sejauh mana melibatkan diri dalam kebudayaan yang merupakan milik seluruh umat manusia.
Keputusan ada di tangan para pendidik, untuk mendekatkan atau menjauhkan budaya dalam konteks pendidikan. Idealnya, budaya tidak hanya didekatkan, tetapi juga diintegrasikan ke dalam pendidikan karakter anak-anak bangsa.
Mengintegrasikan budaya ke dalam pendidikan karakter bukan tanpa tantangan. Pendidik perlu menavigasi beragam latar belakang budaya dan menemukan cara menghormati tiap-tiap latar belakang budaya. Hal ini memerlukan kepekaan, inklusivitas, dan kemauan terlibat dengan kompleksitas identitas budaya. Hal ini juga memerlukan sumber daya dan pelatihan untuk membantu guru secara efektif memasukkan unsur-unsur budaya ke dalam kurikulum mereka.
Pendekatan pendidikan karakter berdasarkan budaya dapat menjembatani kesenjangan antara rumah dan sekolah, menciptakan lingkungan belajar yang lebih kohesif dan mendukung. Hal ini juga dapat mengatasi masalah sosial dan etika unik yang dihadapi oleh berbagai komunitas, serta memberikan siswa alat yang dapat menavigasi lanskap budaya spesifik mereka.
Agar proses pembentukan karakter benar-benar berhasil, pendidikan karakter harus dianut oleh para pendidik dan pembuat kebijakan. Sekolah didorong mengeksplorasi dan memasukkan latar belakang budaya siswa ke dalam program pendidikan karakter mereka. Hal ini mungkin melibatkan kemitraan dengan organisasi budaya lokal, tokoh masyarakat, dan keluarga untuk menciptakan pendekatan pendidikan yang lebih terintegrasi dan holistik.
Baca juga: Pendidikan Seni dan Budaya agar Lebih Diprioritaskan
Para pengambil kebijakan perlu mendukung upaya tersebut dengan menyediakan dana untuk materi pendidikan yang relevan dengan budaya dan pengembangan profesional bagi guru. Mereka juga harus menyadari pentingnya kompetensi budaya sebagai komponen inti program pelatihan guru.
Sebagai catatan akhir, pendidikan karakter selain sebagai penyelamat budaya juga sangat penting dalam dunia global dalam membentuk individu yang cakap akademis, bertanggung jawab sosial, dan berempati. Pendidikan karakter yang demikian bukanlah suatu kemewahan. Hal ini adalah suatu kebutuhan di dunia yang beragam dan saling terhubung.
Dengan mendasarkan pelajaran etika dan moral pada kekayaan warisan budaya, para pendidik dapat membina siswa yang tidak hanya sukses secara akademis, tetapi juga bertanggung jawab secara sosial, berempati, dan sadar global. Pendekatan edukatif yang berakar pada budaya tidak hanya memperkaya pengalaman pendidikan, tetapi juga membantu membangun masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan harmonis.
Odemus Bei Witono, Direktur Perkumpulan Strada, dan Pemerhati Pendidikan
Facebook: beiwitono