Mencermati Turbulensi Rupiah
Meski mampu menangani gejolak rupiah, Indonesia perlu solusi fundamental sehingga kerentanan tersebut menghilang.
Lintasan sejarah memperlihatkan gejolak nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terus membayangi perjalanan ekonomi Indonesia.
Gonjang-ganjing nilai tukar selalu datang silih berganti dengan berbagai sebab. Dan mulai pertengahan April 2024, ekonomi Indonesia menghadapinya kembali.
Dipicu eskalasi ketegangan di Timur Tengah dan perubahan sikap bank sentral AS yang sepertinya bakal menunda penurunan suku bunga acuannya (higher for longer), nilai tukar rupiah terhadap dollar AS langsung mengalami turbulensi. Mata uang garuda melemah dan meluncur hingga sempat menembus Rp 16.200 per dollar AS pada periode April 2024 dan hingga kini masih bertengger di atas Rp 16.000 per dollar AS.
Bank Indonesia (BI) segera bertindak cepat dan mengeluarkan senjata pamungkas dengan mengerek suku bunga acuan untuk meredam gejolak nilai tukar rupiah itu. Kenaikan BI Rate juga sekaligus dimaksudkan untuk menjaga agar inflasi tetap berada dalam sasaran 2,5±1 persen pada 2024 dan 2025. Pada April 2024, BI menaikkan BI Rate sebanyak 25 basis poin menjadi 6,25 persen dan mempertahankan besaran bunga acuan itu pada Mei-Juni 2024.
Baca juga: Triwulan III-2024, Rupiah Diperkirakan Bergerak Stagnan Rp 16.000-Rp 16.500 Per Dollar AS
Sumber kerentanan
Apabila dicermati, ada beberapa persoalan kerentanan yang menyebabkan rupiah tak kunjung lepas dari turbulensi.
Pertama, pasar keuangan Indonesia masih memiliki ketergantungan cukup tinggi pada investor portofolio asing sehingga rentan terhadap gejolak global. Saat sentimen global kondusif, gelombang arus dana asing ramai masuk ke pasar keuangan domestik dan ini membuat rupiah menguat. Sebaliknya, ketika sentimen global berbalik arah, investor asing ramai-ramai keluar dari pasar keuangan. Imbasnya, rupiah merosot.
Sebagai misal, saat gejolak pada April 2024 terjadi, data Bloomberg per 24 April 2024 menunjukkan investor asing menarik dananya hingga Rp 32,4 triliun. Sementara data settlement BI dari awal tahun ini hingga 20 Juni 2024 menunjukkan nonresiden sudah menjual neto Rp 42,10 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN).
Kedua, kebutuhan untuk memenuhi hajat hidup orang banyak masih ditutup dengan impor sehingga berimbas pada permintaan dollar AS yang besar. Contohnya, ketergantungan pada impor minyak dan gas yang terus membubung tinggi. Penduduk Indonesia sangat besar, urutan keempat terbanyak di dunia, sehingga negara ini membutuhkan komoditas energi cukup besar untuk mendukung aktivitas ekonomi penduduknya.
Celakanya, realisasi produksi atau lifting migas di dalam negeri terus anjlok dan tidak sesuai dengan yang ditargetkan dalam APBN. Kondisi ini mendorong Indonesia harus terus-menerus mengimpor migas dengan kecenderungan yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Tercatat, hampir satu juta barel per hari (bph), Indonesia harus mengimpor minyak mentah dari beberapa negara.
Sebagai ilustrasi, pada 2016, realisasi lifting minyak mencapai 829.000 bph. Angka ini terus turun setiap tahun dan menjadi hanya 605.000 bph pada 2023.
Berdasarkan catatan Kementerian ESDM, torehan lifting minyak Januari-April 2024 berada di level 576.300 bph atau 90,76 persen dari target APBN 2024 yang dipatok di level 635.000 bph. Sementara pada Rencana APBN 2025, usulan target lifting minyak kembali anjlok menjadi 580.000-601.000 bph.
Industrialisasi yang menghasilkan ekspor dan substitusi impor merupakan jawabannya.
Tingginya impor migas terlihat dari data Badan Pusat Statistik, dengan nilai impor migas pada 2023 sebesar 35,83 miliar dollar AS. Sementara tahun ini hingga Maret 2024 impor migas tercatat 9,004 miliar dollar AS.
Kian tingginya impor migas ini tentu membuat permintaan dollar AS juga kian melesat. Belum lagi impor berbagai produk pangan yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda, seperti impor beras yang meningkat tajam.
Ketiga, neraca perdagangan jasa selalu mengalami defisit. Pada 2022 dan 2023, neraca perdagangan jasa masing-masing defisit 19,96 miliar dollar AS dan 18,09 miliar dollar AS. Sementara pada kuartal I-2024, defisit neraca perdagangan jasa mencapai 4,4 miliar dollar AS.
Meski lebih rendah dari kuartal sebelumnya yang defisit 5 miliar dollar AS, defisit neraca perdagangan jasa ini membuat permintaan akan dollar AS selalu lebih banyak daripada pasokannya dan pada akhirnya membebani neraca pembayaran Indonesia secara keseluruhan.
Keempat, pasokan dollar AS memiliki ketergantungan pada ekspor komoditas. Hal ini tidak lepas dari struktur ekonomi Indonesia yang masih didominasi sektor ekstraktif. Apabila dilihat dari struktur neraca perdagangan barang, ekspor terutama dari batubara dan minyak sawit mentah (CPO).
Ketika harga global dari dua komoditas tersebut melonjak tajam seperti terakhir dialami pada 2022 hingga awal 2023, Indonesia seolah-olah mendapatkan durian runtuh. Dollar AS membanjiri pasar valas dan neraca perdagangan akan surplus. Namun, sebaliknya, ketika harga komoditas tersebut berbalik arah, mulai muncul kesulitan akan suplai dollar AS.
Imbas dari beberapa kerentanan tersebut membuat BI yang diamanahi tugas untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah harus melakukan berbagai tindakan dan mengeluarkan berbagai inovasi kebijakan. Selain menaikkan suku bunga acuan sebagai opsi terakhir, BI mengandalkan kebijakan triple intervention, yaitu intervensi di pasar valas pada transaksi spot, domestic non-deliverable forward (DNDF) dan surat berharga negara di pasar sekunder.
Selain itu, BI juga mengoptimalkan tiga instrumen anyar operasi moneter propasar berupa sekuritas rupiah Bank Indonesia (SRBI), sekuritas valas Bank Indonesia (SVBI), dan sukuk valas Bank Indonesia (SUVBI).
Penerbitan instrumen operasi moneter yang baru dimulai pada semester dua tahun lalu tersebut, terutama SRBI, cukup membantu dalam menarik aliran masuk modal asing ke dalam negeri. Hal ini terlihat dari kepemilikan nonresiden yang meningkat dari Rp 71,55 triliun (18,18 persen dari total outstanding) pada 23 April 2024 menjadi Rp 179,86 triliun (26,98 persen dari total outstanding) pada 14 Juni 2024.
Berbagai kebijakan tersebut akhirnya memang mampu menarik aliran masuk modal asing, terutama ke SBN dan SRBI. Bersandar pada data BI, aliran masuk telah mencapai 4 miliar dollar AS hingga 14 Juni 2024.
Kenaikan BI Rate juga sekaligus dimaksudkan untuk menjaga agar inflasi tetap berada dalam sasaran 2,5±1 persen pada 2024 dan 2025.
Solusi fundamental
Meski mampu menangani gejolak rupiah, Indonesia tetap memerlukan solusi yang fundamental sehingga kerentanan tersebut menghilang.
Industrialisasi yang menghasilkan ekspor dan substitusi impor merupakan jawabannya. Lifting minyak mentah juga harus ditingkatkan serta mencari sumber minyak baru sembari terus meningkatkan penggunaan energi terbarukan.
Sektor pertanian yang menghasilkan pangan, terutama yang masih impor, tentu menjadi keharusan karena penduduk besar pasti membutuhkan bahan pangan yang besar pula. Semua itu akan menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah baru yang akan efektif mulai Oktober 2024.
Ardhienus, Deputi Direktur di Departemen Surveilans Makroprudensial, Moneter, dan Market Bank Indonesia