Kesalahan berbahasa bisa disebabkan banyak hal. Satu di antaranya adalah kekurangcermatan memilih kata hingga kalimat.
Oleh
NUR ADJI
·3 menit baca
Saat kita berbahasa, tak jarang kata-kata yang diucapkan atau ditulis sesungguhnya tidak sesuai dengan kaidah bahasa, tidak sesuai dengan kamus yang menjadi patokan kita berbahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, atau tidak sesuai dengan logika. Temuan yang beredar di dunia maya menunjukkan, ketidaksesuaian itu kerap terjadi, bahkan berulang-ulang.
Berikut beberapa contoh ketidaksesuaian itu, yang datanya diambil dari tulisan-tulisan yang pernah terbit di rubrik ini. Terbit sebulan sekali, dan akan Anda jumpai pada akhir setiap bulan.
Samakah ”Muhrim” dan ”Mahram”?
Kata muhrim berasal dari bahasa Arab, yang berarti ’orang yang melakukan ihram’. Adapun ihram adalah keadaan seseorang yang telah berniat untuk melaksanakan ibadah haji atau umrah. Ketika jemaah haji atau umrah telah memasuki daerah mikat (miqat), kemudian dia mengenakan pakaian ihramnya dan menghindari semua larangan ihram, orang ini disebut muhrim.
Jadi, konteks kata muhrim selalu berkaitan dengan ibadah haji atau umrah. Sungguh berbeda dengan arti kata muhrim yang dipahami masyarakat selama ini, yang antara lain sering digunakan untuk mengacu pada anggota keluarga yang tidak boleh atau tidak bisa dinikahi, misalnya ayah, ibu, adik atau kakak kandung, paman, bibi, dan seterusnya.
Akan halnya mahram, kata ini bermakna ’perempuan atau laki-laki yang masih termasuk sanak saudara dekat sehingga tidak boleh menikah di antara keduanya’. Hubungan mahram dapat terjadi karena tiga sebab, yakni karena keturunan, sesusuan, dan hubungan perkawinan.
Dari penjelasan tersebut, arti muhrim dan mahram sangat berbeda. Kata muhrim dipakai dalam konteks ibadah haji atau umrah, sedangkan mahram terkait keturunan dan pernikahan.
Tolok ukur berarti ’ukuran (sebagai) pembanding’. Frasa ini setara maknanya dengan penolok ’ukuran (timbangan) yang dipakai sebagai patokan (standar); imbangan (yang sama)’. Dalam bahasa yang lebih singkat, tolok ukur adalah patokan atau standar. Frasa ini dimaksudkan sebagai sesuatu yang dipakai sebagai patokan atau standar dalam menentukan ukuran sesuatu yang lain.
Jika dibandingkan dengan frasa tolak ukur yang muncul belakangan, unsur pembentuk frasa tolok ukur, yakni tolok dan ukur, lebih tepat jika dibandingkan dengan tolak dan ukur sebagai pembentuk tolak ukur. Tolak (kata kerja) bermakna ’sorong’ dan ’dorong’. Dari kata tolak muncul kata menolak.
Kalau kita pasangkan kata ukur dengan kata tolak, makna yang muncul adalah ’menolak (mendorong, mencegah, menampik) ukur’. Karena kategori kata tolak adalah kata kerja, makna yang muncul pun mengandung makna perbuatan. Hal itu sama dengan frasa tolak ukur yang berkategori frasa verbal. Makna yang muncul mengandung makna perbuatan ’menolak’.
Hal itu berbeda dengan kata tolok ukur yang merupakan frasa nominal. Makna yang muncul adalah makna yang mengandung makna benda, bukan perbuatan. Klop dengan makna ’ukuran’ yang terdapat pada tolok ukur.
Salah satu alasan munculnya frasa tolak ukur—setidaknya dua tahun dari munculnya tolok ukur sesuai dengan yang terdapat dalam berita Kompas—bisa jadi disebabkan oleh ketidaktahuan si penulis akan kata (dan maknanya) yang dituliskannya. Samar-samar dia mengetahui hal itu, menuliskannya, tanpa memahami terlebih dahulu apa yang akan dituliskannya.
Kata konfeksi, yang digunakan untuk menyebut usaha pembuatan pakaian secara massal, kerap ditulis konveksi. Bahkan, jika dihitung menurut Google, jumlah kata yang salah penulisannya itu lebih banyak dibandingkan dengan kata yang benar. Hanya sedikit kata konveksi yang digunakan dengan tepat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia daring, konfeksi bermakna ’pakaian dan sebagainya yang dibuat secara massal yang dijual dalam keadaan jadi, tidak diukur menurut pesanan, tetapi menurut ukuran yang sudah ditentukan’.
Adapun konveksi memiliki dua makna. Pertama, ’gerak udara, air, atau cairan lain dengan arah vertikal’, dan kedua, ’peristiwa gerakan benda cair atau gas karena perbedaan suhu dan tekanan’.
Kedua kata tersebut merupakan kata serapan. Dalam bahasa lisan, kedua kata serapan itu, apabila diucapkan, hampir sama. Hal ini terjadi karena konsonan [v] pada konveksi dan [f] pada konfeksi sama-sama sebagai konsonan labiodental (disebut pula sebagai konsonan bibir-gigi), yaitu konsonan yang dihasilkan akibat naiknya bibir bagian bawah hingga hampir menyentuh gigi atas depan (dari sejumlah sumber). Karena hal tersebut, mungkin, pengguna kata konfeksi menuliskannya menjadi konveksi.
Pesimis bermakna ’orang yang bersikap atau berpandangan tidak mempunyai harapan baik (khawatir kalah, rugi, celaka, dan sebagainya); orang yang mudah putus (tipis) harapan’. Sebaliknya, pesimistis bermakna ’bersikap atau berpandangan tidak mempunyai harapan baik atau mudah putus harapan; bersikap tidak mengandung harapan baik; (sikap) ragu akan kemampuan atau keberhasilan suatu usaha’.
Maka, jika yang dimaksud adalah sifat, sikap, atau pandangan, gunakan kata pesimistis. Namun, jika yang dimaksud adalah orang yang bersikap pesimistis, pilihlah kata pesimis.
Kata pesimis dapat digunakan dalam kalimat yang menunjukkan bahwa si pelaku memiliki sikap/sifat atau pandangan pesimistis atau optimistis. Pada frasa paman optimis, misalnya, paman memiliki sikap optimistis. Paman adalah orang yang optimistis.
Bangun kalimat ini setara dengan bangun kalimat paman pemarah, misalnya. Dalam gabungan kata ini, pemarah, yang berarti ’orang yang memiliki sifat/sikap atau lekas (mudah) marah’, menjelaskan sifat paman yang lekas marah.
Perhatikan pula bahwa kata pesimis, juga pesimistis, dapat menempati fungsi predikat dalam kalimat. Yang membedakan ialah bahwa pesimis merupakan kata benda, sedangkan pesimistis merupakan kata sifat.
Hal itu berlaku pula buat kata optimis dan optimistis.