Jurus Pamungkas Reforma Agraria
Reforma agraria harus dijauhkan dari kepentingan politik pragmatis sempit. Keadilan agraria harus diperjuangkan.
Pertemuan Puncak Reforma Agraria atau Reforma Agraria Summit 2024 digelar pemerintah di Sanur, Bali, pada 13-15 Juni 2024. Sinergi untuk reforma agraria yang berdampak dan berkelanjutan menjadi tema pertemuan ini. Persatuan, sinergi, dan kolaborasi dalam menyukseskan reforma agraria menjadi kebutuhan yang digaungkan.
Dalam pertemuan tersebut, Agus Harimurti Yudhoyono selaku Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional menyampaikan evaluasi dan refleksi pelaksanaan reforma agraria yang 10 tahun dijalankan pemerintahan Joko Widodo. Dipaparkan pula tantangan dan peluang bagi reforma agraria mendatang. Semua pihak diajak untuk menyiapkan baseline reforma agraria bagi pemerintahan baru 2024-2029.
Forum ini membuahkan ”Rumusan Reforma Agraria Summit Bali 2024” sebagai bentuk tawaran gagasan skema-skema ekonomi kerakyatan yang berkelanjutan. Di antaranya, melalui penyatuan kepastian hak pemilikan dan penguasaan tanah dengan penggunaan dan pemanfaatan tanah. Selain itu, juga melalui sirkuit rantai komoditas dan nilai pada satu paket yang solid dalam implementasi dan lebih integratif secara institusional. Tak ketinggalan pula, upaya untuk menjawab tantangan ekonomi, globalisasi, dan urbanisasi.
Reforma Agraria adalah kebijakan afirmasi dengan mendahulukan kelompok lemah, rentan, atau marjinal terutama kelompok miskin, perempuan, dan masyarakat adat.
Reforma agraria (RA) adalah kebijakan afirmasi dengan mendahulukan kelompok lemah, rentan, atau marjinal; terutama kelompok miskin, perempuan, dan masyarakat adat. Rumusan ini juga menyajikan data capaian RA.
Berdasarkan target yang telah ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), capaian RA berupa legalisasi aset telah mencapai 10,7 juta hektar dengan rincian legalisasi tanah transmigrasi seluas 149.545 hektar dan legalisasi pendaftaran tanah seluas 10,5 juta hektar. Angka ini melampaui target yang ditetapkan RPJMN.
Adapun realisasi redistribusi tanah mencapai 1,8 juta hektar, dengan rincian eks-hak guna usaha, tanah telantar, dan tanah negara lainnya seluas 1.434.102,06 hektar dan dari pelepasan kawasan hutan seluas 383.228,31 hektar.
Lebih lanjut, rumusan ini menyebut tantangan pelaksanaan RA. Tantangan yang masih harus diatasi ini berupa disharmonisasi data, kelembagaan, regulasi, ataupun problem tumpang tindih tata kelola antarsektor yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat.
Dari evaluasi pelaksanaan RA, rumusan summit ini mengidentifikasi 10 hal utama yang menjadi masalah serta parameter turunannya, sebagai berikut: (1) standar data kadaster dan partisipasi masyarakat, (2) integrasi dan sinkronisasi data spasial, (3) kesiapan administrasi pertanahan, (4) basis data spasial terintegrasi, (5) sinergi dan kolaborasi antarpihak, (6) one map policy, (7) mekanisme penyelesaian tumpang tindih tanah, (8) dukungan anggaran dan regulasi, (9) dorongan legal dan pencegahan pengapitalisasian tanah, dan (10) penanganan konflik agraria.
Terkait realisasi dan evaluasi dirumuskan arah gerak (roadmap) pelaksanaan RA, mencakup 12 (dua belas) langkah konkret. Di ujung rumusan, dinyatakan bahwa RA dapat menjadi motor penggerak dalam menciptakan kekuatan ekonomi kerakyatan yang berkelanjutan serta tatanan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.
Rujukan baru
Presiden Joko Widodo menerbitkan Perpres Nomor 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria pada 3 Oktober 2023. Regulasi ini menjadi jurus pamungkas dalam mengatasi masalah agraria di Indonesia yang kompleks. Regulasi baru ini diharapkan mengikis budaya birokrasi yang cenderung sektoralis.
Kelambanan realisasi redistribusi tanah dan penyelesaian konflik agraria yang berkeadilan mendorong pemerintah memperbarui regulasi pelaksana RA melalui perpres ini. Perpres No 62/2023 merupakan revisi atas Perpres No 86/2018 tentang RA.
Perpres No 62/2023 ini terbit karena macetnya penyelesaian konflik agraria. Penanganan konflik masih lambat.
Kelambanan redistribusi tanah merupakan kegiatan utama land-reform yang menjadi inti dari RA. Dalam Nawacita, ditargetkan land-reform nasional seluas 9 juta hektar, dengan redistribusi 4,5 juta hektar berdasarkan RPJMN 2025-2019 dan 2020-2024. Hingga Juni 2024, capaian redistribusi tanah dari pelepasan kawasan hutan baru 383.228,31 hektar atau 16 persen dari target.
Selain itu, Perpres No 62/2023 ini terbit karena macetnya penyelesaian konflik agraria. Penanganan konflik masih lambat. Konflik agraria di kawasan hutan dan di areal yang dikelola BUMN terus bertambah tanpa penyelesaian berarti.
Strategi penanganan yang diserahkan kepada prosedur dan mekanisme internal masing-masing kementerian dan lembaga terbukti tak efektif menyelesaikan akar masalah konflik.
Sebanyak 1.385 kasus pengaduan masyarakat terkait konflik agraria ke Kantor Staf Presiden selama tujuh tahun terakhir (2016-2023) telah dianalisis aspek yuridis formal dan sosio-ekonomi-kulturalnya. Rinciannya, 716 kasus ditangani oleh Kementerian ATR/BPN, 244 kasus oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 359 kasus oleh Kementerian BUMN, dan 66 kasus ditangani lintas kementerian. Sinergi menjadi kunci akselerasi penyelesaian konflik agraria.
Secara keseluruhan, isi Perpres No 62/2023 terdiri dari 12 Bab dan 78 Pasal. Materi pokok pengaturannya mencakup perencanaan RA yang memuat strategi percepatan pelaksanaan RA, ketentuan mengenai obyek dan subyek RA, penataan aset yakni redistribusi dan legalisasi tanah, serta penyelesaian konflik agraria.
Sinergi menjadi kunci akselerasi penyelesaian konflik agraria.
Selain itu, diatur pula penataan akses berupa pemberdayaan ekonomi subyek RA, pembentukan kelembagaan pelaksana RA, ketentuan terkait pemantauan, pengendalian, dan pelaporan pelaksanaan RA, serta pendanaan dan peran masyarakat dalam pelaksanaan RA.
Intinya, perpres ini dimaksudkan mempercepat pemenuhan target penyediaan tanah obyek RA dan pelaksanaan redistribusi tanah, legalisasi aset tanah transmigrasi, penyelesaian konflik agraria, serta pemberdayaan ekonomi subyek RA. Diperlukan strategi pelaksanaan RA yang berkeadilan, berkelanjutan, partisipatif, transparan, dan akuntabel.
Baca juga: Belenggu Reforma Agraria
Makna kebaruan
Terbit dan berlakunya regulasi baru bagi percepatan pelaksanaan RA sebagai program strategis nasional di tahun politik 2024 bukan tanpa risiko. Selain kelambanan birokrasi dalam menangkap dan mengoperasionalkan substansi dari regulasi baru, juga terdapat ancaman penyelewengan karena kepentingan politik praktis elektoral yang ada.
Percepatan RA bisa ditunggangi kepentingan politik partisan guna memengaruhi suara subyek penerima manfaat RA agar condong pada kekuatan politik tertentu. Hal ini perlu disadari, diwaspadai, dan diantisipasi bersama aparat birokrasi. Publik pun harus mengawasi.
Reforma agraria sebagai agenda bangsa harus dijauhkan dari kepentingan politik pragmatis sempit. Jangan tukar keadilan agraria dengan recehan menjelang pemilu. RA harus dijauhkan dari manipulasi politik partisan.
Segala kebaruan regulasi dan rumusan RA Summit 2024 hendaknya jadi panduan birokrasi untuk konsisten menjalankan RA. Budaya bekerja untuk rakyat digalang. Rakyat juga perlu mendorong birokrasi agar mewujudkan keadilan agraria di tengah politik bising di panggung kekuasaan pusat dan daerah.
*Usep Setiawan, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden RI