Antisipasi Gejolak Ekonomi: Pelajaran dari Krisis 1997-1998
Salah satu penyebab krisis moneter adalah pada masa Orde Baru, kekuasaan Presiden Soeharto begitu absolut dan ditakuti.
Hari-hari ini, situasi ekonomi terlihat sedang tidak baik-baik saja. Indikatornya adalah nilai tukar mata uang rupiah terhadap dollar AS yang terus melemah.
Meskipun Bank Indonesia berusaha menahan laju pelemahan itu dengan melakukan intervensi, rupiah terus tertekan hingga pernah mencapai Rp 16.500 per dollar AS pada pertengahan Juni 2024.
Dalam beberapa bulan ke depan, sebenarnya tekanan terhadap rupiah kemungkinan besar akan berkurang karena dalam waktu dekat bank sentral Amerika Serikat (Federal Reserve Bank/The Fed) berpotensi memotong suku bunga dollar AS (akhirnya!). Penurunan suku bunga dollar AS akan membuat dollar AS melemah dan rupiah bisa menguat dalam beberapa bulan ke depan.
Ancaman yang sesungguhnya terhadap rupiah bakal terjadi setelah pemilihan presiden AS pada November mendatang. Siapa pun presiden yang terpilih akan menjadi seperti buah simalakama bagi rupiah.
Baca juga: Antara Isu Struktural dan Persepsi
Keduanya akan menempuh kebijakan merangsang ekonomi AS. Jika Joe Biden terpilih, dia akan mendorong belanja negara secara besar-besaran. Sementara jika Donald Trump terpilih, dia bakal mendorong pengurangan pajak besar-besaran.
Stimulus akan memicu kembali pertumbuhan ekonomi AS pada 2025. Namun, pertumbuhan itu akan memicu efek beruntun. Pada gilirannya, inflasi di AS akan kembali melejit. Akibatnya, The Fed akan terpaksa kembali menaikkan suku bunga dollar AS. Dollar AS yang menguat dan ”pulang kampung” akan membuat rupiah terpuruk.
Anjloknya rupiah pada 2025 akan menimbulkan gejolak, bahkan ancaman terhadap ekonomi Indonesia. Biaya impor—terutama minyak mentah, bahan bakar minyak, dan gas—akan membengkak.
Bank Indonesia akan terpaksa menaikkan suku bunga rupiah untuk menjaga otot rupiah. Kenaikan suku bunga rupiah akan membuat biaya modal bagi dunia usaha ataupun konsumen meningkat. Saat ini saja sudah ada beberapa pabrik yang tutup karena tidak lagi sanggup menyerap kenaikan biaya-biaya, seperti biaya permodalan.
Belajar dari BPPN
Di awal era reformasi, Indonesia pernah mengalami situasi serupa saat ini, yaitu meroketnya nilai dollar AS. Ada tiga masalah fundamental yang menjadi penyebab krisis ekonomi pada 1997-1998, yaitu (1) ketergantungan terhadap utang luar negeri, (2) lemahnya regulasi, dan (3) crony capitalism.
Pada 1992-1997, mayoritas utang luar negeri Indonesia merupakan utang perbankan dan sektor swasta. Modal asing berdatangan karena Indonesia dianggap memiliki perekonomian yang stabil. Padahal, kestabilan itu semu karena maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Utang luar negeri yang diterima perbankan dan sektor swasta ini kebanyakan mengalir ke kroni-kroni pemerintah dan bukan ke institusi/orang yang layak mendapat kredit. Para kroni tidak menggunakan utang tersebut untuk proyek riil yang dapat merangsang pertumbuhan ekonomi, tetapi untuk memperkaya diri.
Biasanya melalui investasi di proyek spekulatif, seperti megaproyek. Bagian dari modus ini adalah menggelembungkan aset (asset-bubble), yaitu mencatat nilai aset (termasuk oleh auditor) jauh di atas nilai wajarnya.
Puncaknya, pada saat mata uang baht Thailand dan won Korea ambruk, muncul keraguan terhadap negara lain di Asia, termasuk Indonesia.
Hal ini menyebabkan krisis kepercayaan, yang memicu arus modal keluar (capital outflow) dari Indonesia yang berujung kepada penarikan tabungan masyarakat dari bank-bank karena hilangnya keyakinan masyarakat terhadap sektor perbankan di Indonesia dan akhirnya pada seluruh perekonomian Indonesia.
Kondisi keuangan masyarakat juga bermasalah karena daya belinya terpuruk serta semakin terjerembap pinjaman dan judi daring.
Akibatnya, rupiah melemah dari Rp 2.000 per dollar AS pada Agustus 1997 menjadi Rp 16.000 per dollar AS pada Juni 1998. Inflasi pun meningkat secara drastis dan ekonomi Indonesia dalam kekacauan.
Salah satu penyebab krisis moneter adalah pada masa Orde Baru, kekuasaan Presiden Soeharto begitu absolut dan ditakuti. Tidak banyak orang yang berani berkata jujur dan apa adanya kepada beliau. Tidak ada orang yang berani bicara tentang ”aset bodong” di perbankan nasional.
Sebaliknya, di sekelilingnya lebih banyak penjilat dan kaum ABS (asal bapak senang) yang terus memberikan gambaran yang indah atas kondisi perbankan dan ekonomi. Padahal, kinerja perbankan pemerintah dan industri saat itu sudah merosot akibat korupsi dan ketidakbecusan (inkompetensi) yang tidak terkendali.
Krisis kronis itu bisa disembuhkan dengan program pemulihan ekonomi yang dijalankan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada 1998-2003.
Ketika itu, BPPN sering disebut sebagai ”dokternya perbankan”. Satu filosofi utama untuk penyelamatan ekonomi nasional yang dikerjakan sang dokter adalah amputasi.
Sama seperti sekarang, ekonomi Indonesia pada 1997-1998 dibebani oleh utang dan aset yang tidak produktif.
Di kalangan dunia usaha dan perbankan, utang bukan hal tabu selama digunakan untuk membiayai aset yang produktif. Jadi, aset tersebut menghasilkan pendapatan yang cukup untuk melunasi utang dan masih ada sisa keuntungan bagi pemilik asetnya setelah dipotong pajak dan biaya lainnya.
Utang menjadi masalah apabila digunakan untuk membiayai aset yang pendapatannya minim atau anjlok. Tidak cukup untuk membayar pokok berikut bunga utang. Apalagi, memberikan keuntungan bagi pemiliknya. Aset yang kinerjanya buruk dan tak produktif itu ibarat organ tubuh yang tadinya menyumbang fungsi positif, tetapi kemudian merosot dan malah membebani dan mengancam organ tubuh yang lain.
Ibarat kaki manusia yang tadinya sehat dan bisa digunakan untuk berjalan dan berlari, kemudian orang itu terkena penyakit diabetes. Kakinya menderita infeksi dan mulai membusuk yang menjalar dari telapak kaki. Kalau tak segera diamputasi di bagian lutut, pembusukan akan terus menjalar ke paha dan organ dalam lainnya.
Amputasi seperti itulah yang dilakukan BPPN sebagai dokter bank. Aset yang sakit secepat mungkin diamputasi agar tidak menginfeksi bagian ekonomi yang masih sehat. Berbeda dengan kaki manusia, aset yang sakit dan diamputasi sering kali bisa pulih dan tumbuh lagi—seperti ekor cicak yang putus—di tangan pemilik baru.
Banyak aset setelah diamputasi dari perbankan atau pemilik lama menjadi lebih sehat dan menyumbang pada rehabilitasi ekonomi nasional. Indosiar yang diamputasi dari Grup Salim dan dibeli keluarga Sariatmadja melalui Grup EMTEK menjadi grup media yang jauh lebih sukses daripada sebelumnya. Bank BCA, yang juga diamputasi dari Grup Salim dan dibeli oleh keluarga Budi Hartono dan Bambang Hartono dari Djarum, berkembang menjadi jauh lebih besar.
Badan-badan pengawas yang profesional dan independen adalah salah satu kunci terpenting dalam amputasi tersebut.
Masih banyak lagi kisah rehabilitasi dan sukses yang berawal dari amputasi besar-besaran yang dilakukan pada kurun 1998-2003.
Justru banyak pengusaha sukses zaman now yang mendapat kesempatan besarnya pada krisis 1998-2003 dengan mengambil risiko beli aset bermasalah.
Dengan jerih payah, mereka menyembuhkan aset tersebut sampai sukses meningkatkan omzet dan menambah lapangan kerja. Nilai aset itu pun melejit dan kembali menyumbangkan kontribusi positif pada perekonomian Indonesia. Lumrah kalau setelahnya mereka menjadi kaya raya.
Rehabilitasi melalui amputasi itu berbuah manis. Pada 2010 atau 13 tahun setelah krisis, pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah kembali ke kisaran 6 persen per tahun.
Pada akhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2014, besaran ekonomi Indonesia sudah naik dua kali lipat dibandingkan 1997 sebelum krisis melanda.
Pentingnya badan pengawas
Di era sekarang, pemerintah tidak perlu menunggu sampai krisis melanda. Belajar dari krisis moneter 1997-1998, pemerintah bisa secara proaktif dan preventif memulai proses amputasi bisnis yang tidak sehat pada 2024-2025. Jangan terlambat bertindak karena dipaksa oleh kepanikan di pasar uang dan pasar modal untuk mengambil langkah drastis.
Pada 1998-2003, utang luar negeri Indonesia yang menyebabkan krisis adalah utang perbankan dan sektor swasta. Sementara posisi fiskal pemerintah kuat dan kondisi keuangan rumah tangga (masyarakat luas) juga sehat.
Maka, pemerintah harus menggunakan daya fiskalnya dan menggerakkan tabungan masyarakat untuk menyediakan ”infus” modal ke perbankan saat BPPN mengamputasi aset bermasalah layaknya operasi bedah besar-besaran.
Saat ini, situasinya persis terbalik: perbankan dan sektor swasta Indonesia relatif sehat. Yang menjadi sumber utang bermasalah adalah badan usaha milik negara (BUMN) dan pemerintah (khususnya melalui kewajiban-kewajiban terselubung). Kondisi keuangan masyarakat juga bermasalah karena daya belinya terpuruk serta semakin terjerembap pinjaman dan judi daring.
Jadi, sekarang giliran sektor swasta dan perbankan ”balas budi” dan menggerakkan dana di perbankan, asuransi, dan lembaga keuangan lainnya (termasuk dana korporasi dan tabungan orang kaya) untuk ”infus modal” sehingga kita bisa bedah perekonomian melalui amputasi aset-aset bermasalah.
Badan-badan pengawas yang profesional dan independen adalah salah satu kunci terpenting dalam amputasi tersebut. Badan yang tugasnya memeriksa keuangan negara dan lembaga penegak hukum akan perlu bijaksana dan realistis.
Tentunya badan-badan pengawas tersebut perlu didukung dengan keberanian politik pimpinan tertinggi negara, baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Pada 1998-2003, keberanian itu ada pada Presiden BJ Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, dan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Thomas Trikasih Lembong, Menteri Perdagangan (2015), Kepala BKPM (2016-2019)