Planetarium memperkuat daya pikir dengan membebaskan manusia Indonesia dari takhayul. Kemangkrakan menyumbang kegelapan.
Oleh
SENO GUMIRA AJIDARMA
·4 menit baca
Apalah artinya jadi presiden, siapa pun presidennya, jika tidak mampu membereskan planetarium mangkrak bukan? Namun, dalam hal presiden dan planetarium yang mangkrak di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, tampaknya lebih baik dibicarakan secara simbolis karena perbincangannya secara praktis, selalu terarah pada kesahihan, bahwa kemangkrakannya masih akan berlangsung dalam waktu yang lamanya tidak bisa ditentukan. Tentu, barangkali bisa masuk Museum Rekor Dunia-Indonesia (Muri) sebagai mangkrak abadi.
Dengan membicarakannya secara simbolis, berarti membicarakan maknanya: apa itu planetarium dan apa itu presiden; karena surat resmi perihal kemangkrakannya sudah lama dilayangkan oleh Akademi Jakarta, yang (sebetulnya) didirikan untuk dipercaya, kepada Presiden Republik Indonesia. Bahwa kemudian tanggapannya mengoper persoalan itu kepada Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, tidaklah melepaskan tanggung jawabnya.
Betapa pun, secara simbolis makna ”pembangunan manusia dan kebudayaan” itu pun dahsyatnya bukan alang kepalang. Dalam kamus dialek Betawi, kata busyèt seperti setara untuk menggambarkannya karena lembaga manusia biasa yang mampu melakukannya terandaikan sebagai lembaga adidaya, dengan berkah ilahiah yang sangat diperlukan agar mampu melakukan tugasnya.
Presiden dalam semesta
Planetarium langsung terhubung dengan Presiden RI yang pada 1963 menggagas pendirian, dan mulai membangunnya sejak 1964. Bung Karno menganggap kehadiran planetarium sebagai terobosan pendidikan, supaya manusia Indonesia tidak perlu lulus S-1 astronomi lebih dulu untuk memahami prinsip dasar semesta. Dengan kata lain, semasa pra-Orde Baru itu Bung Karno memikirkan bagaimana peradaban dibangun oleh generasi baru, seperti yang sekarang diperjuangkan sebagai pemajuan kebudayaan.
Terobosan ini disebut berprioritas tinggi, ketika dalam fungsinya sebagai pendamping pendidikan formal, planetarium memperkuat daya pikir dengan cara membebaskan manusia Indonesia dari takhayul. Bung Karno menyebutkan istilah takhayul secara eksplisit dan memang takhayul menjadi penghalang cara berpikir yang dapat mengatasi berbagai masalah dunia, melalui ilmu, teknologi, dan seni.
Barang siapa pernah, meski hanya satu kali, menghayati presentasi simulasi keberadaan semesta di planetarium, bukan saja akan tertakjubkan oleh pesona keluasan yang tak kunjung henti diteliti dan dijelajahi, dengan hasil pengetahuan mencerahkan; melainkan juga penyadaran spiritual terpenting: makna manusia di bumi sekecil biji merica. Untuk kanak-kanak, maupun orang dewasa, termasuk politikus yang (seharusnya) menjadi paham, apalah artinya hidup dan kekuasaan manusia.
Dalam hubungan Planetarium TIM dengan Presiden RI, analogi kekuasaan seperti apakah yang bisa dimainkan? Dalam konteks ruang, secara praktis Planetarium TIM berada di dalam RI yang diperintah presiden, tetapi secara faktual presiden mana pun yang berkuasa atas planetarium adalah sepersetriliun titik debu di dalam seru sekalian alam. Masalahnya, seberapa jauh suatu kesadaran menghubungkan keduanya?
Jika tiada hubungan, kondisi mengenaskan berada di pihak manusia, karena alam semesta tidak berkesadaran, yang bisa berpikir itu manusia. Jika ada hubungan, seberapa jauhkah proses berpikirnya sampai pada kesadaran, bahwa mangkraknya Planetarium TIM sama juga dengan proses pemunduran kebudayaan? Tiada lebih dan tiada kurang, membawa anak-anak bangsa Indonesia menuju abad kegelapan.
Retoris? Sejak tahun 1968, gedung beratap bulat Teater Bintang yang kemudian lebih menjadi ciri TIM daripada gedung dan galeri seni di sekitarnya, telah terus menyedot pengunjung sampai ditutup pada Maret 2020 karena pandemi Covid-19, yang pada Juni dilanjutkan proyek revitalisasi. Saat dibuka kembali pada September 2022, barulah dipergoki terdapatnya devitalisasi proyektor Universarium M VIII, yang setiap kali diperdebatkan seolah menjadi ”bukan tanggung jawab siapa pun”.
Makna manusia di bumi sekecil biji merica. Untuk kanak-kanak, maupun orang dewasa, termasuk politikus yang (seharusnya) menjadi paham, apalah artinya hidup dan kekuasaan manusia.
Simulasi Teater Bintang, dengan ilustrasi musik seperti ”Claire de Lune” Debussy, selalu memukau ketika diantar pembawa program andal (yang pernah cukup lama dilakukan pembicara sekelas Karlina Supelli), dari hari ke hari menjadi pencerah berjuta-juta pelajar dari segenap penjuru Tanah Air, kini terhenti.
Dengan semakin maraknya komunitas astronomi, semangat belajar dan pengamatan langit tidak padam, tetapi pembelajaran dini terbaik untuk segala umur tentu melalui Teater Bintang itu, dari generasi ke generasi.
Bung Karno sangat serius dengan pembangunan manusia Indonesia ini. Visinya adalah membangun masyarakat bernalar. Sempat mangkrak sebagai dampak huru-hara politik, planetarium mulai beroperasi pada 1968, saat Bung Karno sudah lenyap dari panggung kekuasaan.
Apabila setelah 52 tahun mencerahkan, standar pembelajaran nonformal astronomi yang mengikis takhayul ini tidak hadir lagi sebagai satu-satunya planetarium canggih; dan masih terus mengecewakan ratusan rakyat haus pengetahuan yang setiap hari datang dengan bus sewaan, tidakkah kemangkrakan ini tiada lain hanya menyumbangkan kegelapan?
Walau bukan proklamator
Analogi simbolis antara keluasan semesta dan kekuasaan Presiden RI, dengan perantaraan Planetarium TIM, mungkin tidak adil dan terasa seperti mengecilkannya. Namun, keluasan semesta ini bisa disusutkan menjadi RI saja. Apa yang tadinya simbolik menjadi nyata, dan secara praktis presiden RI memang seolah bisa berbuat apa saja di negeri ini. Benarkah?
Jika dibandingkan dengan Bung Karno, setiap presiden RI biasanya dengan rendah hati menganggap dirinya tidak sebanding dengan Proklamator itu. Tentu saja kemangkrakan Planetarium TIM ini tidak perlu mereka jadikan buktinya. Sebab, seperti awal perbincangan ini, apalah artinya jadi presiden, siapa pun presidennya, jika tidak mampu membereskan planetarium mangkrak bukan?
*Seno Gumira Ajidarma,Ketua Akademi Jakarta 2020-2025