Waspadai Konflik China-Taiwan
Jika urusan Taiwan sudah tuntas, saat itulah kita harus semakin khawatir dengan potensi konflik di Laut China Selatan.
Bulan lalu China menggelar latihan militer di sekitar Taiwan. Amerika Serikat menyebutnya sebagai provokasi dan menyampaikan kekhawatiran mendalam. China menyatakan latihan itu bertujuan untuk memberikan hukuman kepada pemimpin kawasan yang memprovokasi pemisahan Taiwan dari China dan peringatan keras bagi kekuatan eksternal yang mendukungnya.
Latihan militer ini tidak menarik perhatian serius media. Beberapa media internasional hanya memberitakannya sambil lalu, tampaknya dianggap sebagai kejadian biasa. Namun, jika menyangkut hubungan China-Taiwan, tak ada yang biasa-biasa saja.
Kedua negara tersebut menyimpan potensi konflik yang dapat meletus sewaktu-waktu. Lebih baik kita waspada daripada kecolongan.
Sejarah ketegangan
Akar ketegangan China-Taiwan bisa dilacak ke masa awal pendirian negara China pada permulaan abad ke-20. Revolusi meruntuhkan sistem monarki China yang telah berumur ribuan tahun dan menggantinya dengan negara modern bernama Republik China.
Negara baru tersebut dijalankan Partai Kuomintang yang berhaluan nasionalis di bawah pimpinan Dr Sun Yat Sen, sang bapak revolusi sekaligus bapak bangsa.
Namun, Kuomintang bukan pemain tunggal. Muncul pemain lain yang kelak akan mengambil alih kekuasaan dari Kuomintang, yaitu Partai Komunis China.
Baca juga: Hari Kedua Latihan Pengepungan Total, China Peringatkan Perang di Taiwan
Dalam situasi pasca-revolusi yang tidak stabil—di mana perebutan kekuasaan antarhulubalang (warlord) menyebabkan penderitaan rakyat tak berkesudahan—Partai Komunis memperoleh momentumnya.
Partai ini tumbuh pesat menjadi kekuatan politik besar di bawah kepemimpinan Mao Zedong, salah satu pendiri dan tokoh Partai Komunis yang paling legendaris.
Perebutan pengaruh antara Kuomintang dan Partai Komunis pun tak terelakkan meski mereka pernah bersatu sebentar untuk melawan penjajahan Jepang. Puncaknya adalah revolusi kedua pada tahun 1949 yang berakhir dengan kemenangan Partai Komunis dan berdirinya negara Republik Rakyat China seperti yang kita kenal sekarang.
Tersingkir, Kuomintang di bawah kepemimpinan Chiang Kai Shek melarikan diri ke pulau kecil di sebelah tenggara China bernama Formosa. Sekarang pulau itu kita kenal sebagai Taiwan.
Dengan latar belakang ini, China selalu menganggap Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya dan bertekad menyatukannya dengan China.
Sebaliknya, Taiwan menganggap mereka adalah ahli waris sah negara China dan tetap mempertahankan nama Republik China.
Dualisme ini sempat menimbulkan masalah bagi keanggotaan China di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), hingga pada tahun 1971 China daratan diakui sebagai negara anggota sah PBB melalui pemungutan suara. Namun, Taiwan tidak mau menerima begitu saja dan baru secara resmi mengakui kedaulatan China daratan pada tahun 1991 seraya tetap menolak upaya penyatuan.
Situasi ini membuat Taiwan memiliki status unik. Taiwan tidak lagi menjadi anggota PBB setelah keanggotaannya diambil alih China. China juga tidak membiarkan Taiwan menjadi anggota PBB dan tidak ingin negara lain mengakui Taiwan sebagai negara.
Mayoritas negara menganut kebijakan satu China (one China policy), hanya mengakui China sebagai negara yang sah dan tidak mengakui Taiwan. Saat ini hanya 11 negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Taiwan meskipun banyak yang memiliki hubungan tidak resmi, termasuk AS.
Potensi konflik
Di opini harian Kompas (9/3/2024), saya menulis tentang meningkatnya kecenderungan perang di era multipolar dan adanya kesamaan pola antara perang di Ukraina dan perang di Gaza. Pola serupa juga bisa kita jumpai dalam relasi China-Taiwan.
Pertama, kekuatan China dan Taiwan asimetris. Ditinjau dari sisi mana pun, China jauh lebih kuat dibandingkan dengan Taiwan. Populasi Taiwan hanya 23,6 juta jiwa, sementara China 1,4 miliar jiwa. Produk domestik bruto (PDB) China 18 triliun dollar AS, Taiwan hanya 800 miliar dollar AS.
China memiliki 2 juta tentara aktif, Taiwan hanya 180.000 tentara. Dari sisi teknologi perang juga jelas China unggul. Terlebih China memiliki senjata nuklir, sementara Taiwan tidak. Melumpuhkan Taiwan bukan perkara sulit bagi China.
Kedua, China adalah anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB pemegang hak veto. Jika menginvasi Taiwan, China tidak perlu khawatir dengan langkah yang akan diambil DK karena bisa menghentikannya lewat veto. Tanpa restu DK, PBB tidak bisa menerapkan sanksi atas China. Bahkan, untuk sekadar mengeluarkan resolusi guna mendesak perdamaian pun tak akan mudah, seperti kita lihat dalam kasus perang di Ukraina dan Gaza.
Jika urusan Taiwan sudah tuntas, saat itulah kita harus semakin khawatir dengan potensi konflik di Laut China Selatan.
Ketiga, China tidak perlu mengkhawatirkan pembelaan negara-negara sekutu Taiwan. Apalagi masih menjadi pertanyaan, apakah Taiwan benar-benar memiliki sekutu sejati.
Hubungan AS dengan Taiwan tidaklah sebaik itu untuk membuatnya bersedia pasang badan menghadapi China dengan segala risiko apa pun. Ini berbeda dengan hubungan AS dengan Israel, misalnya, yang bersifat tanpa syarat (unconditional). Sementara, negara-negara sekitar tak ada yang perlu dikhawatirkan China.
Keempat, Taiwan bagi China adalah duri dalam daging. Latar belakang historis seperti disebut itu menjadi musababnya. Selama Taiwan belum menjadi bagian dari China, selama itu pula China tidak bisa tenteram. Ditambah lagi, ada aktor luar yang dianggap China turut campur dalam hubungan mereka.
Presiden China Xi Jinping telah menegaskan tekadnya untuk menyatukan Taiwan di bawah China dengan pendekatan ”satu negara, dua sistem” seperti Hong Kong.
Selain keempat poin itu, ada satu hal lagi yang menjadi kemiripan antara ketegangan China-Taiwan dan perang Rusia-Ukraina, yaitu tautan dengan Perang Dingin.
Perang Rusia-Ukraina terjadi karena Rusia menilai Ukraina dengan mentalitas Perang Dingin, khawatir tetangganya
itu dijadikan alat oleh negara-negara Barat untuk mengurungnya (containment) lewat NATO.
Sementara, akar ketegangan China-Taiwan adalah perseteruan ideologis dan perebutan kekuasaan antara kaum komunis dan kaum nasionalis di era Perang Dingin.
Kandidat konflik berikutnya
Lima karakteristik itu menjadikan ketegangan China-Taiwan sebagai kandidat berpotensi untuk konflik berikutnya setelah Ukraina dan Gaza.
Menilik kesenjangan kekuatan China dan Taiwan, pertimbangan China untuk tidak (atau belum) memaksa Taiwan dengan kekerasan pastilah bukan karena deterrence yang dimiliki Taiwan.
Dugaan saya, selama ini China belum bertindak karena ingin menjaga kondusivitas pembangunan ekonominya, menghindari eskalasi yang dapat memicu ketidakstabilan kawasan, dan menjaga citranya di dunia internasional.
Namun, dengan berbagai perkembangan terakhir, patut diragukan apakah pertimbangan tersebut masih relevan. Ekonomi China sudah tumbuh sedemikian besar hingga menjadi too big to fail. Tahun 1990, PDB China hanya 4 persen dari PDB dunia, sekarang kisaran di 19 persen, terbesar kedua setelah AS.
Hampir tak ada negara yang ekonominya tak terkoneksi dengan China. Invasi ke Taiwan sepertinya tidak akan membahayakan ekonomi China dalam jangka panjang.
Seandainya ekonomi China terganggu pun, banyak negara akan ikut kena getahnya karena memiliki hubungan ekonomi intensif dengan China, termasuk negara-negara Barat.
Oleh karena itu, mereka berkepentingan agar perang tidak berlangsung lama, demi stabilitas ekonomi mereka sendiri.
Jika perang benar-benar meletus, stabilitas di Indo-Pasifik bisa guncang dan seluruh dunia akan merasakan dampaknya mengingat arti strategis dari kawasan ini.
Gairah mereka untuk membantu Taiwan tidak akan besar karena bantuan mereka akan memperlama perang. Hal ini diperparah posisi politis Taiwan yang lemah di dunia internasional dan latar belakang historis hubungannya dengan China yang memang problematik sejak awal.
Sementara, di sisi lain, perang di Ukraina dan Gaza menunjukkan bahwa eskalasi tidak mudah terjadi, dan citra hanyalah mantra usang yang tidak perlu dipedulikan pemenang. Pola retoris ”jika Rusia dan Israel bisa, kenapa China tidak?” akan kembali terulang.
Singkatnya, pertimbangan China untuk tak menyerang Taiwan menjadi semakin kurang relevan sehingga tidak ada alasan lagi bagi China untuk terus menahan diri.
Dus, kita harus bersiap menyaksikan China yang kian agresif terhadap Taiwan di kemudian hari. Perkiraan saya, potensi meletusnya konflik di Selat Taiwan lebih besar dibandingkan dengan di Laut China Selatan.
Logikanya sederhana: China akan lebih dulu membereskan urusan di halaman belakang rumahnya sebelum memperluas jangkauan agresivitasnya ke luar. Jika urusan Taiwan sudah tuntas, saat itulah kita harus semakin khawatir dengan potensi konflik di Laut China Selatan.
Jika perang benar-benar meletus, stabilitas di Indo-Pasifik bisa guncang dan seluruh dunia akan merasakan dampaknya mengingat arti strategis dari kawasan ini. Indo-Pasifik adalah rumah bagi 62 persen populasi dunia, serta menyumbang 62 persen PDB dunia dan 46 persen perdagangan global.
Di tengah kekacauan akibat perang di Ukraina, tragedi di Gaza, ancaman iklim, dan berbagai tantangan lainnya, perang di Indo-Pasifik akan menjadi pukulan telak yang dapat membuat dunia kembali tersungkur. Siapkah kita?
Shohib MasykurPemerhati Hubungan Internasional; Lulusan Universitas Georgetown, AS