Diplomasi Sawit Menghadapi Peraturan Deforestasi Uni Eropa
Selain melalui ISPO, pelaku ekonomi sawit Indonesia telah berusaha mempraktikkan pengusahaan sawit secara berkelanjutan.
Episode diplomasi ekonomi sawit dengan Uni Eropa menghadapi babak baru yang tidak kalah rumit. Hal itu terjadi setelah pada 31 Mei 2023 Uni Eropa mengeluarkan peraturan baru deforestasi, yakni Regulation (EU) 2023/115 atau European Union Deforestation Regulation (EUDR).
Sebelumnya, Indonesia menggugat Uni Eropa (UE) ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) karena UE dinilai telah bertindak diskriminatif terhadap biodiesel yang berasal dari minyak kelapa sawit mentah (CPO).
Hingga akhir Februari 2024, Indonesia sebenarnya masih menunggu keputusan hakim panel sengketa (dispute settlement body/DSB) untuk gugatan dengan nomor perkara DS-593 tersebut.
Setelah sekitar dua tahun tanpa kejelasan keputusan, Maret 2024 Indonesia mengambil keputusan cukup tegas, meminta waktu pembekuan perkara (suspended) untuk sementara.
Tidak lama berselang dari keputusan pembekuan DS-593 tersebut, Pemerintah Indonesia juga secara berani menyampaikan tidak akan mematuhi (not comply) EUDR karena UE dianggap terlalu jauh masuk ke dalam wilayah kedaulatan hukum Indonesia.
Selain melalui ISPO, pelaku ekonomi sawit Indonesia telah berusaha mempraktikkan pengusahaan sawit secara berkelanjutan.
Strategi diplomasi
Tulisan ini menganalisis strategi diplomasi ekonomi sawit menghadapi EUDR dan kesiapan industri sawit kita menghadapi peraturan perdagangan sejenis di tingkat global.
EUDR pada prinsipnya melarang tujuh komoditas strategis, yaitu kakao, karet, kayu, kelapa sawit, kopi, kedelai, binatang ternak, untuk diperdagangkan atau masuk ke dan keluar dari UE, kecuali memenuhi tiga syarat.
Tiga syarat dimaksud adalah (1) bebas deforestasi dan degradasi hutan, (2) diproduksi melalui aturan legal yang berlaku atau memenuhi ketentuan legalitas di negara produsen. Kemudian, (3) memiliki due diligent statement atau mengikuti uji tuntas dengan prosedur UE, yaitu keterlacakan rantai pasok, geolokasi dan mitigasi risiko sesuai derajatnya, yaitu risiko rendah, risiko standar, dan risiko tinggi.
EUDR ini mengharuskan pelaku perdagangan ekspor-impor tujuh komoditas di atas menyampaikan informasi rinci titik koordinat geografis lahan produksi komoditas, yang menegaskan bahwa pada lokasi lahan itu tak terjadi deforestasi.
EUDR juga mensyaratkan bahwa areal lahan dengan luas lebih dari 4 hektar untuk produksi komoditas selain peternakan harus dilengkapi dengan geolokasi yang menampilkan poligon yang berisi titik bujur dan lintang untuk menggambarkan setiap plot lahan.
Persyaratan ini dirasa cukup memberatkan bagi petani sawit rakyat yang umumnya tidak terlalu peduli tentang informasi geolokasi dan titik koordinat lahan atau kebun sawitnya.
Aturan EUDR tersebut mulai berlaku bagi pedagang UE per akhir Desember 2024, serta bagi usaha kecil dan menengah (UKM) UE sudah akan berlaku pada triwulan II-2024 atau 29 Juni 2024.
UE adalah pasar ekspor CPO keempat terbesar bagi industri sawit Indonesia, menyumbang 2,7 miliar dollar AS devisa, dan 8,9 persen dari total pangsa CPO Indonesia.
Posisi UE ini masih di bawah India, yakni 5,3 miliar dollar AS (19 persen), China 4,0 miliar dollar AS (14,6 persen), dan Pakistan 3,1 miliar dollar AS (10,7 persen) (BPS, 2023).
Meskipun demikian, pasar sawit UE sering jadi trend-setter tingkat global sehingga kebijakan UE sering dijadikan patokan (benchmark) oleh banyak negara lain. Ekspor CPO dari Indonesia ke UE sebagian besar adalah ke Belanda (59 persen) dan sisanya ke Spanyol (17 persen), Italia (16 persen), Estonia (5 persen), dan lain-lain.
Indonesia sebenarnya telah melakukan negosiasi dengan UE, yang meliputi banyak hal. Misalnya, Indonesia telah mewajibkan sertifikasi ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) yang bahkan lebih komprehensif dibandingkan ketentuan EUDR.
Definisi deforestasi yang digunakan UE sangat berbeda dengan definisi deforestasi dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan, yang merupakan perubahan atas UU Nomor 41/1999 serta peraturan perundang-undangan lain yang berlaku di Indonesia.
Baca juga: Larangan Sawit, Bahasa Cinta Uni Eropa atau Politik Dagang?
Walau pemerintah telah menyatakan tegas tidak akan mematuhi (not comply) EUDR, para pelaku usaha dan akademisi sedang merumuskan beberapa titik temu yang lebih baik, dalam skema diplomasi ekonomi yang boleh jadi akan lebih produktif ke depan.
Para pelaku usaha swasta sawit dan petani sawit telah merasa cukup jauh melaksanakan sertifikasi berkelanjutan melalui ISPO walau masih terdapat persoalan akseptabilitas dalam pasar CPO di tingkat global.
Selain melalui ISPO, pelaku ekonomi sawit Indonesia telah berusaha mempraktikkan pengusahaan sawit secara berkelanjutan. Bahkan, sejak 2010, Pemerintah Indonesia telah menjalankan moratorium pemberian izin baru kebun sawit di hutan primer dan lahan gambut melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 10/2011 yang berlaku dua tahun.
Ketentuan moratorium izin baru kebun sawit terus diperpanjang hingga tertuang versi Inpres Nomor 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Kelapa Sawit.
Salah satu manfaat penting dari kebijakan moratorium itu adalah laju deforestasi menurun drastis dari 300.000 hektar pada 2012 menjadi hanya 30.000 hektar pada 2020.
Sementara itu, produksi CPO juga terus meningkat, dari 42 juta ton pada 2018 menjadi 46 juta ton pada 2019 dan 44 juta ton pada 2020 (Data Trase Supply Chain, 2022).
Diplomasi sawit melalui upaya konvergensi aturan detail dalam ISPO dan EUDR diharapkan menjadi langkah alternatif dalam meningkatkan daya saing dan keberlanjutan minyak sawit Indonesia di pasar global.
Elemen peraturan perundang-undangan dalam ISPO dapat memenuhi ketentuan dan persyaratan dalam EUDR, terutama terkait aspek hak asasi manusia, lingkungan hidup, dan tatanan sosial lain.
Beberapa elemen dalam sertifikasi ISPO dapat diperkuat agar selaras dengan standar EUDR, seperti perbedaan definisi hutan, hak-hak masyarakat adat, penerapan sistem dan infrastruktur baru, dan lapangan kerja.
Saat ini telah dibentuk Gugus Tugas Bersama (Joint Task Force/JTF) beranggotakan pelaku usaha, perwakilan petani sawit, dan akademisi untuk menyelaraskan ISPO dengan EUDR guna mencari titik temu yang lebih inklusif.
Titik temu perlu terus diupayakan melalui strategi diplomasi ekonomi yang dapat menguntungkan Indonesia sebagai produsen dan UE sebagai konsumen minyak sawit, plus enam komoditas strategis lain.
Rekomendasi kebijakan
Pertama, Indonesia perlu lebih gencar melakukan pendampingan kepada petani sawit rakyat untuk menggugah kesadaran tentang pentingnya sertifikasi ISPO untuk keberlanjutan usahanya. Mekanisme pemantauan terhadap implementasi sertifikasi dilakukan di tingkat lapangan, baik bagi petani sawit rakyat maupun bagi pelaku swasta sawit, untuk rantai nilai berkelanjutan.
Kedua, UE perlu lebih berbesar hati dan konsisten dengan komitmennya membantu kebun sawit rakyat, melalui kemitraan yang setara untuk mewujudkan investasi melalui proses keterlacakan produk.
Indonesia dapat melakukan diplomasi melalui Swiss, yang tidak menjadi bagian dari UE, tapi saat ini banyak bekerja sama dengan organisasi masyarakat di tingkat lapangan, serta melakukan capacity building petani sawit rakyat untuk meningkatkan akses pasar, akses teknologi, akses pembiayaan, dan lain-lain.
Ketiga, JTF perlu lebih fleksibel dalam pembahasan skema sertifikasi berkelanjutan yang lebih dapat diakses petani kecil sehingga lebih kompatibel dengan ketentuan EUDR.
Setidaknya, JTF perlu memastikan persyaratan yang lebih terjangkau oleh petani kecil agar lebih inklusif. Dalam hal ini, JTF perlu menjadi jembatan untuk menyelaraskan ketentuan dan implementasi strategi sawit berkelanjutan.
Bustanul Arifin, Guru Besar Universitas Lampung; Ekonom Indef; Ketua Umum Perhepi