Memaafkan Dinasti Politik
Memaafkan dinasti politik sambil membelanya sebagai Asian ”values” adalah titik balik bagi padamnya nalar kritis.
Kecemasan atas dinasti politik membayangi pemilihan kepala daerah. Setelah menjadi debat dan kontroversi yang panjang pada pemilu presiden Februari lalu, resep dinasti politik mulai direplikasi lewat nominasi para kerabat pejabat pemerintahan kita di pelbagai arena pilkada.
Meruapnya fenomena dinasti politik dari skala nasional hingga lokal ini mendatangkan dilema dalam hidup berdemokrasi. Karena kemunculannya yang beruntun, politik berbasis kerabat mulai dilihat sebagai sesuatu yang tak terlalu asing, yang kehadirannya sekadar dipandang sebagai rutin belaka. Orang mulai menormalisasi bahwa pada tiap rutinitas pemilu—entah presiden, legislatif, atau pilkada—dinasti politik toh akan terus hadir dan ada.
Kecenderungan ini sesungguhnya mengkhawatirkan. Opini dan siniar berbasis anak muda menyirkulasikan pesan betapa dinasti politik adalah sesuatu yang inheren dalam sistem nilai dan budaya kita. Berpusatnya kekuasaan di lingkaran trah keluarga yang terus dikembangkan—tak peduli secara nasional atau lokal atau bahkan keduanya—dianggap sebagai ciri yang telanjur melekat berabad-abad pada bangsa-bangsa Asia.
Oleh karena itu, menguatnya kembali dinasti politik dalam demokrasi modern akhirnya dipersepsi sebagai lazim saja; kita sejatinya sekadar melanjutkan apa yang telah menjadi tradisi sejak dulu kala.
Baca juga: Dinasti Politik dan Ancaman Demokrasi
Argumen semacam itu, selain karena tampak malas karena tak sungguh-sungguh mendasarkan pada investigasi sejarah yang kritis dan cakap, juga adalah pantulan atas kombinasi beracun antara oportunisme dan keputusasaan. Dua yang terakhir adalah tanda bahaya bagi masa depan demokrasi kita. Memaafkan dinasti politik sambil membelanya sebagai Asian values adalah titik balik bagi padamnya nalar kritis.
Pertama-tama, kemunculan dinasti politik dalam sistem demokrasi yang dikontrol oleh kekuatan parlemen, lembaga hukum independen, serta oleh masyarakat sipil, baik di spektrum lokal maupun nasional, haruslah dianggap sebagai sebuah anomali. Kekuatannya pun dilahirkan oleh prakondisi yang kompleks, yang tak dapat diserahkan begitu saja pada alasan-alasan imajiner tentang mitos nilai atau budaya.
Nancy Bermeo (2016) menganjurkan tiga faktor untuk diperiksa: apakah telah terjadi konsentrasi kekuatan militer yang memiliki daya represi besar, apakah kekuasaan eksekutif tumbuh semakin dalam dan luas, serta apakah pemilu berlangsung sehat dan adil tanpa manipulasi masif. Tiga faktor ini berkelindan dalam menyumbang lahirnya rezim dengan kekuasaan eksesif, ditopang oleh aparatur negara yang dominan, dan dilegitimasi oleh pemilu yang tak dapat diandalkan hasilnya.
Dinasti politik adalah fenomena yang lahir dari situasi semacam ini. Ia bertumbuh kuat pertama-tama bukan karena spontanitas kepercayaan diri yang tinggi atau kekuasaan yang despotik, melainkan karena rezim telah mempersiapkannya dengan baik dan teliti, hingga pada tahap bahwa mereproduksi resep ini di kontestasi pemilu yang berbeda adalah hal yang mungkin dan berpeluang mengulang keberhasilan.
Dinasti dan keuntungan petahana
Dalam studi tentang dinasti politik dalam negara-negara demokrasi, Schafferer (2023) lebih jauh menawarkan jalan baru untuk memahami bagaimana bisa anomali dinasti politik dapat menunggang perangkat demokrasi secara legal. Salah satu yang penting untuk digarisbawahi adalah dengan menganalisis cara-cara pemerintah berkuasa dalam membuka ruang regulasi, membangun kesepakatan politik dengan aliansi partai, atau mekanisme spesifik lain yang memungkinkan petahana atau incumbent mewariskan privilese kekuasaan kepada keluarganya (inherited incumbency advantage).
Situasi tersebut, masih menurut Schafferer, hanya bisa dikerjakan oleh petahana yang berkuasa, yang memanfaatkan merek politik keluarga mereka dan klaim-klaim pencapaian pembangunan selama berkuasa untuk mendapatkan kepercayaan dan kesetiaan pemilih. Narasi yang mengemuka kemudian adalah bahwa segala gilang-gemilang capaian itu dapat berlanjut jika tampuk kekuasaan dioper ke trah keluarga penguasa. Jika semua itu dapat dilegitimasi lewat regulasi, maka mewariskan kekuasaan kepada anak dan relasi keluarga lain hanyalah soal waktu belaka.
Keuntungan petahana semacam ini telah meloloskan pelbagai kemunculan dinasti politik dalam negara demokrasi modern secara sah dan legal melalui pemilu.
Pada saat yang sama, privilese petahana ini telah mengucilkan semua kandidat oposisi atau calon alternatif pada situasi terasing. Bukan saja karena mereka tak menggenggam akses dan jalan untuk merancang regulasi yang menguntungkan posisi mereka, tetapi lebih-lebih karena mereka telah dikunci pada posisi untuk menerima keadaan yang telah diatur sedemikian rupa dan dipaksa untuk meyakini bahwa satu-satunya pilihan untuk melawan adalah melalui pemilu—terlepas dari kredibel-tidaknya kontestasi pemilu yang dimaksud. Hal ini membuat kandidat oposisi sulit untuk menghadirkan diri sebagai alternatif.
Keuntungan petahana semacam ini telah meloloskan pelbagai kemunculan dinasti politik dalam negara demokrasi modern secara sah dan legal melalui pemilu. Ironi terbesarnya: legalitas itu memang didapat dari perolehan suara terbesar dalam voting pemilu, tetapi ia diciptakan lewat prakondisi kompetisi kekuasaan dan regulasi yang manipulatif.
Dengan demikian, sikap yang mengabaikan kompleksitas soal-soal di atas sambil memaafkan dan menerima dinasti politik hari ini sebagai realitas politik yang telanjur berakar adalah sikap romantis yang keliru karena dua hal genting.
Pertama, ditutupnya peluang untuk menghasilkan kepemimpinan nasional dan kepemimpinan lokal yang orisinal berdasar sistem merit yang baik. Apa yang hari ini menjadi soal bukan semata-mata krisis kepemimpinan, melainkan dominasi petahana berkuasa yang memiskinkan pilihan alternatif atau kreativitas politik.
Selain memakan korban dari pihak oposisi, subyek penderita lain sesungguhnya adalah sang penerus trah itu sendiri. Bangunan dinasti yang senantiasa bertolak dari kekhasan patron dan ciri yang menjadi properti pribadi telah memenjara penerus dinasti pada kematian inovasi dalam memimpin.
Penerus trah tak punya banyak pilihan selain memelihara ciri (dari yang mengambil bentuk secara fisik hingga programatik) yang diturunkan kepadanya, tetapi bersamaan dengan itu, ia juga berhadapan dengan risiko berada dalam bayangan keluarganya yang mengurung imajinya selamanya.
Baca juga: Dinasti Politik Tumbuh Subur, Siapa Paling Bertanggung Jawab?
Jargon dan gaya kepemimpinan dijiplak semirip-miripnya untuk terus mengobarkan kesan bahwa pribadi yang bersangkutan memiliki kemampuan yang dititiskan para kamitua atau sesepuhnya. Perasaan mencintai pemimpin dibangun dengan cara mengenang-ngenang kepemimpinan yang telah lewat, meromantisisasi memori kolektif publik atas klaim gemilang dahulu kala.
Kedua, penyelewengan besar-besaran atas anutan nilai dan tradisi itu sendiri, seolah-olah genesis dinasti politik sungguh didukung oleh klaim nilai budaya dan sejarah. Pada banyak contoh di pelbagai belahan dunia, yang terjadi justru sebaliknya: dinasti politik muncul dan menggenapkan pengaruhnya dengan memanfaatkan topeng budaya, klaim kesejarahan, manipulasi dogmatik agama, atau sentimen lain yang dapat dipakai memperkuat legitimasi.
Itu sebabnya, secara ajaib sering ditemui fanatisme publik yang sangat kuat atas satu keluarga dinasti tertentu yang diiringi oleh narasi-narasi kesejarahan yang membikin normal kehadiran dan kesuksesan dinasti tersebut. Situasi mental semacam ini pada gilirannya mengendalikan persepsi politik atas betapa lazimnya kekuasaan diturunkan kepada anak dan cucu, tanpa lagi bertanya pada abnormalitas prosesnya.
Rendy Pahrun Wadipalapa, Peneliti Politik, PhD dari University of Leeds, United Kingdom