Kita perlu menjaga agar gejala deformasi saat ini tak semakin parah, dan mengembalikan semangat reformasi ke akarnya.
Oleh
FARHAN ABDUL MAJIID
·3 menit baca
Rangkaian kebijakan politik ataupun proses hukum di negeri kita akhir-akhir ini mengisyaratkan satu hal. Kita sedang meninggalkan era Reformasi. Hari ini, Indonesia sedang bergerak menuju arah deformasi.
Jika reformasi adalah upaya yang kontinu untuk memperbaiki institusi politik, ekonomi, dan sosial dari waktu ke waktu, maka deformasi adalah gerak sebaliknya. Ia adalah upaya grusa-grusu untuk merusak institusi politik, ekonomi, dan sosial dalam tempo yang terburu-buru.
Deformasi ini tidak terjadi dalam waktu singkat. Ia berjalan perlahan dengan melucuti satu per satu institusi yang menjadi manifestasi agenda reformasi. Prosesnya pun dilakukan melalui mekanisme demokratis, melalui revisi undang-undang hingga bersidang di mahkamah. Sebagian dari para pelakunya pun tampak mirip dengan kebanyakan dari kita, berlatar belakang sipil, pernah menjadi rakyat kecil, dan dahulu tidak menjadi bagian dari Orde Baru.
Akibatnya, banyak dari kita tidak sadar akan gejala ini. Kita berpikir bahwa keadaan tidak seburuk yang diberitakan. Sebab, ketidaksehatan sistem demokrasi ini menyublim dalam berbagai pencitraan dan kultus individu. Akhirnya, kita menggeser perhatian pada sistem menjadi tunjuk hidung orang per orang.
Gejala penurunan kualitas demokrasi Indonesia sudah tampak dari satu dekade lalu. Riuh rendah Cicak vs Buaya antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Negara RI (Polri) melemahkan institusi pemberantasan korupsi kita. Kondisi ini terus diperparah dengan revisi Undang-Undang KPK yang melucuti independensinya pada 2017. Proses perubahan UU KPK ini pun jauh dari proses yang patut pada negara demokrasi karena tidak mendengarkan aspirasi publik dan cenderung tergesa-gesa.
Proses legislasi yang buruk tidak berhenti di situ. Berbagai undang-undang yang diproses DPR bersama pemerintah, mulai dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Omnibus Cipta Kerja, Omnibus Kesehatan, hingga Ibu Kota Negara menunjukkan keengganan untuk mendengarkan aspirasi publik. Padahal, dalam negara yang demokratis, suara masyarakat adalah fondasi terpenting.
Deformasi ini tidak hanya terjadi pada lembaga legislatif. Pilar kekuasaan kehakiman juga dilucuti satu per satu. Setelah putusan Mahkamah Konstitusi yang terbukti melanggar etika karena indikasi nepotisme, putusan Mahkamah Agung yang menafsir ulang undang-undang yang mengatur pemilihan kepala daerah turut membuktikan adanya kekacauan dalam tata negara kita. Lembaga tinggi negara tidak merasa malu untuk melompati pagar kewenangannya.
Di ranah eksekutif gejala serupa juga terjadi. Politik dinasti semakin dilumrahkan. Padahal, merujuk laporan Kompas pada 6 Juni lalu, menjamurnya politik dinasti menunjukkan ketidakmampuan partai politik dalam melakukan kaderisasi.
Efek buruk dari politik dinasti menyumbat sirkulasi kekuasaan. Kekuasaan hanya saling berganti pada segelintir elite. Alokasi sumber daya juga terkonsentrasi pada elite tersebut. Akibatnya, masyarakat tidak merasakan berkah dari pembangunan dan sulit untuk terpilih sebagai pejabat melalui pemilu. Padahal, demokrasi semestinya memungkinkan masyarakat untuk memilih dan dipilih dalam pemilu.
Sebab, dalam 10 tahun terakhir, skor Indonesia turun dari predikat ”demokratis elektoral ” menuju ”demokratis abu-abu ”, yang sedikit lagi bisa jatuh ke zona ”otokrasi ”.
Secara kuantitatif, merujuk pada lima indeks demokrasi yang dikeluarkan lembaga pemeringkat kualitas demokrasi V-Dem, demokrasi Indonesia memang telah lama mengalami stagnasi dan erosi. Kelima indikator tersebut adalah demokrasi elektoral, demokrasi partisipatoris, demokrasi liberal, demokrasi egalitarian, dan demokrasi deliberatif.
Kelima indikator tersebut menunjukkan stagnasi sejak 2002 dan penurunan secara gradual sejak 2012. Dalam laporan terbarunya yang dirilis pada Maret 2024, V-Dem menyebut bahwa demokrasi Indonesia sedang mengalami bell-turn.
Bell-turn menunjukkan bahwa negara yang sebelumnya mengalami proses demokratisasi sedang putar arah menuju otokratisasi. Sebab, dalam 10 tahun terakhir, skor Indonesia turun dari predikat ”demokratis elektoral” menuju ”demokratis abu-abu”, yang sedikit lagi bisa jatuh ke zona ”otokrasi”.
Representasi demokratis
Melihat gejala deformasi yang mengkhawatirkan ini, menjadi penting untuk mengembalikan kesadaran demokratis publik yang selama ini turut terdegradasi. Di sinilah pentingnya semangat representasi demokratis.
Representasi dalam demokrasi tidak sekadar bermakna adanya orang yang mewakili rakyat dalam proses pembuatan kebijakan publik. Lebih dari itu, representasi dapat dimaknai juga sebagai kehadiran terus-menerus kesadaran warga dalam berbagai proses publik. Representation as being continuously present.
Kehadiran rakyat secara kontinu dalam proses publik bukan bermaksud untuk mengalihkan tanggung jawab dari pundak pemerintah yang berkuasa kepada masyarakat pemberi mandat. Akan tetapi, ini adalah upaya untuk menggandeng ”rakyat” dengan ”rukyat” sebagai padanan satu akar kata, yakni orang yang melakukan pengamatan secara saksama. Kekuasaan dan penguasa adalah obyek, sementara rakyat ialah subyek pemegang kedaulatan dalam sebuah negara republik.
Pengembalian kesadaran publik ini penting karena demokrasi bukanlah keadaan yang statis. Ahli politik Charles Tilly menyebut bahwa demokrasi merupakan proses yang terus berjalan dan mengalami naik-turun. Demokratisasi dan de-demokratisasi menjadi dua gerak yang tiada henti tarik-menarik.
Jika kekuasaan cenderung menarik demokrasi menuju otokrasi, publik perlu bergotong royong mengembalikan gaya tarik tersebut kembali ke arah demokratisasi. Sebagai rakyat, kita perlu menjaga agar gejala deformasi ini tidak semakin parah dan mengembalikan semangat reformasi ke akarnya. Reformasi tidak boleh usai.
Farhan Abdul Majiid, Dosen Ekonomi Politik Global dan Demokrasi Jurusan Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta