Mengurai Aspek Sosiokultural Judi Daring
Pemengaruh, konten medsos, iklan di internet, hingga konten ilegal turut menormalisasi masyarakat agar terbiasa berjudi.
Judi daring di Indonesia sangat memprihatinkan. Tercatat sejak 2022, variasi kejahatan akibat judi daring bereskalasi, mulai dari penipuan, pencurian, hingga pembunuhan. Kasusnya pun beragam, mendera pejabat, aparat negara, hingga buruh rumah tangga.
Berdasarkan laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), nilai transaksi judi daring pada periode Januari-Maret 2024 lebih dari Rp 100 triliun.
Angka yang fantastis tersebut, jika dihitung secara kasar, setara dengan lebih dari 30 pembangunan sekolah dasar lengkap di daerah terpencil, perbaikan 200.000 sekolah, beasiswa kepada 10 juta siswa dan mahasiswa, pembangunan 1.000 rumah sakit tipe D, serta lebih dari 600.000 rumah bersubsidi yang dapat dijangkau oleh masyarakat gen Z.
Untuk menekan angka judi daring, pemerintah membentuk satuan tugas (satgas) pemberantasan perjudian daring melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 21 Tahun 2024.
Selain Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) sebagai ketua, satgas juga terdiri dari Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), serta Kepala Kepolisian Negara RI.
Perlu dicatat bahwa ada sekitar 3,2 juta masyarakat Indonesia yang menjadi pemain judi daring. Pemain ini didominasi oleh pelajar usia 17-20 tahun dan masyarakat kelas bawah. Tentu hal ini perlu penanganan multiaspek dan integral.
Penanganan yang sekadar top down dengan hanya mengandalkan aparat hukum serta Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana, misalnya, niscaya tak berdampak signifikan untuk mengatasi peliknya lingkaran setan judi daring.
Sebagian masalah judi daring, bersamaan dengan masalah pinjaman daring (pinjol), narkoba, dan pemberantasan konten pornografi, telah diteliti dari aspek hukum, biologis, ataupun psikologis. Namun, ada hal yang perlu diperhatikan pemerintah dan masyarakat terkait judi dari perspektif sosiokultural.
Argumentasinya sederhana, tetapi tidak mudah, yakni mengupayakan pemahaman oknum terjangkit sebagai bagian dari memahami keseluruhan hidupnya. Itu berarti aspek dominan dari masalah kecanduan ini adalah masalah sosial dan budaya.
Baca juga : Penegakan Hukum Judi ”Online” Dinilai Belum Serius
Normalisasi lingkungan
Aspek awal yang penting untuk dipelajari, kecanduan adalah proses normalisasi yang didukung oleh lingkungan di mana ia tinggal dan berinteraksi. Saat ini, begitu mudah kita jumpai judi daring dalam bentuk games atau aplikasi smartphone. Semakin besar akses teknologi yang dipunyai, semakin besar pula potensi meng-install aplikasi judi.
Pemengaruh, konten di media sosial, iklan yang berseliweran di internet, hingga konten ilegal turut serta menormalisasi masyarakat agar terbiasa dengan judi. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena ketika internet yang menjadi medium, mengikuti pepatah mati satu tumbuh seribu, maka sangatlah berbeda dengan judi luring yang dibatasi oleh ruang dan waktu.
Seseorang dapat bermain judi di mana saja, kapan saja, dengan siapa saja, tanpa perlu takut apa pun.
Berdasarkan teori belajar sosial Albert Bandura (1976), perilaku candu dipelajari melalui proses pengamatan dan interaksi dengan pihak lain. Pihak lain dapat berupa manusia (keluarga, teman, rekan sejawat) dan nonmanusia (iklan, internet, smartphone, media sosial).
Orang tersebut tergoda untuk mengimitasi dan mendapat penguatan (reinforcement) berupa rasa senang (euforia) jika berhasil mendapat cuan secara instan. Itu sebabnya, banyak iklan judi daring yang menawarkan modal sangat rendah untuk mulai bermain.
Euforia yang terus-menerus dikonsumsi oleh pelaku tersebut lambat laun akan memaksa (menstimulasi) pelaku untuk mencoba dengan nilai atau modal yang lebih besar. Kekalahan dan kerugian, bagi pelaku, adalah ganjaran yang diulang terus-menerus sehingga menyebabkan banal (kebal).
Normalisasi lingkungan membuat pelaku judi daring menjadi korban judi daring. Pelaku menjadi rentan terhadap judi daring karena lingkungannya juga rentan. Kerentanan tersebut akan terus-menerus diproduksi selama lingkungan menormalisasinya.
Masalah identitas
Mayoritas pelaku judi daring adalah mereka yang berpenghasilan rendah. Faktor ekonomi menjadi penting, di mana masyarakat yang hidup dalam kemiskinan sulit keluar dari jerat struktural.
Menurut data Bank Dunia (2020), ada sekitar 115 juta penduduk rentan miskin (45 persen dari total penduduk Indonesia). Di sisi lain, tingkat penetrasi internet Indonesia tahun 2024 mencapai 79,5 persen, setara dengan 221,5 juta jiwa. Angka ini mengindikasikan masyarakat rentan miskin juga hidup dalam kerentanan akan judi daring.
Faktor stimulan adiksi terbesar dalam judi daring mungkin bukan sekadar fleksibilitas, keterjangkauan (affordability), atau iming-iming cuan besar dengan upaya (effort) minimal, melainkan imajinasi akan hidup layak, keluar dari jerat kemiskinan, dan hasrat menjadi orang kaya baru (OKB).
Meski hal-hal di atas juga dialami oleh mereka yang berada di kelas menengah, perubahan hidup dan perilaku masyarakat rentan miskin yang ekstrem ini cukup mengkhawatirkan karena mereka justru paling rentan terhadap penipuan dan pemiskinan, baik oleh sistem maupun budayanya.
Terlebih lagi, beberapa studi mengenai masyarakat rentan dan miskin menunjukkan tingkat konsumtif yang lebih tinggi ketika mereka mendapat bantuan karikatif atau sumbangan instan ketimbang prioritas tabungan. Kurangnya literasi finansial, pendidikan, dan kebergantungan yang sangat tinggi terhadap pihak lain membuat upaya mengatasi judi daring pada kawasan ini sungguh pelik.
Masalah-masalah di atas pada akhirnya membentuk jati diri atau identitas. Misalnya, penelitian Waldorf dkk (1991) menyatakan bahwa lebih mudah menangani masyarakat yang telah mengintegrasikan nilai dan norma publik ke dalam identitasnya ketimbang mereka yang tak memiliki hal yang dipertaruhkan dalam hidupnya.
Normalisasi lingkungan dan masalah identitas adalah sebuah patologi yang membutuhkan penanganan jangka panjang dan intergenerasi.
Sinergisitas
Berdasarkan uraian di atas, menelaah solusi untuk mengatasi judi daring dari perspektif sosiokultural merupakan tantangan tersendiri. Normalisasi lingkungan dan masalah identitas adalah sebuah patologi yang membutuhkan penanganan jangka panjang dan intergenerasi.
Hal terpenting adalah bagaimana ada sinergisitas antara pemerintah dan masyarakat terjalin kuat. Dalam hal ini, pemerintah melalui mekanisme kontrol berbasis budaya (bottom up), pembukaan akses ekonomi dan lapangan kerja sebesar-besarnya bagi masyarakat rentan miskin, kebijakan humanis, serta menciptakan jarak aman terhadap penetrasi budaya digital.
Jangan sampai, alih-alih bersikap solutif, pemerintah justru mempromosikan literasi finansial, layanan teknologi finansial (tekfin), regulasi perlindungan konsumen, dan pemblokiran situs untuk mengatasi judi daring. Padahal, kebijakan demikian hanya berfungsi bagi masyarakat kelas sosial menengah dan atas yang tidak terjerat kemiskinan.
Masyarakat, di sisi lain, bisa membentuk identitas kuat (strong identity) yang dihasilkan dari pendidikan ataupun kebiasaan baru (new behavior) yang diperoleh dari komunitas sosial yang aman dan saling menjaga akan berdampak signifikan dalam memutus rantai judi daring.
Jan Mealino EkklesiaPeneliti Sosial FISIP Universitas Airlangga