AI sudah digunakan di industri musik. Namun, seni tidak dapat terjadi hanya dengan penggunaan algoritma yang tepat.
Oleh
STEVEN
·3 menit baca
Pada 2023, sebuah lagu yang menampilkan suara mirip Bad Bunny dan Justin Bieber beredar di Tiktok dan mendapatkan jutaan likes. Mirisnya, lagu itu diciptakan dengan menggunakan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) oleh seorang seniman bernama FlowGPT. Sekalipun telah dikecam keras oleh pemilik suara aslinya, banyak penggemar tetap menyukai musik gubahan AI tersebut.
Beberapa pendukung berpendapat bahwa penggunaan AI dalam industri musik merupakan tanda kemajuan. Ini akan memungkinkan siapa pun untuk membuat musik apa pun dari kamar tidurnya.
Di pihak lain, beberapa musisi bereaksi dengan marah. Mereka berpendapat bahwa suara atau gaya musik mereka yang khas bisa diambil alih secara sembarangan dan dikomersialisasikan untuk keuntungan orang lain.
Tampaknya, tarik-menarik antara melindungi hak cipta musisi, menciptakan inovasi, dan menentukan keterkaitan peran antara manusia dan mesin dalam penciptaan musik akan dieksplorasi dalam beberapa tahun mendatang.
AI sudah digunakan oleh produser musik untuk bagian-bagian nonseni atau teknis dari pekerjaan mereka. Misalnya saja, AI dapat membantu mengoreksi nada vokal sumbang dan memungkinkan para musisi untuk melakukan mixing selayaknya di dapur rekaman dengan lebih cepat dan murah.
Memasuki area seni, ada penciptaan musik yang menggunakan AI. Teknologi ini menimbulkan berbagai macam keprihatinan. Jika AI dapat membuat sebuah lagu dengan suara penyanyi favorit kita secara instan, apakah itu artinya semua musisi akan digantikan oleh teknologi itu?
AI bahkan sudah digunakan untuk memanggil suara orang yang sudah meninggal seperti Michael Jackson. Sebagian penggemar sang Raja Pop pun mengaku sukar membedakan mana suara Michael Jackson dari rekayasa AI.
Di Amerika, gonjang-ganjing masalah penggunaan AI pada musik sudah semakin memanas. Pada Oktober 2023, misalnya, Universal Music Group dan label-label besar musik lainnya menggugat perusahaan rintisan (startup Anthropic) setelah model AI-nya Claude 2 mulai mengeluarkan lirik yang dilindungi hak cipta.
Seorang eksekutif Sony Music memberi tahu Kongres bahwa perusahaan telah mengeluarkan hampir 10.000 permintaan penghapusan untuk deepfake vokal yang melanggar undang-undang hak cipta. Perusahaan-perusahaan AI, sebaliknya, berpendapat bahwa penggunaan mereka atas lagu-lagu berhak cipta masuk dalam ”penggunaan wajar”, dan lebih mirip parodi, atau cover lagu.
Pertanyaannya adalah, dapatkah AI menggantikan kreativitas manusia dalam hal menghasilkan sebuah karya seni?
AI dan karya seni musik
Sebagian orang mendukung penggunaan AI dalam cipta seni musik. Menurut mereka, tujuannya bukanlah menggunakan AI untuk menciptakan lagu yang sempurna dan dapat dimonetisasi, tetapi untuk menggunakan itu untuk menantang konsepsi kita tentang apa yang bisa menjadi musik. Namun, dibutuhkan pagar hukum yang jelas agar menjaga penggunaan AI tidak disalahgunakan.
Di sisi bisnis, sepertinya industri teknologi berpikir bahwa semua orang menginginkan jalan pintas, atau solusi untuk kreativitas. Untuk itu, mereka menyediakan jasa AI yang kini semakin merambah ke industri musik. Pertanyaannya adalah, dapatkah AI menggantikan kreativitas manusia dalam hal menghasilkan sebuah karya seni?
Untuk menghasilkan sebuah karya seni musik, seorang komposer, misalnya, memerlukan kekayaan imajinasi. Proses untuk mendapatkan imajinasi itu sendiri tidak pernah mudah. Kini, dalam sekejap saja, teknologi AI dapat seolah dapat memberikan jalan pintas untuk memutari proses pencarian imajinasi tersebut untuk sampai pada hasil akhirnya. Sembari manusia seni menghabiskan waktu dalam proses menciptakan musik, AI telah memberikan kepada kita solusi cepat.
Namun, kita tahu bahwa seni bukanlah mesin. Seni tidak dapat terjadi hanya dengan penggunaan algoritma yang tepat. Ada hal yang melampaui ”angka” sehingga itu kita sebut sebagai seni. Ada proses ”berseni” di mana seorang musisi menuangkan rasa dan asa yang dirajut dengan piawai lewat musik yang dihasilkan pikiran, hati, dan tangan manusia. Proses itu memang tidak dapat ditiru oleh AI.
Meskipun demikian, perlu ada regulasi yang mengatur hak cipta musik agar AI tidak merenggut hak para musisi. Ini bukan lagi persoalan bagaimana seni itu dapat dinikmati sebagai layaknya sebuah seni, tetapi bagaimana seni itu dapat dihargai oleh masyarakat dan para musisi menerima hak mereka dan disejahterakan olehnya.
Berbeda dengan zaman Mozart di mana para musisi memiliki patron untuk menyokong kesenian mereka, kini para musisi bergantung pada pendengar dan penggemar mereka. Jangan biarkan kesenian mati karenanya.
Steven, Pebiola dan dosen Universitas Pelita Harapan