Anda Anak Siapa?
Idealnya pemimpin dapat menjadi ”role model” yang menjunjung etika melalui contoh tindakan.
Peristiwa yang melibatkan anak Presiden Amerika Serikat Joe Biden dan sejumlah anak presiden di dunia mengingatkan kita pada kejadian anak pemilik Korean Air pada 2014. Dalam penerbangan dari New York ke Seoul, Vice President dan Kepala Pelayanan Penerbangan Korean Air Cho Hyun-ah menyuruh pesawat kembali ke bandara karena ia merasa diperlakukan tidak sopan.
Menurut The New York Times, 9 Desember 2014, penyebabnya hanya gara-gara pramugari di kelas satu pesawat tersebut menyuguhkan kacang macadamia dalam kantong, bukan menggunakan piring spesial. Cho juga memecat kepala pramugari pesawat itu.
Insiden ini memicu kemarahan masyarakat Korea. Media sosial bahkan menyamakannya dengan diktator Korea Utara, Kim Jong Un (yang menggantikan ayahnya, Kim Jong Il), dan menjuluki pesawat tersebut sebagai ”Nut Air”.
Cho menyesal dan mengundurkan diri, sementara ayahnya, Cho Yang-ho, juga meminta maaf kepada publik dan mengakui kesalahan dalam mendidik anaknya. ”Silakan marahi saya. Ini adalah tanggung jawab saya,” kata sang ayah.
Media internasional menyoroti peristiwa ini sebagai contoh fenomena chaebol, konglomerat keluarga yang memperoleh keuntungan dari berbagai privilese ekonomi dan sosial. Episode itu menjadikan Cho sebagai simbol terakhir ekses konglomerat chaebol ketika kontrol keluarga demikian kuat dalam menjalankan perusahaan mereka bagaikan dinasti.
Baca juga: Biden Enggan Manfaatkan Kekuasaan untuk Bantu Anaknya
Memang di Korea dan sebagian negara lain di dunia, terutama di Asia (dan boleh jadi juga di Indonesia), Amerika Selatan, dan Afrika, status seseorang banyak ditentukan oleh siapa kita—istilahnya ascription (askripsi). Sementara, pada budaya lain, masyarakat lebih melihat apa yang telah kita raih (achievement).
Peran ascription tidak saja terjadi dalam dunia bisnis, tetapi juga dalam semua aspek kehidupan kita, termasuk sosial dan politik. Dalam dunia politik, kita disuguhi drama anak-anak para petinggi.
Berbeda dengan di banyak negara berkembang, ketika anak petinggi sering mendapatkan perlakuan istimewa, Presiden AS Joe Biden menunjukkan keteladanan untuk tidak menggunakan kekuasaannya guna mengurangi hukuman ataupun memberi grasi bagi putranya, Hunter Biden, yang divonis bersalah atas kasus kepemilikan senjata api secara ilegal tahun 2018. ”Saya akan mematuhi keputusan juri, dan tak akan memberikan pengampunan,” kata Biden (Kompas, 13/6/2024).
Politik, pada dasarnya, adalah dinamika kuasa dan pengaruh dalam masyarakat. Salah satu aspek menarik dalam politik adalah dimensi budaya ascription, yang diungkapkan Fons Trompenaars (1998).
Dimensi ini menunjukkan bagaimana atribut, seperti status sosial, kekayaan, dan kedudukan, sering kali diberikan berdasarkan faktor keturunan atau hubungan keluarga, mirip dengan ”penghargaan” atau ”penghormatan”, tanpa hasil kerja ataupun prestasi individu. Dengan begitu, anak pejabat atau miliuner sering mendapatkan akses besar pada kekuasaan dan pengaruh.
Pengertian tentang atribut askripsi ini penting untuk memahami dinamika politik dan kekuasaan secara lebih luas.
Kisah Cho yang diceritakan Tuleja (2017) itu menggambarkan suatu budaya ketika hierarki sosial dan status lebih diutamakan daripada prestasi individu. Antropolog Edward T Hall menyatakan bahwa budaya berkaitan dengan cara komunikasi yang diorganisasikan aturan tersembunyi.
Jika Fons Trompenaars melihat budaya sebagai cara kelompok menyelesaikan masalah, maka Geert Hofstede menggambarkan budaya sebagai ”perangkat lunak pikiran” yang dipelajari sepanjang hidup melalui cara kita ”memprogram” pelbagai tindakan.
Fenomena anak pemimpin yang mewarisi status berdasarkan garis keturunan mereka sering terjadi dalam masyarakat dengan struktur hierarkis yang kuat dan nilai-nilai kolektivis.
Salah satu aspek menarik dalam politik adalah dimensi budaya ascription, yang diungkapkan Fons Trompenaars (1998).
Dalam budaya tradisional dan patriarkal di Asia, Afrika, dan Timur Tengah, posisi kepemimpinan dan status sosial sering diwariskan dalam keluarga tanpa memperhatikan pencapaian individu. Fenomena ini juga terlihat dalam rezim otoriter atau otokratik ketika anak-anak atau kerabat pemimpin sering mendapatkan posisi tinggi atau ”hak istimewa” berdasarkan hubungan keluarga (birthright, family lineage) dan koneksi, tanpa memperhatikan pencapaian individu mereka.
Walakin, guna menafsirkan status yang ditetapkan di antara pemimpin dunia, kita perlu meneliti faktor-faktor sejarah, budaya, dan politik yang berbeda bagi setiap konteks. Apa yang terjadi pada keluarga Kennedy, keluarga Bush, dan Clinton di AS; Trudeau di Kanada; serta keluarga Marcos di Filipina, umpamanya, telah menunjukkan bagaimana ikatan kekeluargaan dapat memengaruhi peran kepemimpinan, bahkan dalam masyarakat demokratik.
Walaupun hal itu bisa berperan pada kesuksesan mereka, ada kekhawatiran terhadap munculnya nepotisme dan konsentrasi kekuasaan dalam keluarga sehingga tumbuh perdebatan dan kritik terhadap perkara meritokrasi dan keadilan dalam sebuah pemerintahan yang demokratis.
Perbedaan budaya
Dalam budaya yang berorientasi pada pencapaian (achievement-oriented cultures), masyarakat meyakini bahwa identitas individu dinilai berdasarkan unjuk kerja (performance), seperti yang terjadi di tengah masyarakat AS, Kanada, Australia, dan Skandinavia (Jandt, 2018). Sementara dalam budaya yang berorientasi pada askripsi, gelar, posisi, dan kekuasaan memengaruhi bagaimana orang memandang (menilai) Anda.
Nilai Anda ditentukan ”siapa Anda”. Jandt mencontohkan negara yang menganut dimensi ini antara lain Perancis, Italia, Jepang, dan Arab Saudi; tetapi kita melihat boleh jadi itu juga ada di Korea dan Indonesia.
Budaya askripsi sering terjadi dalam masyarakat dengan tradisi feodal yang kuat, tempat hierarki sosial sangat dijunjung tinggi. Sebaliknya, budaya achievement lebih sering ditemui dalam masyarakat yang menghargai pencapaian individual dan usaha.
Jarak kekuasaan
Konsep dimensi nilai achievement-ascription yang digagas Trompenaars dan Hampden-Turner—yang meneliti 46.000 manajer di 40 negara—itu sejajar dengan konsep dimensi ”jarak kekuasaan” (power distance) yang diajukan Geert Hofstede (Jandt, 2018; Neuliep, 2017). Power distance mengacu pada sejauh mana anggota masyarakat atau organisasi menerima distribusi kekuasaan yang tidak setara.
Pada budaya dengan power distance rendah (pendek), seperti di Austria, Australia, Selandia Baru, dan Denmark, kesetaraan dan kolaborasi antara atasan dan karyawan sangat dihargai (Jackson, 2014).
Di situ bos dan anak buah punya hak yang sama sehingga mungkin sekali seorang menteri mengantre dan menggunakan kendaraan umum sebagaimana rakyat kebanyakan karena hierarki kekuasaan minimal. Hukuman dan penghargaan pun didistribusikan berdasarkan kinerja individu.
Sebaliknya, di negara dengan power distance tinggi (jauh), seperti Venezuela, India, China, dan Meksiko, orang menerima adanya ketidaksetaraan. Hubungan antara pemimpin dan bawahan lebih formal dan ”lebih jauh”. Budaya ”jarak kekuasaan jauh atau tinggi” menghargai pangkat, status, dan masa kerja (bukan prestasi).
Pemimpin yang efektif memiliki kapabilitas menyeluruh dalam berbagai area dan mengembangkan skill mereka seiring dengan waktu.
Meski Jackson tak menyebutnya, penulis mengamati Korea dan Indonesia tergolong masyarakat yang punya budaya power distance jauh (tinggi) sehingga sulit bagi pegawai rendahan makan siang bersama dengan bosnya atau wong cilik duduk berdekatan dengan seorang menteri dalam kendaraan umum.
Maka, tidak aneh ketika ”nona bos” Cho di pesawat Korean Air itu memprotes perlakuan yang menyejajarkannya dengan penumpang biasa.
Dalam konteks politik anak pemimpin, konsep ini menunjukkan sejauh mana masyarakat menerima ketidaksetaraan kekuasaan yang muncul dari hubungan askriptif, seperti hubungan keluarga dengan pemimpin. Keterkaitan antara dimensi Trompenaars dan power distance-nya Hofstede memungkinkan kita lebih memahami dinamika kekuasaan, pengakuan, dan struktur sosial dalam berbagai masyarakat.
Pemimpin: diciptakan atau dilahirkan?
Lalu, apakah seorang pemimpin sejati dilahirkan atau dibentuk melalui pengalaman?
Perdebatan ini telah berlangsung lama. Pendukung teori bahwa ”pemimpin dilahirkan” sering berargumen bahwa sifat- sifat seperti karisma, percaya diri, dan kemampuan menginspirasi orang lain sudah ada secara alami, tanpa perlu dikembangkan melalui pengalaman atau pembelajaran.
Namun, konsep ini dianggap lemah. Yang lebih dapat diterima akal adalah pandangan bahwa pemimpin berkembang melalui praktik dan pembelajaran, pengasahan berbagai keterampilan (skill) dalam jangka waktu tertentu. Pemimpin menjalani pembibitan (nurture) sejak muda, menghadapi berbagai tantangan, dan belajar menyelesaikan masalah di hidup.
Kepemimpinan (leadership) dapat dikembangkan melalui belajar, praktik, dan pengalaman. Pemimpin yang efektif memiliki kapabilitas menyeluruh dalam berbagai area dan mengembangkan skills mereka seiring dengan waktu.
Baik dilahirkan maupun dibentuk, yang penting adalah semua pemimpin harus bertindak etis dalam segala tindakan personal ataupun dalam pengelolaan perkara keluarganya demi kebaikan seluruh masyarakat.
Tindakan yang dapat dilakukan antara lain mengutamakan transparansi, menetapkan garis tegas antara tugas kenegaraan dan urusan keluarga, menjunjung akuntabilitas, dan memberikan perlakuan yang adil antara anak-anak mereka dan semua warga lainnya di bawah hukum.
Bila perlu malah mendukung pembentukan komite etik guna menginvestigasi kemungkinan potensi pelanggaran yang dilakukan anak-anak pemimpin. Ini untuk memastikan keadilan hukum dan standar etika.
Terakhir, idealnya pemimpin dapat menjadi role model yang menjunjung etika melalui contoh tindakan (bukan kata-kata) dan memelihara komunikasi yang transparan dan reguler.
Dengan demikian, seorang pemimpin dapat menjadi teladan dan kelak, apabila turun dari jabatannya, ia akan dicatat sejarah sebagai seorang negarawan sejati.
Syafiq Basri Assegaff, Pengajar dan Asisten Direktur Program Pascasarjana LSPR Institute of Communication & Business, Jakarta