Napas Patriarki UU Kesejahteraan Ibu dan Anak
Terdapat potensi bahwa UU KIA ini akan membuat perempuan semakin didiskriminasi saat rekrutmen kerja.
Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan atau UU KIA baru saja disahkan DPR. UU ini dinilai sebagian pihak cukup progresif dan memiliki niat baik untuk memberikan dukungan kepada perempuan, khususnya untuk isu kesetaraan jender.
Banyak hal yang perlu diapresiasi dalam UU KIA, antara lain, aturan mengenai penyediaan layanan kesehatan dan gizi, hukum, psikologis, hingga akses sarana dan prasarana yang layak. Meskipun begitu, ada poin yang perlu diklarifikasi dalam pemberitaan media mengenai UU KIA ini.
Banyak media memberitakan bahwa UU KIA memberikan hak ibu cuti melahirkan selama enam bulan. Hal ini tidak sepenuhnya salah. Pada Pasal 4 Ayat (3) dijelaskan bahwa ibu yang bekerja berhak mendapatkan cuti paling singkat tiga bulan pertama dan paling lama tiga bulan berikutnya jika terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter. Artinya, ibu secara legal hanya mendapatkan cuti wajib selama tiga bulan.
Baca juga: Apakah UU KIA Bisa Membuat Pekerja Perempuan Cuti Melahirkan sampai 6 Bulan?
Ketimpangan
Pertanyaan yang lebih substantif dari pengesahan UU KIA ini adalah ”apakah benar UU KIA merupakan UU yang progresif?”. Pada Pasal 2 poin C dinyatakan bahwa ”Penyelenggaraan Kesejahteraan Ibu dan Anak dilaksanakan berdasarkan asas kesetaraan gender”.
Secara sekilas, UU KIA tampak sebagai UU yang progresif, tetapi terdapat beberapa pasal krusial yang napasnya tidak selaras dengan asas kesetaraan jender dan cenderung mencerminkan nilai-nilai patriarkis.
Pasal-pasal krusial ini khususnya mengenai cuti kehamilan untuk ibu pada Pasal 4 Ayat (3) dan untuk ayah pada Pasal 6 Ayat (2) dan (3). Ibu diberikan cuti berbayar selama tiga bulan dan maksimal enam bulan, sementara ayah hanya diberikan cuti selama dua hari di masa persalinan dan tambahan tiga hari berikutnya sesuai kesepakatan.
Pasal-pasal ini secara tersirat menegaskan bahwa tanggung jawab pengasuhan hanya disandarkan kepada ibu. Ayah yang tidak bisa mendapatkan hak waktu cuti setelah melahirkan yang layak berdampak pada peran ibu yang secara tak langsung akan semakin didomestifikasi. Artinya, ibu harus mengasuh anak yang baru dilahirkan tanpa bantuan dari ayah dan akan kian memperbesar jurang pemerataan peran.
Proporsi cuti yang tak seimbang ini berpotensi melanggengkan perspektif ”ibuisme” dan memperkuat stereotip jender tradisional bahwa tugas reproduksi dan pengasuhan hanya tugas perempuan. Ketimpangan proporsi cuti ini juga bisa berdampak terhadap peluang kerja dan karier perempuan setelah melahirkan.
Terdapat potensi bahwa UU KIA ini akan membuat perempuan semakin didiskriminasi saat rekrutmen kerja. Pemberi kerja mungkin lebih memilih laki-laki sebagai pekerja karena dinilai dapat bekerja dengan waktu yang lebih banyak dan tak terpotong dengan cuti melahirkan. Hal ini berpotensi membuat perempuan semakin masuk ke ranah pekerjaan informal yang minim perlindungan. Secara tidak langsung, peran perempuan di publik semakin direduksi dan ini sejalan dengan dogma-dogma patriarki.
Selanjutnya, relevan dengan momentum disahkannya UU KIA, Mallika Thomas (2020) melakukan penelitian terhadap dampak disahkannya kebijakan cuti untuk perempuan di Amerika Serikat. Penelitian ini menunjukkan bahwa perusahaan akan lebih tidak berminat untuk berinvestasi pada perempuan yang baru memulai karier setelah aturan mengenai cuti panjang untuk perempuan diberlakukan. Dampaknya, perempuan menjadi lebih sulit mendapatkan promosi kenaikan pangkat pada tahun-tahun berikutnya setelah kembali bekerja.
Dari dampak secara finansial, Claudia Goldin, pemenang Nobel Ekonomi tahun 2023, menemukan bahwa kesenjangan upah jender (gender pay gap) terjadi setelah perempuan melahirkan dan memiliki anak. Menurut analisisnya, laki-laki yang tak memiliki beban pengasuhan kariernya relatif tidak terdampak dibandingkan perempuan. Dalam konteks UU KIA, regulasi ini dapat memperlebar kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan karena beban pengasuhan yang sangat timpang.
Dampak cuti ayah
Masyarakat berhak dan harus mendorong agar ayah juga bisa mendapatkan masa cuti yang lebih panjang. Kebijakan ini sudah banyak dilakukan di sejumlah negara. Misalnya, di Belanda, ayah mendapatkan maksimal enam minggu cuti setelah pasangannya melahirkan dan bayaran penuh untuk satu minggu pertama dan 70 persen di lima minggu berikutnya. Di Norwegia, cuti melahirkan bisa mencapai 59 minggu dan bisa dibagi antara ayah dan ibu sesuai kebutuhan.
Peran ayah dalam pengasuhan, khususnya setelah melahirkan, memiliki banyak dampak positif. Ketika diwajibkan atau diberikan kesempatan mengambil cuti lebih panjang, ayah akan semakin terlibat dalam mendukung kesejahteraan ibu dan bayi. Ayah memiliki peran yang signifikan pada berbagai aspek.
Sering kali, dalam penyusunan regulasi terkait isu kesetaraan jender, penyusun kebijakan hanya fokus pada perempuan dan lupa atau enggan untuk melibatkan laki-laki.
Pertama, secara karier, ketika ayah terlibat dalam pengasuhan anak pada sembilan bulan awal, maka hal ini akan memudahkan ibu untuk kembali bekerja, dibandingkan dengan ayah yang tidak terlibat dalam pengasuhan.
Kedua, kualitas hubungan antara ayah dan ibu juga akan meningkat ketika ayah mengambil cuti setelah pasangannya melahirkan. Ketiga, ayah yang terlibat dalam pengasuhan juga dapat berdampak positif pada kecerdasan kognitif dan emosi anak, meningkatkan kelekatan ayah dan anak, dan mengurangi permasalahan psikologis dan perilaku anak dalam jangka panjang.
Perubahan pendekatan dan paradigma
Sebenarnya, meski aturan mengenai cuti untuk ayah ditetapkan lebih panjang, masih besar sekali pengaruh kultural yang berperan dalam keputusan setiap individu. Contoh, Jepang memiliki aturan bahwa ayah dapat mengambil cuti hingga empat minggu. Namun, hanya 14 persen ayah yang mengambil cuti itu. Hal ini disebabkan oleh kultur dan waktu kerja yang panjang bagi laki-laki.
Jika diterapkan di Indonesia yang memiliki budaya patriarki yang kuat, belum tentu aturan ini akan berjalan mulus. Dengan demikian, perubahan harus juga dilakukan pada level yang lebih mendasar, yaitu pemahaman peran jender di masyarakat. Perlu ada edukasi dari pemerintah dan pelaku budaya mengenai peran jender dan pentingnya keterlibatan ayah untuk mendukung kesejahteraan ibu dan anak. Di UU KIA, hanya ibu yang berhak mendapatkan edukasi tentang pengasuhan dan tumbuh kembang anak. Seharusnya, laki-laki juga berhak atau bahkan diwajibkan untuk mendapatkan edukasi yang sama.
Selanjutnya, dalam penyusunan kebijakan terkait isu kesetaraan jender, sebaiknya mulai dapat melibatkan laki-laki secara aktif. Laki-laki harus diberi ruang untuk bisa berkontribusi dalam upaya kesetaraan ini. Perlu ada aturan yang diturunkan secara spesifik, mengikat, dan wajib agar laki-laki benar-benar bisa mulai terlibat. Sering kali, dalam penyusunan regulasi terkait isu kesetaraan jender, penyusun kebijakan hanya fokus pada perempuan dan lupa atau enggan untuk melibatkan laki-laki.
Padahal, perjuangan ini akan jadi sedikit lebih ringan jika melibatkan sejumlah pihak untuk mencapai kesetaraan.
Terakhir, penyusun kebijakan harus selalu kembali dan berefleksi pada asas-asas yang menjadi dasar penyusunan kebijakan tersebut. Jangan sampai, kebijakan yang dimulai dengan niat baik justru menjadi bumerang dan kontra-produktif pada praktiknya sehingga napas-napas patriarki muncul pada UU yang seharusnya progresif.
Cantyo Atindriyo Dannisworo,Fakultas Psikologi Universitas Indonesia