Kita harus mengantisipasi dan memitigasi dampak terus melemahnya rupiah terhadap perekonomian dalam negeri.
Oleh
REDAKSI
·3 menit baca
Rupiah kembali melemah, menembus level Rp 16.400 per dollar AS. Sinyal kebijakan suku bunga AS dan arah kebijakan fiskal pemerintah jadi pemicu (Kompas, 18/6/2024).
Kurs rupiah ini terendah sejak 2020. Rupiah menjadi salah satu mata uang dengan kinerja terburuk di kalangan emerging Asia. Sejak awal tahun, rupiah terdepresiasi 6,33 persen.
Pelemahan rupiah, sudah diprediksi sebelumnya, sejalan dengan semakin kokohnya posisi dollar AS. Sentimen pelemahan rupiah diprediksi masih dimungkinkan terjadi dengan kian menyusutnya surplus perdagangan serta melebarnya defisit fiskal dan neraca transaksi berjalan Indonesia.
Depresiasi rupiah itu dipicu faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal berupa sinyal Bank sentral AS, The Fed, yang akan mempertahankan suku bunga di kisaran 5,25-5,5 persen dan hanya akan satu kali melakukan pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) pada akhir tahun.
Sementara itu, faktor internal, terutama terkait dengan kekhawatiran investor terhadap potensi membengkaknya defisit anggaran dan rasio utang pemerintah di 2024-2029, akibat kebijakan fiskal ekspansif di bawah pemerintahan baru yang akan berkuasa mulai Oktober 2024, untuk membiayai berbagai program unggulan, seperti dijanjikan saat kampanye.
Rumor bahwa pemerintahan baru akan mengakomodasi kenaikan rasio utang hingga 50 persen dari PDB selama pemerintahannya ikut memicu sentimen negatif terhadap rupiah.
Kita harus mengantisipasi dan memitigasi dampak terus melemahnya rupiah terhadap perekonomian dalam negeri—khususnya sektor riil— terutama dengan masih tingginya risiko geopolitik global dan kebijakan The Fed yang kemungkinan baru akan memangkas bunga acuan pada Desember 2024.
Melemahnya rupiah menyebabkan beban cicilan dan bunga utang pemerintah (dan swasta) kian membengkak, dan sektor manufaktur yang banyak tergantung pada komponen impor dan pasar domestik tertekan. Melemahnya rupiah juga akan menggerus cadangan devisa karena meningkatnya kebutuhan untuk intervensi di pasar meski cadangan devisa sejauh ini solid untuk menopang kebutuhan impor tiga bulan ke depan.
Ketergantungan yang besar pada berbagai barang impor, termasuk komoditas pangan dan energi, membuat melemahnya nilai tukar rupiah juga akan berdampak pada naiknya harga barang-barang konsumsi dan daya beli masyarakat.
BI dalam berbagai kesempatan menyatakan akan terus mengawal nilai tukar agar tetap stabil, inflasi terkendali, serta pertumbuhan ekonomi berkelanjutan tetap terjaga, dengan terus memperkuat bauran kebijakan moneter dan makroprudensial. Sebagai respons terhadap melemahnya rupiah—menyusul kebijakan The Fed yang mempertahankan suku bunga—BI April lalu menaikkan bunga acuan 25 bps menjadi 6,25 persen.
Kebijakan The Fed yang menahan penurunan suku bunga hingga akhir tahun kemungkinan besar juga membuat penurunan suku bunga BI untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dalam negeri belum bisa dilakukan dalam waktu dekat. Tingginya suku bunga ini berdampak pada tingginya biaya ekonomi dan pertumbuhan sektor riil. Upaya memperkuat rupiah, termasuk dengan mendorong devisa ekspor disimpan di dalam negeri, menarik investasi asing, dan menggenjot surplus perdagangan, perlu terus dilakukan.