Realitasnya, upaya klaim BPJS—saat kontrak habis—mekanismenya membingungkan, tidak sederhana, dan lama.
Oleh
HISBULLOH HUDA
·3 menit baca
Saat membaca berita Kompas.id tentang pemberlakuan potongan wajib Tapera, saya memiliki anggapan bahwasanya kebijakan tersebut mungkin bisa dihubungkan dengan dua konteks penting sekaligus.
Pertama, apresiasi atas kebijakan ini yang secara rasional menyadari pentingnya sebuah hunian rumah bagi pekerja, dalam jangka panjang, dan semakin sulitnya membeli rumah disebabkan harganya kian naik seiring berjalannya waktu.
Kedua, melihat realitas banyak pekerja yang punya banyak pertanyaan, terkait potongan gaji, ke mana dan bagaimana mekanisme klaimnya.
Contoh sederhana potongan gaji untuk BPJS Kesehatan—nantinya kelas rawat inap standar (KRIS)—banyak teman di sekitar saat masa kerja/kontraknya habis mereka tidak tahu bagaimana cara klaimnya.
Meski tujuan dari potongan gaji untuk BPJS sebagai antisipasi apabila ada ”kecelakaan” saat masih bekerja, saat selesai/habis masa kontrak tentu menjadi hak pekerja untuk klaim sebagian dari jeri payah mereka yang dipotong setiap bulan.
Realitasnya, upaya klaim BPJS—saat kontrak habis—mekanismenya membingungkan, tidak sederhana, dan lama. Alhasil, banyak yang memanfaatkan jasa calo untuk klaim hak mereka itu. Kalau sudah masalah calo, ujungnya keluar duit lagi.
Yang harusnya bisa full jadi pegangan di masa transisi—masa tunggu atau transisi tempat kerja baru—malah kepotong untuk jasa calo. Kasihan.
Berbeda dengan transportasi udara, keunggulan kereta cepat (KC) adalah akses langsung dari pusat kota asal sampai ke pusat kota tujuan. Untuk Whoosh, pusat kota tersebut adalah Bandung dan Jakarta. Sehubungan Whoosh tidak langsung ke Bandung dan Jakarta, pengelola Whoosh dapat mempertimbangkan beberapa opsi untuk memangkas waktu tempuh layanan feeder terkait.
Pertama, waktu tempuh feeder Bandung-Padalarang PP dapat dipangkas tidak berhenti di Cimahi, dan nantinya Whoosh tetap tidak berhenti di Karawang. Kedua, penumpang Whoosh yang tiba di Halim dapat langsung keluar tanpa harus antre panjang untuk scan barcode Whoosh.
Ketiga, penumpang Whoosh yang tiba di Padalarang dapat langsung naik feeder tanpa harus antre panjang dalam waktu terbatas untuk scan barcode Whoosh. Keempat, menambah gerbong feeder, terutama pada waktu-waktu puncak (banyak penumpang berdiri).
Usulan lain, menambah eskalator, travelator, dan elevator di Stasiun Padalarang dan Halim dalam rangka lebih memfungsikan Whoosh sebagai KC, termasuk memangkas waktu dari Halim ke feeder/terminal transportasi publik.
Semoga Whoosh dapat lebih berfungsi sebagai KC dan nantinya menjadi bagian dari KC trans-Jawa menggantikan peran transportasi udara.
Saat ini ramai diperbincangkan kebijakan pemerintah memberi izin pengelolaan tambang kepada Ormas Keagamaan (PP Nomor 25 Tahun 2024), yang kemudian menimbulkan pro dan kontra.
Dari sisi ormas, kita tahu setiap organisasi, termasuk ormas keagamaan, memiliki visi-misi, jati diri, identitas, ideologi, karakteristik, serta nilai-nilai spesifik yang melekat pada setiap ormas. Persoalannya, apakah kebijakan pengelolaan tambang itu berkesesuaian dengan jati diri ormas keagamaan? Apalagi, pengelolaan tambang memerlukan keahlian manajemen teknis tersendiri yang mungkin tidak dimiliki ormas tersebut. Karena itu, mungkin saja akan dialihkan atau dikontrakkan ke pihak lain.
Di sisi lain, bangsa negara kita saat ini sedang mengalami masa-masa suram sehubungan dengan ambruknya etika, moral, dan integritas di segenap komponen bangsa. Bukankah ini merupakan ladang sesungguhnya bagi ormas keagamaan untuk berkiprah melalui seruan profetik untuk mencerahkan kehidupan bangsa?
Akhirnya bagi ormas memang perlu kejernihan atau hikmat dalam membuat keputusan penting ini. Jangan sampai langkah itu justru menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan bersama.