Antara Pengadministrasian Tanah dan Pendaftaran Tanah Ulayat
Sikap dan tindakan pemerintah untuk menerbitkan sertifikat bagi MHA merupakan bukti penghormatan terhadap hak MHA.
Di tengah ketidakpastian mengenai pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum Adat, pada 27 Februari 2024, terbit Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Administrasi Pertanahan dan Pendaftaran Tanah Ulayat MHA.
Perlu pemahaman yang obyektif tentang pengadministrasian tanah dan pendaftaran tanah ulayat MHA yang masing-masing karakteristiknya berbeda.
Di satu pihak, RUU MHA yang untuk pertama kalinya diinisiasi oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada 2009 dan pernah dibahas pada 2010 di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sampai dengan saat ini belum pernah dibahas sampai tuntas, meski tahun ini masuk dalam urutan ke-26 Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas.
Keragu-raguan untuk membahasnya dari sudut pandang sebagian eksekutif dan legislatif adalah pada isu ”pengakuan” MHA, yang sejatinya sudah selesai menurut Pasal 18 B Ayat (2) UUD 1945, sehingga yang harus dituntaskan adalah pengadministrasian tanah ulayat.
Di lain pihak, konflik perebutan wilayah kelola antara MHA dengan pemerintah dan korporasi terus berlangsung.
Baca juga: Rencana Detail Tata Ruang Mengkhawatirkan, Bisa Bikin Investor Gamang
Dalam Catatan Akhir Tahun 2023 AMAN, sepanjang 2023 setidaknya terdapat 2.578.073 hektar wilayah adat yang dirampas atas nama investasi disertai dengan kekerasan dan kriminalisasi yang dialami oleh 247 orang. Satu orang meninggal ditembak, 204 orang luka-luka, dan lebih dari 100 orang mengalami penghancuran tempat tinggal atas nama konservasi.
Berbagai konflik yang berakibat pada perampasan wilayah adat terjadi pada: (1) wilayah adat Poco Leok, Manggarai, NTT; (2) masyarakat adat Dayak di Bangkal Seruyan, Kalimantan Tengah; (3) masyarakat adat Fanan di Kepulauan Aru, Maluku; (4) masyarakat adat di Rempang, Batam, Kepulauan Riau; dan (5) praktik buruk perusahaan di Muaro Langkap, Kerinci, Jambi.
Dalam upaya memberikan kepastian hukum terhadap tanah ulayat MHA sesuai amanat Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No 5/1999, disusul dengan Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No 10/2016 dan Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No 18/2019, yang disempurnakan melalui Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No 14/2024.
Berbeda dengan peraturan menteri sebelumnya, dalam Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No 14/2024, subyek yang diatur meliputi kesatuan masyarakat hukum adat (KMHA) dengan karakteristik kewenangan MHA bersifat publik dan kelompok anggota masyarakat hukum adat (KAMHA) dengan karakteristik kewenangan bersifat keperdataan.
Dalam permen tersebut diatur tentang pengadministrasian tanah ulayat dan pendaftaran hak ulayat MHA.
Pengadministrasian dan pendaftaran tanah ulayat
Pasal 19 UUPA mengamanatkan kepada pemerintah untuk mendaftarkan semua bidang tanah dalam wilayah RI.
Kelambanan implementasi pendaftaran tanah sejak tahun 1960-2015 mendorong akselerasi pendaftaran tanah melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dengan landasan hukum Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No 28/2016 tentang Percepatan Program Nasional Agraria melalui Pendaftaran Tanah Sistematis.
Berbagai kendala diatasi melalui Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No 6/ 2018 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap. Target PTSL adalah pendaftaran 126 juta bidang tanah pada akhir 2025 dengan produk berupa peta bidang tanah (PBT) dan sertifikat hak atas tanah (SHAT). Akhir Mei 2024 telah terpetakan 113 juta bidang tanah.
Di antara berbagai obyek PTSL menurut Pasal 3 Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No 12/2017 tentang Percepatan PTSL, salah satunya adalah tanah MHA. Berbeda dengan akselerasi pendaftaran tanah non-MHA, pendaftaran tanah MHA baru diakselerasi mulai Oktober 2023.
Sikap dan tindakan pemerintah untuk menerbitkan sertifikat bagi MHA yang bersifat opsional itu merupakan bukti penghormatan terhadap hak MHA.
Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No 14/2024 merupakan instrumen untuk melaksanakan pemetaan dan pendaftaran bidang tanah ulayat MHA. Ruang lingkup peraturan menteri ini terdiri dari pengadministrasian tanah dan pendaftaran tanah ulayat MHA yang masing-masing menghasilkan pencatatan daftar tanah ulayat (DTU) sesuai letak tanah.
Ini diikuti dengan penerbitan salinan DTU dan pendaftaran tanah ulayat berupa hak pengelolaan (HPL) untuk KMHA dan/atau hak milik (HM) untuk KAMHA yang dapat diterbitkan berdasarkan permohonan MHA yang bersangkutan.
Dengan demikian, pengadministrasian seluruh bidang tanah ulayat MHA itu merupakan kewajiban bagi pemerintah untuk menyelenggarakannya, tetapi penerbitan sertifikat HPL dan/atau HM merupakan hak MHA yang bersifat opsional. Pengadministrasian tanah ulayat MHA diawali dengan kegiatan inventarisasi dan identifikasi yang dilakukan secara kolaboratif antara pemerintah daerah, perguruan tinggi, dan/atau lembaga adat.
Inventarisasi dan identifikasi itu merupakan kewajiban pemerintah, tetapi dibuka kemungkinan bagi MHA untuk dapat mengajukan permohonan inventarisasi dan identifikasi atas tanah ulayatnya. Hasil inventarisasi dan identifikasi menjadi bahan bagi kantor pertanahan untuk melakukan verifikasi. Berdasarkan hasil verifikasi, langkah selanjutnya adalah melakukan pengukuran dan pemetaan bidang tanah ulayat yang kemudian dicatat dalam DTU.
Terlepas dari polemik tentang penetapan HPL terhadap MHA yang dapat dibaca dalam ”Tata Kelola Pertanahan Pasca-UUCK” (Kompas, 16/3/2021), diperlukan penyikapan yang obyektif terhadap amanat Pasal 15 dan Pasal 16 Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No 14/2024 dan implementasinya di lapangan.
Pasal 15 dan Pasal 16 dirumuskan agar di satu pihak taat asas pada UUPA (Pasal 2 dan Penjelasan Umum II.2) dan di lain pihak untuk mengakomodasi ”ketelanjuran” pengaturan tentang penetapan hak ulayat bagi MHA yang dirumuskan dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Ayat (2) Peraturan Pemerintah (PP) No 18/2021 tentang HPL, Hak atas Tanah, Hak atas Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.
Sebagai catatan, perumusan Pasal 4 dan Pasal 5 Ayat (2) PP No 18/2021 itu tidak bersumber pada Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK). Pada Pasal 15 ditegaskan bahwa pendaftaran HPL dilakukan atas permohonan KMHA. Artinya, itu merupakan hak MHA yang bersifat opsional dan bukan merupakan kewajiban bagi pemerintah untuk menerbitkan sertifikatnya.
Lalu, bagaimana jika MHA berpendapat bahwa salinan DTU sudah cukup untuk menjamin kepastian hukum terhadap tanah ulayatnya?
Dengan tegas Pasal 16 menyatakan bahwa ”bidang tanah ulayat yang tak diajukan penegasannya sebagai HPL oleh KMHA tetap memiliki status sebagai tanah ulayat”. Terhadap tanah ulayat yang dibuktikan dengan SDTU, KMHA bisa melakukan kerja sama dengan pihak ketiga berdasarkan perjanjian sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Artinya, tanpa sertifikat HPL, MHA dapat memberikan hak kepada pihak ketiga di atas tanah ulayatnya. Penegasan ini memperkuat pemahaman tentang konsepsi luas kewenangan hak menguasai negara, yang berujung pada pengakuan bahwa tanah ulayat MHA itu merupakan entitas yang berdiri sendiri, di samping tanah negara dan tanah hak.
Dengan tidak menerbitkan sertifikat secara otomatis kepada MHA, potensi konflik horizontal di antara anggota MHA dapat dihindarkan.
Antara yang wajib dan yang opsional
Implementasi Pasal 15 dan Pasal 16 Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No 14/2024 secara konsekuen dan konsisten di lapangan wajib dilandasi dengan pemahaman yang obyektif antara pencatatan seluruh bidang tanah ulayat yang merupakan kewajiban pemerintah dan penerbitan sertifikat HPL bagi KMHA dan/atau sertifikat HM bagi KAMHA yang merupakan opsi bagi MHA dan dengan demikian tidak merupakan kewajiban bagi pemerintah untuk secara otomatis menerbitkan sertifikatnya.
Capaian program PTSL pada akhir 2025 untuk tanah ulayat MHA berupa DTU serta sertifikat HPL dan/atau HM.
Oleh karena itu, dalam rangka akselerasi pendaftaran tanah ulayat melalui PTSL, hasil akhirnya tidak selalu harus berbentuk sertifikat. Hal ini analog dengan pendaftaran tanah non-ulayat yang berujung pada PBT dan SHAT.
Pekerjaan rumah pemerintah
Sejalan dengan amanat Pasal 15 dan Pasal 16, pekerjaan rumah bagi pemerintah adalah, pertama, mengubah bunyi Pasal 5 Ayat (2) PP No 18/2021 dengan menambahkan kata ”dapat” sehingga bunyinya menjadi sebagai berikut: ”HPL yang berasal dari tanah ulayat dapat ditetapkan pada MHA”.
Kedua, perlu merumuskan kewenangan KMHA sebagai pemegang HPL yang karakteristiknya berbeda dengan subyek HPL lain menurut Pasal 5 Ayat (1) PP No 18/2021. Kewenangan pemegang HPL yang diatur dalam Pasal 7 tidak kompatibel untuk diterapkan terhadap KMHA.
Sambil terus mendukung tercapainya pendaftaran 126 juta bidang tanah pada akhir tahun 2025, seyogianya pengadministrasian seluruh bidang tanah ulayat diakselerasi oleh pemerintah, dengan catatan bahwa pemberian sertifikat HPL bagi KMHA tidak dilakukan secara otomatis, tetapi hanya didasarkan pada permohonan KMHA yang memang benar-benar memahami seluk-beluk HPL dan memerlukannya.
Baca juga: Sembilan Tahun Berjalan, Capaian Reforma Agraria Masih Timpang
Sikap dan tindakan pemerintah untuk menerbitkan sertifikat bagi MHA yang bersifat opsional itu merupakan bukti penghormatan terhadap hak MHA. Dengan tidak menerbitkan sertifikat secara otomatis kepada MHA, potensi konflik horizontal di antara anggota MHA dapat dihindarkan.
Aturan itu diterbitkan, antara lain, untuk memberikan kepastian hukum terhadap tanah ulayat MHA sehingga implementasinya harus tegak lurus dengan tujuan yang telah ditetapkan tersebut.
Maria SW Sumardjono, Guru Besar Fakultas Hukum UGM dan Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia