Tentang mal, jalan penyintasan bukan cuma melalui komunitas yang tepat, bisa juga karena menyambut bola dengan cepat.
Oleh
LYNDA IBRAHIM
·4 menit baca
Pertengahan April lalu saya ke Ratu Plaza karena kangen sayap ayam cepat saji, dan kaget mendapati bahwa selain gerai itu, beberapa toko gawai pun sudah hengkang. Berkala mampir demi urusan komputer dan sayap ayam, saya sedih melihat makin ditinggalnya Ratu Plaza. Saat saya kecil, Ratu Plaza adalah pusat perbelanjaan termewah di Jakarta—menggeser Duta Merlin yang berhulu ke hotel zaman Belanda.
Saat kekagetan ini saya cuitkan di X, ramai yang menanggapi. Diskusi berkembang tentang pemilik gedung yang konon hanya memegang hak guna bangunan dari lahan pemerintah, seperti konon gedung lain di ujung berbeda Jalan Jenderal Sudirman yang ia miliki. Ini sedikit menjelaskan mengapa kedua gedung dibiarkan ”merana” walau strategis berada pada jalur MRT dan Transjakarta.
Itu sebabnya, saya bersemangat menyambangi saat Brightspot Market, bazar populer Jakarta yang didedikasikan untuk jenama lokal, bertempat di Ratu Plaza minggu lalu. Brightspot sendiri punya sejarah bereksperimen dengan lokasi nyeleneh—dua lantai kosong di Plaza Senayan tahun lalu, atau Ashta sebelum resmi dibuka.
Cynthia Wirjono, salah satu pemrakarsa dan penyelenggara Brightspot, bercerita bahwa nostalgia 1980-an, saat Ratu Plaza jaya-jayanya, sengaja diambil sebagai tema. Dan benar, tersebar di tiga lantai selama dua akhir pekan kemarin, saya mendapati musik, dekor, bahkan mesin dingdong khas dekade itu.
Ratu Plaza juga kembali disesaki pengunjung—generasi saya yang ingat masa keemasannya dan generasi setelah kami yang penasaran. Tentu bukannya tanpa tantangan menggelar acara dengan ribuan pengunjung di lokasi yang sudah lama tak beroperasi penuh.
Persoalan mal di Jakarta memang kompleks. Terlalu banyak jumlahnya, tetapi sedikit pembedanya.
Seperti yang disampaikan Cyntia Wirjono dan saya saksikan sendiri, kendala muncul dari parkir, AC, sampai eskalator yang tak semua bisa dioperasikan. Tapi, saya menikmatinya—lari masuk dari area makanan di luar saat hujan, saya memilih duduk di lantai salah satu pojok, di mana saya mengamati bahwa bukan saja marmernya masih mulus, tetapi tangga darurat pun berdiri kukuh. Terlepas legalitas kepemlikan, Ratu Plaza hanya perlu sedikit renovasi dan pemasaran kreatif bila mau dikembalikan optimal. Bahwasanya pada dekade terakhir dikenal sebagai pusat pernak-pernik gawai saja sudah modal positioning sebenarnya.
Persoalan mal di Jakarta memang kompleks. Terlalu banyak jumlahnya, tetapi sedikit pembedanya. Di pekerjaan korporat terakhir, saya harus mengelola kerja sama antara sebuah bank penerbit kartu kredit dan mal di kota-kota besar Indonesia. Untuk Jakarta, saya dan atasan mengelompokkannya menjadi mal tengah kota (seputar Senayan dan Bundaran HI), yang didatangi pengunjung dari seluruh penjuru kota, dan mal ”setempat” yang umumnya dipadati warga sekitar. Asumsi kami saat itu, mal di tengah kota lebih banyak dan beraneka pengunjungnya sehingga lebih menarik untuk kerja sama.
Mal masih bisa bertahan walau memang gelanggangnya keras, tak semua jadi penyintas.
Sedekade lebih berlalu, termasuk masa pandemi yang menghajar semua pusat komersial, sebagian asumsi kami masih bertahan. Banyak mal dan trade center yang tersengal-sengal terlepas keriuhan saat diresmikan. Bahkan, beberapa yang di pusat kota hidup segan, mati tak mau. Dan ini bukan karena konsumen lebih suka berbelanja daring—banyak pusat perbelanjaan yang masih ramai, seperti juga banyak e-marketplace yang kolaps. Kecuali punya hambatan bersosialisasi atau fobia tertentu, pada dasarnya manusia suka bercengkerama dengan manusia lain di keramaian. Mal masih bisa bertahan walau memang gelanggangnya keras, tak semua jadi penyintas.
Kecuali bila jeli membidik ceruk baru.
Mulai dari pusat kota. Saat dulu sebuah trade center berdiri di Senayan, saya bingung menalar asumsi bisnisnya. Saat itu Senayan sudah dikenal dengan mal premium, sementara di Permata Hijau juga ada trade center. Saya menyaksikan buka dan gugurnya para toko, dan tahun-tahun di mana ia bertahan dari restoran cepat saji 24 jam dan lapangan basket dalam ruangan. Sampai dua tahun lalu saat beberapa toko hobi yang berhasil menarik komunitas tampaknya menginspirasi manajemen menarik komunitas lain—pemburu benda-benda mewah bekas (preloved luxury). Komunitas ini berkembang pesat secara organik melalui bazar keliling dari jejaring penjual yang kadang hanya berbasis Instagram: STC menarik bagi penjual dan pembeli karena di tengah kota.
Sebuah mal kecil di Dharmawangsa mirip ceritanya. Di awal berdirinya sempat dipenuhi berbagai butik, restoran dan rumah produksi, saya lalu menyaksikan meredupnya bisnis selain di lantai pertama. Setelah pandemi mereda, saya merasa gedung ini meramai lagi. Selain beberapa jenama lokal, ternyata sekarang mendapat arus pengunjung baru dari deretan salon kecantikan, klinik kesehatan, dan studio kebugaran. Selain komunitas kategori wellness (kesehatan jiwa-raga), banyak nyonya ekspat berbelanja.
Jalan penyintasan bukan cuma melalui komunitas yang tepat, bisa juga karena menyambut bola dengan cepat. Blok M Square, mal termodern di kawasan itu saat dibuka, juga pernah layu setelah dekade 1990-an berlalu. Bola segar datang melalui pembangunan MRT: disambut manajemen dengan membukakan akses ke gedung. Sekarang? Siang atau malam, hari kerja atau akhir pekan, dipenuhi remaja makan, jalan-jalan, dan pacaran. Pangsa pasarnya tak terlalu berbeda dengan saat awal berdiri, sukses ditarik kembali karena sigap menyikapi dinamika bisnis.
Tidak cukup kolom ini mengulas fenomena pusat perbelanjaan yang sengsara di Jakarta, apalagi Indonesia. Sidang pembaca sendiri pasti punya contoh dari lingkungan sekitar. Cukup beda dibandingkan dengan pusat perbelanjaan di Singapura dan Hong Kong yang selain tidak berlebihan besarnya, juga acap digandeng sayap perkantoran atau hunian. Ngee Ann City di tengah Orchard Singapura, misalnya, yang umum dikenal turis Indonesia dengan Takashimaya Department Store, dipenuhi penyewa kantor dan klinik di luar lantai pertokoan. Kota-kota papan atas Amerika Serikat, seperti Scottsdale di Arizona, acap ditandai pusat perbelanjaan yang walau cuma 1-2 lantai punya keunikan sehingga menarik demografinya tersendiri.
Saya dengar kesuksesan Brightspot Market di Ratu Plaza dipantau banyak kalangan. Amat mungkin manajemen mal sepi akan terpikir menggandeng acara berpasar sendiri, seperti Brightspot, untuk sesaat meramaikan. Namun, selain cara ini, menyasar komunitas tertentu atau menjalin akses ke kendaraan umum, manajemen mal juga bisa merombak gedung sehingga lebih banyak ruang terbuka, seperti Urban Forest Cipete, SCBD Park, M Bloc, dan By the Sea PIK 2 yang diminati massa akhir-akhir ini.
Karena sekali lagi, kawan, ini gelanggang keras, tak semua bisa jadi penyintas.