Orang Frustrasi di Platform Digital Tidaklah Kecil
Sekitar 88 persen konsumen daring tidak mungkin kembali lagi setelah mengalami pengalaman buruk.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·4 menit baca
Semua yang membaca tulisan ini pasti pernah jengkel ketika berhadapan dengan teknologi digital. Internet yang lambat, sistem pembayaran yang tak andal, konten yang menipu, hingga perjalanan mereka untuk mengakses sebuah aplikasi, dari mulai mengunduh aplikasi, membuat kata kunci, hingga saat menggunakan kata kunci ketika mau masuk, telah membuat mereka tegang. Pengalaman yang membuat frustrasi ketika berhadapan dengan teknologi digital.
Frustrasi digital tidak hanya dialami oleh mereka yang berusia lanjut. Banyak orang yang pusing dan lelah ketika berhadapan dengan fasilitas digital. Teknologi baru membuat mereka harus melakukan adopsi dan penyesuaian. Angka mereka yang frustrasi tidaklah kecil. Menurut laman Fullview, sekitar 88 persen konsumen daring tidak mungkin kembali lagi setelah mengalami pengalaman buruk.
Data lainnya, survei konsumen yang pernah dilakukan Accenture pada tahun 2019 terhadap lebih dari 20.000 pengguna di 19 negara mengungkapkan bahwa 47 persen pengguna menghindari layanan yang membuat mereka frustrasi. Laporan Tren Konsumen Qualtrics tahun 2024 menemukan bahwa 45 persen pelanggan yang frustrasi akan memberi tahu keluarga dan teman tentang pengalaman buruk mereka dan setidaknya 26 persen tak peduli dengan berbagai ulasan tentang platform.
Tidak mengherankan jika seorang penulis di laman Medium mengatakan, secara umum, frustrasi digital berkaitan dengan pengguna yang frustrasi dan mengacu pada pelanggan yang tidak kembali lagi! Hanya satu pengalaman buruk sudah cukup bagi mereka untuk membuka halaman peramban lain atau lari ke pesaing. Mereka yang bekerja di platform perlu mencegah frustrasi digital dan juga membuat beberapa solusi.
Sangat wajar jika kemudian orang menjadi frustrasi ketika mengalami sedikit masalah. Apalagi ada kecenderungan orang mudah frustrasi dalam hidupnya. Seorang peneliti bernama JPP Jokinen (2015) yang meneliti soal frustrasi di dunia digital menyebutkan, istilah kecenderungan frustrasi dalam konteks pengalaman pengguna berkaitan dengan kapasitas individu untuk mengatasi frustrasi. Mereka yang memiliki kapasitas akan mampu mengurangi tingkat frustrasinya ketika mengalami kejadian yang tidak sesuai dengan tujuan mereka.
Oleh karena itu, individu yang memiliki kecenderungan frustrasi lebih tinggi diperkirakan akan mengalami tingkat frustrasi yang lebih tinggi, diduga tidak mampu mengatasi emosi yang ditimbulkan akibat pengalaman yang buruk. Melihat masalah yang makin kompleks saat ini, orang memiliki kecenderungan frustrasi yang tinggi dan apabila ditambah dengan kerumitan dalam memasuki platform, sikap mereka akan makin buruk.
Sebenarnya ada tanda-tanda ketika pengguna mulai frustrasi, seperti kemarahan saat mengeklik, tingkat pentalan (rasio orang yang hanya melihat satu halaman saja kemudian meninggalkannya) yang tinggi, dan jumlah orang yang berhenti menggunakan aplikasi yang tinggi.
Fullview menyebutkan, strategi untuk mengurangi rasa frustrasi pengguna mencakup orientasi yang disederhanakan, navigasi yang mudah, kecepatan memuat halaman, komunikasi yang jelas, personalisasi, dukungan layanan yang responsif, pengoptimalan seluler, mengatasi masalah, dan menerapkan langkah-langkah aksesibilitas.
Mereka yang bekerja di dunia teknologi digital perlu mempelajari perilaku manusia dan juga perubahan-perubahan dalam minat dan sikap ketika berhadapan dengan platform. Belakangan, kajian tentang ilmu saraf dan juga hormon menjadi bagian penting dalam penelitian perilaku di dunia digital.
Kepercayaan pelanggan
Pengguna selalu digiring agar ”bucin” dengan aplikasi yang dibangun pengembang. Mereka selalu diiming-imingi agar terus-menerus berada di platform. Sekali Anda pindah ke platform lain, mereka akan terus mengejar Anda, bahkan lewat surat elektronik ataupun cara lainnya. Semua ini dilakukan karena pengembang memahami kerja otak dan hormon manusia.
Semua pekerjaan itu memiliki dasar sains. Jika orang berbicara tentang kecanduan media sosial, sebenarnya semua proses itu mempertimbangkan berbagai dasar ilmiah (sekali lagi tentang bagaimana kerja otak dan hormon) sehingga orang bisa berlama-lama berada di platform media sosial. Kita tentu saja mempertanyakan dampak kesehatan mental bagi pengguna meski kita juga melihat bahwa semua itu juga karena kemajuan ilmu pengetahuan.
Jika kita berhasil mengajak orang masuk ke platform, ada nilai lebih dalam produk kita. Survei Accenture menyebutkan, sebanyak 47 persen responden mengatakan mereka bersedia membayar mahal untuk pengalaman pengguna bebas frustrasi yang melebihi ekspektasi mereka. Itu sebabnya, setiap langkah pelanggan, termasuk mulai dari kesan pertama, menjadi sangat penting.
Mendapatkan kepercayaan pelanggan itu sulit, tetapi kehilangan kepercayaan itu sangatlah mudah. Itu sebabnya, ketika pelanggan senang, mereka akan tinggal lebih lama. Pengelola platform harus terus menjaga agar mereka setia dan menikmati produk selama berada di platform.
Survei Forbes mengenai tren pengalaman pelanggan teratas pada tahun 2024 juga menunjukkan bahwa pelanggan mungkin setuju membayar lebih untuk mendapatkan pengalaman pengguna yang unggul. Beberapa hal yang terungkap dalam survei itu antara lain kemudahan mengetahui keberadaan aplikasi memengaruhi 53 persen pelanggan dalam mengambil keputusan dan kecepatan situs penting bagi 49 persen pengguna.
Pengembang teknologi digital harus berusaha agar mencegah melahirkan orang frustrasi. Kapasitas produk harus mampu menjawab kebutuhan dan kenyamanan pengguna. Mengembalikan mereka yang telanjur frustrasi tidaklah mudah. Ibarat sakit sekali, benci selamanya bisa saja terjadi. Jumlah orang seperti ini tidaklah kecil.
Pertempuran dari pengembang aplikasi kadang harus berurusan dengan mereka yang frustrasi. Mereka akan bercerita buruk tentang produk kita melalui berbagai kanal.