Peningkatan Peran Panas Bumi dalam Pencapaian Emisi Nol Bersih
Panas bumi memiliki keunggulan jika dibandingkan jenis EBT lainnya. Namun, pengembangannya terkendala keekonomian.
Ilustrasi
Dampak perubahan iklim semakin terasa. Di beberapa belahan dunia terjadi banjir bandang karena curah hujan berlebih, gelombang panas, kekeringan, dan kebakaran hutan hebat. Indonesia pun tidak luput dari dampak perubahan iklim tersebut dengan terjadinya banjir bandang di beberapa wilayah.
Galodo (air bah yang bercampur dengan lumpur dan batu) dari Gunung Singgalang menghantam Kabupaten Agam, Sumatera Barat, pada 11 Mei 2024. Bencana ini menelan korban jiwa sebanyak 61 orang dan 14 orang dilaporkan hilang (BNPB, 18/5/2024).
Perubahan iklim terjadi karena pemanasan global akibat akumulasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer bumi, terutama karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrogen oksida (N2O). Kadar CO2 di atmosfer global terus meningkat.
Menurut data National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), badan laboratorium ilmiah pemerintah Amerika Serikat, pada 1980 rata-rata kadar CO2 di atmosfer global masih di bawah 350 bagian per juta atau part per million (ppm). Namun, di tahun-tahun berikutnya kadar CO2 di udara terus meningkat hingga mencapai 421 ppm pada Desember 2023.
Baca juga: Bumi Bukan Lagi Memanas, tetapi Mulai Mendidih
The Guardian 9 Mei 2024 melaporkan bahwa pada Maret 2024 terjadi kenaikan konsentrasi CO2 di atmosfer global sebesar 4,7 ppm dibandingkan dengan keadaan pada Maret tahun sebelumnya. Data ini merupakan rekor tertinggi peningkatan CO2 selama periode 12 bulan.
Peningkatan kadar CO2 di atmosfer global yang terjadi secara menerus mengakibatkan pemanasan global. Pada periode Februari 2023 hingga Januari 2024 terjadi peningkatan suhu global sebesar 1,52 derajat celsius, di atas suhu global era praindustri (1850-1900).
Menurut data layanan pemantau iklim Uni Eropa, untuk pertama kali dalam sejarah, pemanasan global menembus ambang batas 1,5 derajat celsius sepanjang tahun. Oleh karena itu, tahun 2023 dinyatakan sebagai tahun terpanas dalam catatan sejarah.
Revisi target
Untuk mengatasi pemanasan global yang indikasinya pertama kali terlihat pada 1940-an, Konferensi Perubahan Iklim atau COP 21 di Paris pada 2015 menyepakati Paris Agreement. Isinya, antara lain, ialah menyepakati membatasi kenaikan suhu global di bawah 2 derajat celsius dan diupayakan ditekan hingga 1,5 derajat celsius di atas kondisi praindustri. Selain itu, juga mengurangi tingkat emisi GRK dan aktivitas serupa guna meminimalkan emisi gas serta mencapai target net zero emission (NZE) atau emisi nol bersih.
Untuk memenuhi komitmen tersebut, Indonesia telah menetapkan revisi target penurunan emisi yang ditentukan secara nasional (nationally determined contribution/NDC). Target penurunan emisi itu dari 29 persen menjadi 31,89 persen pada NDC terevisi (enhanced nationally determined contribution/ENDC) untuk kondisi tanpa syarat dan tanpa bantuan internasional, dan dari 41 persen menjadi 43,2 persen dengan dukungan internasional dari tingkat emisi normalnya pada 2030.
ENDC ini merupakan transisi menuju NDC kedua Indonesia yang diselaraskan dengan strategi jangka panjang pembangunan rendah karbon dan ketahanan iklim 2050 dengan visi untuk mencapai emisi nol bersih pada 2060 atau lebih cepat.
Untuk memenuhi komitmen tersebut, Indonesia telah menetapkan revisi target penurunan emisi yang ditentukan secara nasional.
Indonesia berupaya mengintensifkan pengurangan emisi GRK melalui sektor kehutanan dan lahan serta energi yang ditargetkan berkontribusi sebesar 97,2 persen. Di sektor kehutanan, Indonesia menetapkan target ambisius pada 2030 dengan merestorasi lahan gambut seluas 2 juta hektar dan rehabilitasi lahan rusak seluas 12 juta hektar.
Presiden Joko Widodo dalam pembukaan World Climate Action Summit (WCAS) pada Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim Ke-28 atau COP 28 di Dubai, Uni Emirat Arab, pada 2023 menyampaikan upaya Indonesia dalam mencapai target penyerapan karbon pada 2030 di sektor kehutanan dan lahan ditempuh melalui langkah sistematis dan inovatif. Salah satunya dengan menerapkan moratorium permanen pembukaan hutan yang mencakup sekitar 66 juta hektar hutan primer dan lahan gambut sejak 2019 (Kompas, 4/12/2023).
Di sektor energi, Indonesia telah memiliki kebijakan untuk mendorong penggunaan sumber energi baru dan terbarukan (EBT) dan pengurangan penggunaan energi fosil hingga 2050. Ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, dengan target penggunaan EBT di 2025 sekurang-kurangnya 23 persen pada bauran energi nasional dan di 2050 sekurang-kurangnya 31 persen.
Kenyataannya kemajuan penggunaan EBT di Indonesia lambat. Meskipun ada kenaikan penggunaan EBT dari tahun ke tahun, tetapi karena penggunaan energi fosil juga meningkat, maka kenaikan persentasenya kecil. Hambatan lain realisasi EBT dalam bauran energi primer, antara lain, adalah pendanaan dan tingkat komponen dalam negeri (TKDN).
Kementerian ESDM melalui siaran persnya pada 15 Januari 2024 mengumumkan sampai 2023 realisasi EBT dalam bauran energi primer baru mencapai 13,1 persen. Capaian ini masih jauh dari target 23 persen pada 2025 yang tinggal setahun lagi.
Baca juga: Sampai Mana Bauran EBT Indonesia?
Hingga Desember 2023, kapasitas terpasang pembangkit listrik EBT masih didominasi oleh sumber energi air (6.784,2 MW), disusul bioenergi (3.195,4 MW), dan diikuti panas bumi (2.417,7 MW), tenaga surya (573,8 MW), tenaga bayu (154,3 MW), dan gas batubara (30 MW).
Di COP 28 sebanyak 118 negara telah menandatangani komitmen peningkatan kapasitas EBT tiga kali lipat pada 2030. Indonesia tidak secara eksplisit turut serta dalam penandatanganan komitmen ini walaupun di COP 28 Indonesia telah menyampaikan sejumlah komitmen untuk mengatasi perubahan iklim.
Di sela-sela konferensi tersebut, hidrogen hijau yang diproduksi dari elektrolisis air menggunakan listrik dari EBT juga mendapat momentumnya. Produsen hidrogen hijau menjanjikan peningkatan produksinya hingga 11 juta ton untuk penggunaan di kapal laut pada 2030.
Transisi energi
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah membuat peta jalan untuk mencapai NZE di sektor energi, dimulai pada 2021 hingga 2060 yang terbagi menjadi enam tahap, dengan menyusun strategi baik di sisi supply maupun demand. Strategi utama di sisi supply adalah pengembangan EBT secara masif dengan fokus pada tenaga surya, hydro, panas bumi, dan hidrogen.
Untuk meningkatkan penetrasi EBT ke dalam jaringan, dikembangkan teknologi super grid dan smart grid (jaringan cerdas). Pembangunan super grid dimaksudkan untuk menyatukan sistem transmisi kelistrikan antarpulau guna berbagi sumber EBT yang terdistribusi dan saling terhubung melalui jaringan cerdas.
Strategi lainnya pada sisi supply adalah menutup PLTU yang dilakukan secara bertahap dan pemanfaatan teknologi rendah emisi, seperti carbon capture and storage (CCS) serta carbon capture utilization and storage (CCUS). Pemerintah Indonesia dan International Partners Group (IPG) telah menandatangani nota kesepahaman (MOU) dan meluncurkan program Just Energy Transition Partnership (JETP) pada pertemuan G20 tahun 2022 di Bali dengan komitmen Indonesia mencapai NZE di bidang ketenagalistrikan pada 2050.
Potensi panas bumi sebesar itu menempatkan Indonesia sebagai negara dengan potensi energi panas bumi terbesar di dunia dan menyimpan 40 persen cadangan panas bumi dunia.
Untuk mencapai target tersebut, konsorsium IPG merekomendasikan penghentian pembangunan PLTU batubara baru di Indonesia mulai 2021 dan seterusnya, meningkatkan pembangunan pembangkit listrik dari EBT, dan menutup lebih awal PLTU. IPG berkomitmen menyediakan pendanaan 20 miliar dollar AS (sekitar Rp 310 triliun) dalam bentuk hibah, pinjaman dari lembaga nirlaba, dan pinjaman komersial (Kompas, 27/9/2023).
Panas bumi
Direktorat Jenderal EBTKE, Kementerian ESDM (2023) menyebutkan Indonesia memiliki potensi EBT berlimpah mencapai 3.687 GW, terdiri dari surya sebesar 3.294 GW, hidro 95 GW, bioenergi 57 GW, bayu 155 GW, panas bumi 23 GW, dan gelombang laut 63 GW. Selain itu, terdapat potensi uranium 89.483 ton dan thorium 143.234 ton.
Potensi panas bumi sebesar itu menempatkan Indonesia sebagai negara dengan potensi energi panas bumi terbesar di dunia dan menyimpan 40 persen cadangan panas bumi dunia karena letaknya di jalur gunung berapi. Hingga Desember 2023, panas bumi berkontribusi sebesar 18,38 persen dari total realisasi EBT atau 2,4 persen dari bauran energi primer Indonesia.
Notonegoro menyampaikan, jika seluruh potensi panas bumi di Indonesia dapat dimanfaatkan terdapat potensi penurunan GRK sekitar 182,32 juta ton CO2e atau setara dengan 78,85 persen target penurunan GRK sektor energi pada 2025 (Kompas, 18/1/2024).
Panas bumi memiliki beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan jenis EBT lainnya, di antaranya kemampuan untuk menanggung beban dasar (baseload) dari jaringan listrik PLN dengan faktor kapasitas dan reliabilitas di atas 90 persen. Namun, pengembangannya di Indonesia masih terkendala keekonomian. Notonegoro mencatat, belum kompetitifnya keekonomian proyek panas bumi di Indonesia, antara lain, karena harga jual listrik panas bumi harus bersaing dengan pembangkit fosil, permodalan di fase eksplorasi, perizinan, dan tingginya risiko investasi.
Untuk memperbaiki aspek keekonomian pengembangan panas bumi diperlukan tindakan pemangku kepentingan, antara lain, pertama, dukungan dalam pembangunan infrastruktur, seperti jalan dan jembatan yang sering kali harus dibangun secara masif oleh para pengembang panas bumi walaupun dampaknya sering kali juga dinikmati oleh masyarakat umum. Pemerintah dalam hal ini Kementerian PUPR dapat mengambil alih pembangunan infrastruktur atau melakukan penggantian biaya tersebut kepada pengembang melalui mekanisme cost recovery.
Kedua, pemangku kepentingan, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dapat mendukung penyelesaian proses perizinan, seperti analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan perizinan kehutanan. Proses perizinan sering kali memerlukan proses tunggu yang lama dari birokrasi lembaga pemerintahan di pusat dan di daerah.
Pentingnya proses perizinan yang ketat, tetapi cepat perlu ditekankan karena pengembangan panas bumi melibatkan permodalan yang besar dari lembaga-lembaga keuangan. Karena itu, nilai uang atas waktu (time value of money) sangat berperan dalam menentukan keekonomian proyek.
Ketiga, pemerintah, (1) melalui Kementerian ESDM, dapat mendorong rezim tarif listrik panas bumi yang menarik secara ekonomi dan terus-menerus disesuaikan selaras dengan amanat Perpres No 112/2022, (2) melalui Kementerian Keuangan dapat memberikan insentif libur pajak (tax holiday), dan (3) melalui PLN dapat memberikan kepastian tarif sebelum pengembang mengambil risiko ekonomi yang besar, seperti melakukan pengeboran sumur-sumur produksi.
Baca juga: Panas Bumi Indonesia Belum Tergarap Baik
Keberhasilan pengembangan panas bumi mencapai tingkat keekonomian yang layak tidak hanya menyukseskan penurunan emisi GRK, tetapi juga dapat meningkatkan produksi hidrogen hijau dan menghasilkan silika yang dapat dipungut dari endapan yang timbul di instalasi panas bumi.
Hidrogen dapat digunakan, baik langsung sebagai bahan bakar untuk mesin (termasuk kendaraan bermotor dan mobil) maupun untuk kendaraan listrik berbasis fuel cell. Hidrogen juga banyak digunakan di industri kimia, di antaranya untuk pembuatan amoniak dan metanol, hydrocracking, dan hidrogenasi lemak tak jenuh dalam minyak tumbuhan.
Silika yang dihasilkan dari proses panas bumi dapat memberikan nilai tambah melalui berbagai aplikasi di industri, antara lain untuk pembuatan kaca dan semikonduktor. Brine dari lapangan panas bumi Indonesia juga telah terbukti ada yang mengandung litium dengan kadar mencapai 50 ppm. Litium ini berpotensi untuk dipungut sebagai bahan pembuatan baterai kendaraan listrik.
Panas bumi yang mampu menghasilkan listrik sepanjang tahun tanpa gangguan cuaca dan musim cukup menjanjikan dalam transisi energi dengan urgensi menuju NZE untuk menjaga agar kenaikan suhu global di bawah ambang batas 1,5 derajat celsius.
Panut Mulyono, Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Rektor UGM 2017–2022