Kita perlu mencermati apakah UU KIA sudah benar-benar menjamin hak dan kebutuhan dasar ibu dan anak sesuai tujuannya?
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Pengesahan Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (RUU KIA) menjadi undang-undang patut diapresiasi, sekaligus perlu dicermati.
Undang-Undang KIA ini merupakan wujud kehadiran negara dalam meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak sebagai sumber daya manusia dan generasi yang unggul. Harapannya, undang-undang ini dapat menata pelaksanaan kesejahteraan ibu dan anak pada fase 1.000 hari pertama kehidupan secara lebih komprehensif. Selama ini, kebijakan KIA tersebar di berbagai peraturan.
Namun, kita juga perlu mencermati apakah UU KIA ini sudah benar-benar menjamin hak serta kebutuhan dasar ibu dan anak sesuai tujuan undang-undang ini? Terkait hak cuti melahirkan yang menjadi perhatian utama banyak kalangan dan pemberitaan di media massa, misalnya, negara menjamin dan melindungi hak cuti ibu melahirkan.
Apakah hak cuti ibu melahirkan itu sudah menjamin hak-hak anak pada fase 1.000 hari pertama kehidupan yang menjadi substansi UU KIA ini? Ini perlu kita cermati lebih mendalam. Setiap bayi usia 0-6 bulan berhak mendapatkan air susu ibu (ASI) eksklusif kecuali ada indikasi medis. UU KIA masih setengah hati mendukung pemenuhan hak bayi ini.
Jaminan dan perlindungan cuti bagi ibu bekerja yang melahirkan hanya berlaku tiga bulan. Cuti melahirkan memang bisa berlangsung hingga enam bulan, tetapi ada syaratnya, yaitu jika dalam kondisi khusus dan ada surat keterangan dari dokter atau bidan. Jadi, sangat tidak mudah bagi ibu bekerja untuk memberikan ASI eksklusif selama enam bulan bagi bayinya.
Ada pekerjaan-pekerjaan yang tidak memungkinkan ibu menyimpan ASI selama bekerja untuk bayinya. Demikian juga tidak mudah bagi ibu bekerja untuk meningkatkan produksi ASI-nya saat di rumah, untuk disimpan, dan diberikan kepada bayinya ketika ibu berada di tempat kerja.
Pemberian ASI eksklusif diamanatkan dalam UU Kesehatan. Pemerintah juga telah menyusun Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33 Tahun 2012 tentang pemberian ASI eksklusif yang tetap berlaku dalam UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023. Bukan hanya akan terkena sanksi pidana, menghalangi pemberian ASI eksklusif juga melanggar HAM.
Selain hak bayi, pemberian ASI eksklusif juga merupakan kunci sukses menurunkan angka tengkes (stunting) yang masih tinggi di Indonesia. Angka tengkes di Indonesia pada 2023 masih 21,5 persen, pemerintah menargetkan angka itu turun menjadi 14 persen pada 2024.
Undang-Undang KIA juga masih menitikberatkan tanggung jawab tumbuh kembang anak pada fase 1.000 hari pertama kehidupan kepada ibu.
Kenyataannya, selama ini tidak mudah menurunkan angka tengkes. Angka tengkes memang turun, tetapi sangat lambat. Dari tahun 2022 hingga 2023, misalnya, angka tengkes hanya turun 0,1 persen. Karena itu, akan sangat mustahil menurunkan angka tengkes menjadi 14 persen pada 2024 ini jika tanpa ada kebijakan yang sangat khusus. Peluang kebijakan yang seharusnya bisa dimaksimalkan dalam UU KIA.
UU KIA juga masih menitikberatkan tanggung jawab tumbuh kembang anak pada fase 1.000 hari pertama kehidupan kepada ibu. Memang ada cuti ayah, tetapi hanya dua hari dan bisa ditambah tiga hari atas persetujuan pemberi kerja. Waktu dua hari atau lima hari belum bisa memberikan kesempatan yang optimal bagi ayah untuk membantu merawat bayi yang baru lahir. Tidak semua keluarga ada yang membantu mengurus pekerjaan rumah tangga ketika ibu melahirkan.
Harapan tertumpu pada peraturan pemerintah dan peraturan presiden yang diamanatkan UU KIA. UU KIA mengamanatkan penyusunan tiga PP dan satu peraturan presiden (perpres) sebagai aturan pelaksanaan undang-undang ini. Tiga PP ini meliputi PP tentang dukungan penyelenggaraan kesejahteraan ibu dan anak; PP tentang perencanaan pelaksanaan, pembinaan, pengawasan, dan evaluasi; serta PP tentang pengelolaan data dan informasi kesejahteraan ibu dan anak. Adapun perpres yang dimaksud tentang koordinasi lintas sektor dan fungsi.
Keempat peraturan tersebut diharapkan dapat memberikan dukungan dan perlindungan lebih insentif bagi kesejahteraan ibu dan anak. Termasuk dalam hal ini pengawasan pelaksanaannya agar jangan sampai aturan yang dimaksudkan mewujudkan kesejahteraan ibu dan anak ini justru mendiskriminasi ibu bekerja yang melahirkan hanya karena mengambil haknya yang dijamin undang-undang.