Dari Kebangkitan Nasional ke Pembangunan Nasional
Tanpa GBHN seperti saat ini, pembangunan menggusur orang miskin, bukan menggusur kemiskinan.
Kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei tahun ini disertai keprihatinan mendalam. Tugas negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum telah terabaikan.
Penyelenggaraan pemerintahan negara meninggalkan etika dan tata krama kenegaraan. Lirik lagu ”Indonesia Raya” yang mengagungkan persatuan bangsa seolah-olah menjadi retorika hampa. Disintegrasi nasional membayang-bayangi nasib masa depan kita.
Tercatat dalam sejarah, pada 1905 tentara Jepang di Tsushima memorakporandakan tentara Rusia. ”Si Beruang Putih” yang sebesar itu dipukul mundur oleh dentuman meriam- meriam tentara Jepang sampai menundukkan kepalanya dan terpaksa mengembalikan milik Jepang yang sediakala.
Baca juga: Memimpin Rekonstruksi Kebangkitan Nasional
Kebangkitan nasional
Kemenangan Jepang atas Rusia ini melahirkan ”kebangkitan Asia” bahwa bangsa kulit berwarna bisa mengungguli bangsa kulit putih, menjadi tonggak sejarah dunia.
Imbas ”kebangkitan Asia”, tiga tahun kemudian, pada 20 Mei 1908, lahirlah gerakan kebangkitan nasional Boedi Oetomo, yang selanjutnya tanggal 20 Mei itu kita sebut sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Anak negeri yang diremehkan penjajah sebagai ”kaum Inlander” mulai bangkit harga diri dan kesadaran nasionalnya. Dr Soetomo mendapat pengaruh dr Wahidin Soedirohusodo untuk mendirikan Boedi Oetomo. Kebangkitan nasional 1908 ini melahirkan pencerahan-pencerahan selama setengah abad ke depan, sebagai berikut.
Enam bulan setelah berdirinya Boedi Oetomo, didirikanlah Indische Vereeniging oleh Soetan Kasayangan dan Noto Soeroto di lingkungan mahasiswa Indonesia di Holland.
Tahun 1922, nama Indische Vereeniging diganti menjadi Indonesische Vereeniging, selanjutnya menjadi Perhimpunan Indonesia. Nama baru ini mengetengahkan nama politis-nasionalistis untuk mengharumkan nama Ibu Pertiwi.
Sarekat Dagang Islam didirikan oleh Haji Samanhudi tahun 1905 di Batavia. Selanjutnya, Sarekat Dagang Islam berubah nama menjadi Sarekat Islam, dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto. Kongres pertamanya di Surabaya tahun 1913 dihadiri puluhan ribu orang tanpa peduli tidak bisa mendengar pidato Tjokroaminoto (karena belum ada pengeras suara).
Muhammadiyah lahir pada tahun 1912, didirikan oleh KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Selanjutnya, pada tahun yang sama muncul Indische Partij, didirikan oleh Douwes Dekker, dr Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Soewardi Soerjaningrat.
Pada 1922, Soewardi Soerjaningrat mendirikan Tamansiswa, yang mengajarkan kepada murid-muridnya untuk percaya diri dan menolak penjajahan. Soewardi Soerjaningrat pada tahun 1928, di usia 40 tahun, mengambil asmo sepuh sebagai Ki Hadjar Dewantara.
Tahun 1926 berdiri Nahdlatul Ulama di Surabaya sebagai perwakilan ulama tradisionalis. Pendirinya KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Hasbullah.
Dengan masuknya Wawasan Nusantara ke dalam GBHN, ”kebangkitan nasional” mencapai puncaknya, kemudian mentransformasi diri sebagai ”pembangunan nasional”.
Tercatat Mohammad Hatta, Ketua Perhimpunan Indonesia, pada tahun 1927 ditangkap, dipenjarakan, dan diadili di Pengadilan Den Haag. Pembelaan Hatta berjudul ”Indonesia Vrij” (Indonesia Merdeka).
Di pengadilan itu Hatta mengatakan: ”…lebih baik Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada menjadi embel-embel bangsa lain…”.
Kemudian tahun 1930, Soekarno pun ditangkap, dipenjarakan, dan diadili di Bandung. Pembelaannya berjudul ”Indonesia Klaagt Aan” (kelak diterjemahkan sebagai Indonesia Menggugat). Soekarno membeberkan terjadinya eksploitasi ekonomi imperialistik kejam oleh penjajah Belanda.
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 menggelegar. Kebangkitan nasional makin meluas. Perkataan ”bangsa Indonesia” dalam Sumpah Pemuda itu menegaskan ulang kesadaran akan nasionalisme Indonesia.
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 memberikan pencerahan lebih lanjut. Lahirlah tuntutan untuk memandang Indonesia yang luas ini sebagai satu keutuhan, yang kita kenal sebagai Wawasan Nusantara. Perlunya ber-Wawasan Nusantara dideklarasikan Pemerintah RI sebagai Deklarasi Pemerintah RI 13 Desember 1957.
Deklarasi ini sering disebut pula sebagai Deklarasi Djuanda. Arah Deklarasi ini untuk mendorong berlakunya prinsip negara kepulauan (archipelagic state). Konseptornya adalah Mochtar Kusumaatmadja, yang kemudian dituangkannya dalam UU No 4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia.
Wawasan Nusantara dengan prinsip negara kepulauan diperjuangkan oleh diplomat-diplomat Indonesia di bawah pimpinan Mochtar Kusumaatmadja pada konferensi-konferensi PBB tentang hukum laut internasional. Melalui perjuangan berat dan gigih selama 25 tahun oleh para diplomat kita di PBB, akhirnya Indonesia memperoleh ”kemenangan” pada UNCLOS III (United Nations Conventions on the Law of the Sea), di Montego Bay, Jamaika, pada Desember 1982.
Garis teritorial laut yang semula 3 mil, sesuai Ordonansi Hindia-Belanda 1930, berubah menjadi 12 mil. Wilayah kedaulatan Indonesia yang semula hanya sekitar 2 juta kilometer persegi, lebih luas 2,5 kali lipat, menjadi 5.193.250 kilometer persegi, belum termasuk Irian Barat.
Di samping Mochtar Kusumaatmadja sebagai ketua, tokoh di UNCLOS III/1982 tentulah tercatat, antara lain, sejumlah duta besar RI, seperti Anwar Sani, Dr Hasjim Djalal, dan Nugroho Wisnumurti.
Membuka cakrawala
Deklarasi Djuanda, 13 Desember 1957, dan kemenangan kita pada UNCLOS III/1982 membukakan cakrawala luas bagi Indonesia.
Dewan Hankamnas yang menyusunkan draf GBHN untuk MPR di zaman Orde Baru memuat rumusan tentang Wawasan Nusantara: ”...Wawasan Nusantara merupakan perwujudan kepulauan nusantara sebagai kesatuan politik; kesatuan ekonomi; kesatuan sosial budaya; dan kesatuan pertahanan keamanan…”.
Tanpa GBHN seperti saat ini, pembangunan menggusur orang miskin, bukan menggusur kemiskinan.
Dengan masuknya Wawasan Nusantara di GBHN, mulai GBHN 1973 dan selanjutnya, ditegaskan bahwa sistem ekonomi Indonesia ”mengutamakan kemakmuran masyarakat, bukan kemakmuran orang-seorang”, dalam bingkai ”keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Pemberantasan kemiskinan dan pemerataan pembangunan serta hasil-hasilnya termaktub dalam ”delapan jalur pemerataan” GBHN.
Dengan masuknya Wawasan Nusantara ke dalam GBHN, ”kebangkitan nasional” mencapai puncaknya, kemudian mentransformasi diri sebagai ”pembangunan nasional”. Tanpa GBHN seperti saat ini, pembangunan menggusur orang miskin, bukan menggusur kemiskinan.
Sri Edi Swasono, Ketua Umum Majelis Luhur Tamansiswa