Menakar Revisi UU Polri
Penyusunan revisi UU Polri yang cepat dan menutup partisipasi publik kontradiktif dengan mekanisme pemolisian demokratis
Revisi UU Polri menuntun pada perubahan dramatis organisasi dan wewenang kepolisian. Di antara isu krusial adalah perluasan domain tugas dan fungsi kepolisian yang di satu titik akan menimbulkan friksi kewenangan dengan TNI, perluasan kewenangan Kapolri dan institusi Polri yang tak diimbangi dengan mekanisme pengawasan berlapis, serta wewenang penyadapan yang rawan terhadap penyalahgunaan kekuasaan.
Artikel Kompas, ”DPR Kebut Usul Revisi UU TNI dan Polri” (29/5/2024), melansir DPR telah menyepakati revisi UU TNI dan UU Polri menjadi RUU inisiatif DPR. Penyusunan draf RUU termasuk cepat. Kedua RUU tak masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2024, tetapi masuk dalam Prolegnas 2020-2024.
Catatan lain, penyusunan draf RUU tak melibatkan masyarakat sipil. Ada indikasi penggunaan praktik legislasi kilat (fast track legislation) dalam pembahasan dan pengesahan RUU ini. Revisi UU Polri itu secara fundamental dinilai telah mendorong transformasi atau perubahan menyeluruh, baik dalam aspek organisasi maupun kewenangan.
Baca juga: Abaikan Kritik Publik, DPR Berkukuh Lanjutkan Revisi UU TNI dan UU Polri
Artikel berikut mengobservasi evolusi UU Polri yang akan menghasilkan perubahan dramatis organisasi dan wewenang kepolisian. Dalam draf revisi UU Polri yang telah beredar di ruang publik, sejatinya terdapat tiga pesan kunci yang perlu diketahui oleh publik sebagai bagian dari kendali demokratis.
Pertama, revisi UU Polri telah memperluas definisi dari keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) sehingga Polri tidak saja mampu mendeteksi sumber ancaman dari dalam negeri, tetapi juga luar negeri. Kondisi ini secara esensial telah memperluas diksi ”kamtibmas”—sebagaimana tercantum di dalam Pasal 30 Ayat (4) UUD 1945—menjadi ”keamanan nasional”.
Masuknya Polri ke dalam aspek keamanan nasional terefleksi dalam perluasan wilayah fungsi dan peran kepolisian yang tidak saja beroperasi di dalam wilayah RI, tetapi juga di wilayah yurisdiksi RI seperti zona ekonomi eksklusif (ZEE), landas kontinen, dan zona tambahan. Juga perwakilan RI di luar negeri, kapal laut berbendera Indonesia di wilayah laut internasional, pesawat udara teregistrasi dan berbendera Indonesia, serta ruang siber.
Selanjutnya, apabila kita observasi ruang lingkup tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Intelijen Keamanan (Intelkam) Polri, secara prinsipiil telah melampaui wilayah penegakan hukum dan keamanan insani, yaitu masuk ke dalam mandala keamanan politik, energi, pangan, ekonomi, lingkungan, dan perbatasan.
Maka, di tingkatan yang paling faktual, perluasan domain tersebut akan memunculkan persoalan konflik kewenangan dengan TNI AL. Pertama, soal kewenangan penyidikan perwira TNI AL dalam kerangka penegakan hukum di ZEE yang diatur dalam Pasal 14 Ayat (1) UU No 5/1983 tentang ZEE.
Selanjutnya, berlangsung friksi otoritas yang berkaitan dengan pengamanan dan pemeriksaan kapal laut berbendera Indonesia di wilayah laut internasional sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Huruf b UU No 34/2004 tentang TNI.
Kedua, transfigurasi UU Polri telah memberikan tugas dan tanggung jawab yang besar kepada Kapolri, tidak saja dalam penyelenggaraan operasional dan pengembangan kemampuan kepolisian, tetapi juga di sisi perencanaan, pengadaan, dan pemeliharaan peralatan khusus kepolisian. Oleh karena itu, untuk mewujudkan fundamen pemolisian demokratis, dimensi akuntabilitas dan transparansi jadi anasir yang urgen.
Cara penyusunan revisi UU Polri yang serba cepat dan menutup partisipasi publik yang bermakna tampak kontradiktif dengan mekanisme pemolisian demokratis.
Apabila diperhatikan secara mendalam, perubahan UU Polri belum meletakkan prosedur pengawasan berlapis terhadap membesarnya tugas dan tanggung jawab Kapolri, termasuk dengan menggembungnya tupoksi kepolisian. Dalam konteks demikian, perubahan tersebut belum menambah kapasitas Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) sebagai representasi kepentingan publik.
Padahal, mekanisme supervisi berlapis adalah bagian dari pemolisian demokratis yang meliputi pengawasan atas kebijakan dan keuangan organisasi serta penanganan perilaku anggota kepolisian (OSCE, 2008).
Lebih dalam, meskipun secara konstitusional kedudukan Polri di bawah Presiden, dan Kapolri bertanggung jawab langsung kepada Presiden, model struktur pemerintahan seperti itu acap kali menimbulkan kontroversi ketika timbul dua kondisi.
Pertama, adanya agenda politis dan kebijakan pemerintah yang berseberangan dengan aspirasi publik. Kedua, isu-isu politis yang merugikan tingkat penerimaan publik terhadap Presiden. Maka, dalam kondisi demikian, Polri di luar domain kamtibmas kerap kali secara informal ataupun formal bergerak mengawal kebijakan dan menjaga tingkat akseptabilitas Presiden.
Karena itu, secara mendasar RUU Polri perlu meletakkan suatu fungsi supervisi terhadap wewenang, integritas, dan kinerja Polri yang dijalankan oleh suatu lembaga. Dalam konteks ini, timbul pertanyaan krusial: siapa yang berperan sebagai pengawas? Apakah di bawah kementerian yang sudah ada saat ini seperti Kementerian Dalam Negeri atau dibentuk kementerian khusus, seperti Kementerian Keamanan Umum?
Ketiga, ada dua pendapat berkenaan dengan metamorfosis Polri sebagaimana terefleksi dalam revisi UU Polri yang menempatkan tanggung jawab melakukan penyadapan sebagai bagian dari tugas kepolisian dan wewenang melakukan penindakan, pemblokiran, atau pemutusan serta perlambatan akses ruang siber untuk tujuan keamanan dalam negeri.
Pertama-tama, penyadapan pada dasarnya perbuatan yang melanggar hukum dan HAM. Maka, dengan berpedoman pada Putusan MK No 5/PUU-VIII/ 2010, MK berpendapat, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945, negara perlu menetapkan aktivitas penyadapan di dalam suatu UU.
Dengan demikian, sebelum perubahan UU Polri, khususnya terkait ketentuan penyadapan, disahkan, hendaknya harus ada terlebih dulu suatu UU Penyadapan yang memberikan payung hukum bagi setiap penegak hukum.
Seterusnya, berkaitan dengan wewenang Polri dalam melakukan penindakan, pemblokiran, atau pemutusan serta pelambatan akses ruang siber untuk tujuan keamanan dalam negeri, konstruksi perbuatan ini merupakan bagian dari kondisi pengecualian, yang sebelum dilakukan harus lebih dulu ada penetapan negara dalam keadaan bahaya.
Sebagai contoh, putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta nomor 230/G/TF/2019 (AJI-Safenet vs Pemerintah RI) telah mencerminkan dua tegangan yang konstan, yakni kebutuhan stabilitas dan ketertiban umum di Papua serta hak warga negara atas akses internet.
Atas dasar kebutuhan kamtibmas, pemerintah memberlakukan dan memperpanjang tindakan perlambatan internet atau bandwidth di sejumlah kota dan kabupaten di wilayah Papua Barat dan Papua sebagai respons adanya kerusuhan. Namun, keputusan itu tak didahului dengan pemberlakuan keadaan bahaya. Akibatnya, berdasarkan pendapat MK, ketetapan itu merupakan pelanggaran hukum karena tak dipenuhinya syarat-syarat pemberlakuan keadaan bahaya.
Untuk mewujudkan fundamen pemolisian demokratis, dimensi akuntabilitas dan transparansi jadi anasir yang urgen.
Dengan demikian, apabila rumusan ketentuan tersebut tetap dipertahankan di dalam revisi UU Polri, terdapat dua kondisi di sini, yakni pembuat revisi UU Polri telah menangguhkan aspek legalitas dan prinsip-prinsip tata kelola ruang siber, antara lain pendekatan pemangku kepentingan yang majemuk, transparansi, dan akuntabilitas. Di samping itu, juga menggambarkan adanya upaya pengabaian penegakan HAM dan hak-hak sipil yang diatur dalam UU HAM dan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik.
Berlandaskan tiga pesan kunci tersebut, evolusi Polri perlu dinavigasi agar tetap pada cita-citanya, yakni sebagai institusi kepolisian yang humanis dan demokratis. Cara penyusunan revisi UU Polri yang serba cepat dan menutup partisipasi publik yang bermakna tampak kontradiktif dengan mekanisme pemolisian demokratis.
Oleh karena itu, jika perluasan domain peran dan fungsi kepolisian adalah keniscayaan, sudah saatnya DPR dan pemerintah memiliki konsensus bersama untuk mewujudkan adanya UU Keamanan Nasional. Secara pokok, UU Keamanan Nasional adalah payung hukum bagi setiap aktor keamanan dan sebagai pedoman krusial untuk merawat kolaborasi antaraktor keamanan.
Di sisi lain, dengan merujuk pada putusan MK bahwa tema penyadapan merupakan isu fundamental untuk menjaga titik keseimbangan antara kebutuhan penegakan hukum dan perlindungan HAM, maka UU Penyadapan adalah kunci utama. Oleh karena itu, di dalam UU Penyadapan harus ada mekanisme pengawasan badan peradilan yang menjaga agar tindakan penyadapan itu tetap berdasarkan hukum, prinsip profesionalisme, serta standar etika.
Nicky FahrizalPeneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta