Benarkah Ancelotti Melatih Real Madrid Tanpa Pola?
Carlo Ancelotti jadi pelatih dengan gelar juara terbanyak di Liga Champions. Benarkah dia melatih tanpa pola yang khas?
Nama besar pelatih dikenang berkat ciri khas gaya permainan tim asuhannya. Tak heran, beberapa pelatih identik dengan pola permainan tertentu. Cesar Luis Menotti, pelatih Argentina yang membawa tim ”Tango” juara dunia 1978, dikenal fanatik dengan permainan menyerang yang mengandalkan umpan dari kaki ke kaki.
Dalam salah satu pernyataannya, Menotti berujar, ”Gol sebenarnya tak lebih dari umpan yang terarah ke gawang lawan.” Dengan kata lain, gol tak perlu atau tak harus ditendang keras-keras, tetapi cukup dengan penempatan bola yang tepat sehingga kiper lawan tak berdaya.
Rinus Michels, pelatih yang memandu Belanda juara Eropa 1988, salah satu yang termasyhur dengan ”total football”. Pola menyerang dengan para pemain leluasa mengisi posisi mana pun di lapangan, termasuk bukan posisi aslinya. Bahkan John Cruyff, bintang Ajax Amsterdam yang pada 1965 dilatih Michels, dibiarkan ”berkelana” di sisi mana pun, selain posisinya sebagai penyerang tengah.
”Total Football” pula yang mengantarkan Belanda ke final Piala Dunia 1974. Ketika itu, Michels dipercaya menangani tim ”Oranye” dengan dua bintang yang mengundang decak kagum: Cruyff dan Johan Neeskens. Sayang sekali, Belanda kalah 1-2 dari Jerman pada final kala itu.
Di era kekinian, salah satu pelatih yang ”cinta mati” dengan pola menyerang, tentu Pep Guardiola. Dengan gaya menyerang kental tiki-taka atau umpan pendek dari kaki ke kaki, Guardiola tiga kali mengantar tim asuhannya merebut trofi Liga Champions. Dua kali bersama Barcelona dan sekali dengan Manchester City.
Baca juga: Dortmund Memulai, Real Madrid Mengakhiri
Baca juga: Setelah Mbappe, Apa Selanjutnya untuk Real Madrid?
Tipe pragmatis
Di kalangan pelatih penganut sepak bola bertahan, atau kadang dikenal tipe ”pragmatis”, ada nama Jose Mourinho. Saat melatih beberapa tim, salah satunya Real Madrid, pelatih asal Portugal itu menyiagakan timnya menunggu serangan lawan. Meski disorot dengan istilah ”parkir bus” di lini pertahanan, Mou bergeming. Saat berhasil merebut bola, timnya menyerang dengan serangan balik cepat dan efektif berbuah gol.
Dengan pola cenderung pragmatis itu, Mourinho mengantarkan tim asuhannya meraih trofi Liga Champions Eropa. Sekali bersama FC Porto pada 2004 dan kemudian saat melatih Inter Milan pada 2010. Inter, bahkan dipandunya meraih treble winners musim 2009-2010, yakni juara Serie A, juara Coppa Italia, dan juara Liga Champions.
Enzo Bearzot, pelatih Italia di Piala Dunia Spanyol 1982, membawa tim ”Azzurri” juara dengan memadukan konsep bertahan ”catenaccio” khas Italia, dengan serangan efektif mengandalkan umpan-umpan akurat ke jantung pertahanan lawan. Perpaduan ini mengantar Italia meraih trofi Piala Dunia 1982.
Tanpa memosisikan kedua pola itu secara kontradiktif, resep kemenangan tim sepak bola kerap disebut adalah transisi cepat dari bertahan ke menyerang, atau sebaliknya. Saat bertahan, dan lantas bisa merebut bola dari lawan, serangan cepat bagai ”menikam” lawan yang asyik menyerang. Adapun ketika menyerang dan apesnya bola direbut lawan, kesiapan bertahan membuat lawan yang gigih menyerang jadi gigit jari.
Anda lihat, tidak ada pola bagi saya. Tidak ada gaya Ancelotti. Gaya saya tidak dikenali karena saya (sering) berubah. Pola itu tergantung pertimbangan saat persiapan tim.
Baca juga: Antara Reus dan Kroos, Kisah Siapa yang Lebih Baik?
Jadi “buah bibir”
Ancelotti menjadi perbincangan saat mengantar Real Madrid menjuarai Liga Champions 2024. Keberhasilan ini membuatnya sebagai pelatih tersukses di Liga Champions, dengan lima kali mengantar tim asuhannya ke podium juara. Sebelum terakhir kali bersama Madrid pada final di Stadion Wembley, London, pasca-kemenangan 2-0 atas Borussia Dortmund, empat trofi sebelumnya, yakni dua kali bersama AC Milan (2003 dan 2007), plus dua lainnya bersama Madrid (2013, 2022).
Pencapaian ini membuat Ancelotti mengalahkan pelatih-pelatih dengan nama besar lainnya, yang juga mengantar klubnya juara Liga Champions. Pelatih legendaris Bob Paisley tiga kali membawa Liverpool juara Liga Champions, yakni pada 1977, 1978 dan 1981. Zinedine Zidane juga tiga kali, ketiganya bersama Real Madrid pada 2016, 2017, dan 2018.
Pep Guardiola juga baru tiga kali, dua bersama Barcelona pada 2009 dan 2011, serta satu kali dengan Manchester City pada 2023. Daftar terpanjang adalah 16 pelatih yang dua kali membawa tim asuhannya juara Liga Champions, di dalamnya tercantum Brian Clough, Sir Alex Ferguson, dan Jose Mourinho.
Adaptif ala Ancelotti
Ancelotti jarang disebut menjadi penganut salah satu konsep sepak bola, baik itu fanatik menyerang maupun cenderung bertahan. Singkatnya, dia salah satu pelatih yang adaptif dalam penerapan strategi pola permainan timnya.
Dalam wawancaranya dengan Martin Samuel, kolumnis sepak bola The Times, Ancelotti menegaskan ketiadaan pola khusus dalam metode kepelatihannya itu. ”Anda lihat, tidak ada pola bagi saya. Tidak ada gaya Ancelotti. Gaya saya tidak dikenali karena saya (sering) berubah. Pola itu tergantung pertimbangan saat persiapan tim,” kata Ancelotti, dalam artikel berjudul ”Carlo Ancelotti: Secrets of Champions League’s Mastermind Coach”, yang dipublikasikan di The Times pada 28 Mei 2024.
Ia mencontohkan, saat menghadapi Manchester City di perempat final Liga Champions, mereka memainkan blok rendah (low block) dengan pertahanan kuat. ”Kami hanya bermain seperti itu satu atau dua kali dalam satu musim ini, tidak lebih. Kami tidak (terbiasa) tampil seperti itu, biasanya lebih menyerang,” tuturnya.
Baca juga: Ode Real Madrid dan Borussia Dortmund di Wembley
Ditambahkannya, musim 2023-2024 "El Real" kehilangan Karim Benzema, tetapi Jude Bellingham datang. "Kami punya dua penyerang fantastis, Vinicius dan Rodrygo, tetapi keduanya bermain lebih di sayap. Maka, kami mulai lebih sering memasang Vinicius dan Rodrygo di sayap, dengan Bellingham di belakang mereka, dalam formasi 4-3-1-2," ujar dia lagi.
Di perempat final Liga Champions, taktik low block efektif membawa ”El Real” menahan Manchester City dengan skor 3-3 di Santiago Bernabeu, Madrid. Sementara di Stadion Etihad, Manchester, kedua tim bermain imbang lagi 1-1, disusul kemenangan 4-3 melalui adu penalti.
Fleksibilitas
Namun, pola itu juga segera diubah jika muncul tantangan lain. Ancelotti mengisahkan, saat bertemu Atletico Madrid, tim rival se kota itu mencetak tiga gol yang semua berawal dari umpan silang. Dari analisisnya, itu karena sisi kanan pertahanan Madrid yang tak terjaga. Kondisi itu memaksa skema diubah, dengan meminta Bellingham turun membantu pertahanan.
”Kami beradaptasi tanpa membuat pemain tidak nyaman. Vinicius tak mau bermain di posisi penyerang tengah sehingga saya tidak memaksanya bermain di tengah. Dia tidak bisa menunjukkan kualitasnya di situ sehingga saya harus memberinya kebebasan,” ujar Ancelotti, yang banyak berdiskusi dengan pemain-pemainnya di lini bertahan, seiring pengalamannya sebagai pemain belakang.
Terkait saran-saran bagi pemain lini tengah dan depan, pelatih berusia 64 tahun itu mengungkapkan, ”Saya memberi beberapa informasi, tetapi tidak banyak.” Terhadap Vinicius, misalnya, Ancelotti perlu menyarankan untuk bermain lebih efektif di jantung pertahanan lawan, tak hanya di sayap. ”Dia (Vinicius) bergerak cepat, sungguh berbakat, tetapi (saya katakan) bahwa dia harus mengecoh dua pemain dulu dari sayap, sebelum bisa melepas tembakan ke gawang,” kata Ancelotti.
Soal laga final Liga Champions yang baru saja mereka menangi, Ancelotti menyebutkan salah satu faktor kunci kesuksesannya: karakter rendah hati. ”Kerendahan hati adalah poin kunci dari skuad ini. Kami memenangi liga musim ini karena tidak ada ego di sini. Vinicius tidak ada ego. Bellingham tanpa ego. Rodrygo juga, demikian pula para pemain senior seperti Toni Kroos, Dani Carvajal, Nacho, dan Luka Modric. Kerendahan hati itu penting, kamu harus punya itu,” tuturnya.
Begitulah Ancelotti. Mungkin benar, dia melatih tanpa fanatisme pada satu pola permainan tertentu. Namun, pendekatan khususnya kepada setiap pemain menjadi formula utama bagi fleksibilitasnya meramu taktik.