Sekarang muncul Tapera yang otomatis memotong 3 persen gaji pekerja di atas UMR.
Oleh
LYNDA IBRAHIM
·4 menit baca
Dalam mengawali kolom minggu ini, izinkan saya menyatakan bahwa selain bukan akademisi, saya juga tidak menentang hak manusia memiliki hunian sendiri. Saya adalah rakyat awam, yang beserta rakyat Indonesia lainnya, terperangah minggu ini soal Tapera. Saya akan mencoba menuangkan keterkejutan itu di kolom ini, bukan di kertas akademik, dengan harapan para pembuat kebijakan, syukur-syukur baca, bisa memahami kami dalam bahasa sederhana.
Pertama, soal tabungan dan gotong royong. Sejatinya, tabungan adalah keputusan sukarela untuk menyimpan dana di sebuah tempat, bisa diambil sang pemilik tiap saat. Apabila penyetoran dana diwajibkan pihak lain itu namanya iuran dan normalnya untuk manfaat seketika. Iuran RT menghasilkan pengangkatan sampah dan tim siskamling. Iuran pusat kebugaran membuka pintu kelas zumba, TRX, dan pilates. Iuran BPJS menjamin layanan kesehatan. Begitu juga gotong royong, kuncinya di kerelaan hati. Kalau keharusan beramai-ramai, itu namanya mobilisasi.
Mari tertib dulu dalam memakai istilah.
Kedua, pengelolaan dana yang terkumpul (pooled fund). Iuran RT dan pusat kebugaran adalah pembukuan dengan arus kas bersiklus pendek—yang terkumpul dalam sebuah periode umumnya terpakai di periode sama. Sisa iuran RT jadi kas bersama, marjin iuran pusat kebugaran dibukukan sebagai laba usaha. Pembukuan BPJS jauh lebih rumit, tapi selama pembayar iuran mendapatkan akses kesehatan yang dibutuhkan, pembayar cenderung tidak terlalu hitung-hitungan.
Tetapi, dana terkumpul yang baru bisa ditarik setelah bertahun-tahun? Jelas penyetor berhak bertanya detail soal manajemen penyimpanan dan jaminan pengembalian. Itu hak prinsip bahkan tanpa Indonesia pernah didera kasus salah kelola dana Taspen, Jiwasraya, Asabri, Pelindo, atau Bukit Asam.
Jelas ya, kebutuhan hunian adalah sekarang, bukan kapan-kapan.
Ketiga, hunian. Kebutuhan primer tiap manusia, terutama di usia produktif. Kebutuhan bisa beda antarindividu. Idealnya, hunian layak dekat tempat kerja, sekolah anak, pasar, rumah sakit, dan pusat rekreasi yang terjangkau. Tapi karena kehidupan urban dunia tidak pernah utopis, yang terjadi adalah kompromi. Ada yang mengangankan rumah tapak jauh dari keramaian dan ada yang senang hunian vertikal di pusat kota, tetapi semua membutuhkan hunian saat kehidupan sedang aktif-aktifnya.
Jelas ya, kebutuhan hunian adalah sekarang, bukan kapan-kapan.
Keempat, pembiayaan hunian. Kecuali dilimpahi warisan properti atau tunai, seseorang perlu membiayai huniannya. Karena kultur Indonesia masih meletakkan status rumah tapak di awan, terlepas memadatnya lahan urban, banyak yang harus menjauh dari pusat kota untuk lahan yang terjangkau. Dibayarnya pun cenderung melalui skema kredit.
Sekali sudah tanda tangan akad kredit, cicilan akan jatuh tempo tanpa peduli keadaan kantong. Berani mangkir? Kena penalti atau kehilangan jaminan. Umum guyonan di media sosial yang menyebut cicilan rumah diprioritaskan sebelum makan kenyang.
Artinya, membayar rumah masa depan sendiri pun sudah penuh perjuangan.
Lalu sekarang muncul Tapera yang otomatis memotong 3 persen gaji pekerja di atas UMR untuk membantu warga negara berpenghasilan di bawah Rp 8 juta-Rp 10 juta per bulan mendapatkan rumah pertama. Mekanismenya 2,5 persen ditanggung pekerja, 0,5 persen ditanggung pemberi kerja. Pekerja berpenghasilan di atas batas bantuan tadi tidak bisa mengakses Tapera sampai setelah pensiun.
Setelah kena pajak penghasilan (5-35 persen tergantung tingkatan), sekitar 3,5 persen BPJS Ketenagakerjaan, 1 persen BPJS Kesehatan, sekarang kena lagi potongan 2,5 persen? Sebesar 2,5 kali dibandingkan BPJS Kesehatan, tapi tidak bisa dinikmati seketika oleh mayoritas pembayar? Hampir sebesar potongan BPJS Ketenagakerjaan, tetapi hanya sebagian yang boleh menikmatinya di usia produktif? Intinya, membayari rumah orang lain, sambil mencicil rumah sendiri, ditambah deg-degan pengembalian di belakang hari?
Hah?
UMR Jakarta 2024 dipatok Rp 5,07 juta. Anggap ada pasangan beranak dua dengan gaji Rp 9 juta. Dari tanya kanan-kiri saya tahu sekitar 80 persen (Rp 7,2 juta) akan habis untuk kebutuhan rutin empat manusia, termasuk cicilan hunian dan potongan resmi lainnya. Sisa Rp 1,8 juta harus dicukupkan untuk dana darurat, menabung atau sesekali rileks sekeluarga. Potongan Tapera Rp 225.000 mungkin terlihat sepele, tapi diambil dari bantalan yang cukup tipis dan nilainya bisa mengongkosi tukang kalau hunian mendadak bocor atau sebulan sekali menyenangkan anak ke Kidzania.
Sementara itu, mereka tak berhak mengakses Tapera. Anggap usia 30 tahun saat mulai dipotong dan karier biasa saja, yang artinya pendapatan akan selalu kejar-kejaran dengan kebutuhan dan inflasi, apa signifikansi Tapera senilai mungkin Rp 100 juta dalam 25 tahun lagi?
Anda-anda yang realistis pasti sepakat bahwa asumsi saya di atas cukup lunak dibandingkan kerasnya realitas. Ini belum menghitung jika harus mengongkosi kuliah adik, menghidupi orangtua, dan mertua lansia, atau kadang menolong saudara lain yang lebih susah lagi.
Masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) memang harus dibantu, saya setuju. Namun, apa negara tidak ada mekanisme lain?
Bahkan yang kelas bergaji tidak mepet layak protes karena dipotong terus untuk dinikmati nun jauh di depan dengan segala risikonya. Beda dengan iuran BPJS yang seketika berhak dinikmati, terlepas banyak kalangan mampu memilih membayar tanpa menggunakannya.
Masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) memang harus dibantu, saya setuju. Namun, apa negara tidak ada mekanisme lain? Bukankah negara sudah terbilang sukses mengidentifikasikan warga yang perlu dibantu melalui skema BLT? Mengapa tidak memakai pendekatan serupa untuk MBR yang belum punya rumah pertama? Bukankah sekarang setiap pembelian properti perlu menyertakan NIK dan NPWP (yang dalam proses dilebur), sehingga akan ketahuan jika seseorang sudah punya hunian atau belum, sedangkan penghasilan bisa dicari tahu lewat potongan pajaknya?
Kalau negara minta rakyat di atas MBR untuk ikutan patungan demi MBR, tiadakah cara selain pemotongan otomatis? Kenapa tidak dipungut melalui pembelian properti setelah hunian pertama atau besaran PBB atas properti tidak aktif? Atau malah, negara membeli tanah tidak aktif dari masyarakat senilai NJOP dengan kompensasi keringanan pajak penghasilan?
Saya tidak pernah sekolah kebijakan publik, tapi saya percaya banyak kepala cemerlang di parlemen dan pemerintah yang bisa merumuskan dengan lebih adil.
Bahwasanya Apindo dan KSPI sama-sama keberatan, padahal biasanya berseberangan, sudah pertanda betapa hal ini tidak bijak. Mungkin Apindo, KSPI, dan para akademisi perlu bersatu mengajukan uji materi ke MK.
Alih-alih menuju Indonesia Emas, adanya sih ini Indonesia cemas.