Serangan terhadap Kebebasan Pers
Diduga ada upaya untuk melemahkan kebebasan pers, terutama pada empat pasal krusial di RUU Penyiaran.
Kebebasan pers bakal terancam dan mengalami pelemahan. Setidaknya karena adanya pasal-pasal bermasalah dalam Rancangan UU Penyiaran yang kemungkinan akan disahkan sebelum Presiden Jokowi mengakhiri masa jabatannya.
Pelemahan kebebasan pers tentu saja akan menjadi masalah serius berkaitan dengan penguatan kualitas demokrasi di Indonesia. Hilangnya kebebasan pers sama artinya dengan menenggelamkan media sebagai salah satu kekuatan kontrol atas berbagai penyelewengan demokrasi, melakukan kontrol dan kritik atas kekuasaan otoriter.
Situasinya akan semakin rentan manakala memperhatikan perkembangan situasi politik kekuasaan saat ini. Dalam kepemimpinan politik lima tahun mendatang, misalnya, dimungkinkan tidak akan ada kekuatan oposisi yang cukup berarti. Hal ini bisa terlihat dari berbagai upaya presiden terpilih mencoba merangkul semua partai politik masuk dalam koalisi kekuasaannya.
Baca juga: RUU Penyiaran dan Jejak Kelam Pembungkaman Pers
Pada saat yang sama, Rancangan UU Penyiaran ini juga begitu jelas bertentangan dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang dianggap sebagai penjamin kebebasan pers yang selama ini berjalan. Utamanya dalam kehidupan demokrasi pasca-reformasi.
Sebut misalnya, pada Pasal 3 Ayat 1, yang menyatakan pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Begitu pun dalam Pasal 6 Huruf d, yang menyatakan pers nasional melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Pasal yang melemahkan
Setidaknya ada empat pasal yang paling berpotensi melemahkan kebebasan pers, dan bahkan sangat mungkin akan mengancam keamanan para pelaku pers, terutama para jurnalis. Pertama, pada bagian Rancangan UU Penyiaran yang mengatur soal sengketa pada Pasal 51E yang menyatakan, ”Sengketa yang timbul akibat dikeluarkannya keputusan KPI dapat diselesaikan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Pasal ini bertentangan dengan UU Pers utamanya Pasal 15 Ayat 2 Huruf d, yang memberikan kewenangan kepada Dewan Pers untuk memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Artinya, perselisihan mengenai pemberitaan bukan ditangani melalui pengadilan seperti kasus-kasus kriminal pada umumnya. Dengan begitu, pers tidak bisa dijatuhi pidana karena pemberitaannya.
Pemberian peluang penyelesaian konflik pemberitaan kepada pengadilan akan membuka peluang secara bebas siapa saja bisa mengadukan pemberitaan kepada polisi, bahkan untuk kepentingan politik sekalipun. Dengan demikian, ancaman kriminalisasi kepada pelaku pers akan berkembang, dan akan bisa terjadi hampir sebagai peristiwa harian. Situasi ini akan menjadikan kehidupan pers tidak kondusif karena selalu berada dalam bayang-bayang pemidanaan akibat berita yang disiarkannya.
Setidaknya ada empat pasal yang paling berpotensi melemahkan kebebasan pers, dan bahkan sangat mungkin akan mengancam keamanan para pelaku pers, terutama para jurnalis.
Kedua, pada Pasal 50B Ayat 2 Huruf C Rancangan UU Penyiaran yang menyatakan dengan tegas larangan untuk penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Larangan ini memiliki potensi menutup keleluasaan pers dalam proses mendapatkan data pendukung pemberitaannya, dan tentu saja juga menghalangi publik mendapatkan informasi yang benar dan bisa dipertanggungjawabkan.
Memang apa bahayanya jurnalisme investigatif? Paling penting, bisa membuat risi para pemegang kekuasaan, mengganggu kenyamanannya, terutama para pelaku korupsi dan pelanggar hak asasi manusia. Seperti dikatakan Mark Lee Hunter (2011), jurnalisme investigasi mencakup berbagai aktivitas jurnalisme yang melibatkan pengungkapan masalah-masalah publik yang disembunyikan—secara sengaja atau tidak sengaja oleh seseorang dalam posisi berkuasa.
Ketiga, Pasal 50B Ayat 2 Huruf C Rancangan UU Penyiaran yang menyatakan larangan melakukan penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme.
Pasal ini ditengarai akan menjadi pasal ”karet” yang bisa mengancam pelaku pers dan perusahaan pers. Sebab penafsiran mengenai istilah-istilah itu akan sangat subyektif, ambigu, dan bermakna kabur.
Dengan pasal ini, kebebasan pers jelas-jelas akan terancam. Misalnya, sebuah pemberitaan yang bersifat kritis bisa dianggap sebagai bentuk pencemaran nama baik, fitnah, dan berita bohong karena mempersoalkan posisi para pemegang kekuasaan. Sehingga akan sangat dengan mudah pelaku pers dan perusahaan pers masuk dalam pengadilan, dan mungkin bisa sampai dipenjarakan dengan penggunaan pasal karet ini.
Baca juga: RUU Penyiaran dan Ketidaksengajaan Informasi
Keempat, ketentuan dalam Pasal 8A Ayat 1 Huruf q yang mengatur kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran.
Pasal ini dianggap bertentangan dengan UU Penyiaran utamanya pada Pasal 15 Ayat 2 Huruf c yang mengamanatkan kepada Dewan Pers untuk memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
Pengaturan ganda terhadap dua lembaga dalam menyelesaikan kasus-kasus pemberitaan tentu saja akan bermasalah. Tidak saja membuat publik akan mengalami kebingungan saat merasa dirugikan oleh pemberitaan, tetapi juga memunculkan ketidakpastian penanganan kasus atau pengaduan itu sendiri.
Harus dilawan
Pengesahan Rancangan UU Penyiaran ini dengan jelas dan pasti akan menggerus watak kritis pers, menaklukkan para pelaku pers, dan lebih penting lagi akan menghapuskan peran-peran sosial pers, terutama dalam melakukan pengawasan dan kontrol terhadap kekuasaan.
Situasi seperti ini tentu saja harus dilawan. Sebab, bisa diduga banyak agenda politis yang sedang dijalankan dengan pelemahan kebebasan pers, terutama pada empat pasal krusial di atas. Kelompok masyarakat sipil penting untuk bergerak melakukan upaya-upaya strategis dalam mencegah terjadinya serangan kepada kebebasan pers ini.
Jika dibiarkan, pers akan lahir menjadi sinetron belaka, yang ompong karena hanya dengan peran sebagai institusi edukasi dan hiburan. Selamat jalan kebebasan pers di Indonesia.
Mukhotib MD, Peneliti pada PT Adicita Swara Publika (ASP) Yogyakarta