Suku bunga tinggi menimbulkan persistensi inflasi akibat fenomena cobweb, yang diobati dengan suku bunga tinggi.
Oleh
ARI KUNCORO, REKTOR UNIVERSITAS INDONESIA
·5 menit baca
Salah satu tugas bank sentral adalah pengendalian inflasi. Dalam konteks interaksi ala game theory antara pembuat kebijakan dan pelaku ekonomi, bank sentral memerlukan kredibilitas dan reputasi (Persson dan Tabellini, 1999), yang dibangun dan dipertahankan dengan keteguhan terhadap pencapaian target inflasi (Bordon dan Siklos, 2015).
Untuk bank sentral Amerika Serikat, The Fed, target inflasi adalah 2 persen. Kompleksitasnya, selain dari sisi permintaan, sumber tekanan inflasi juga bersumber dari fragmentasi globalisasi akibat ketegangan geopolitik. Pertanyaannya kemudian, apakah target inflasi The Fed masih realistis? Sebab, fungsi reaksi atau ekspektasi dari para pelaku ekonomi sangat mungkin sudah berubah sesuai perkembangan dunia saat ini.
Pengamatan pada inflasi AS sangat menarik. The Fed berhasil menurunkan inflasi dari tingkatnya yang tertinggi, 9,1 persen per Juni 2022, menjadi 3,4 persen per April 2024. Hal ini ditempuh melalui 11 kali kenaikan suku bunga sejak Maret 2022, dimulai dari 0,5 persen sampai mencapai 5,25 persen sekarang ini.
Hal yang menarik kemudian, inflasi tidak kunjung turun sampai di angka 2 persen sehingga suku bunga acuan tetap dipertahankan tinggi. Inflasi AS sempat turun mencapai 3,1 persen pada Januari 2024, tetapi kemudian naik lagi menjadi 3,5 persen pada Maret 2024. Baru kemudian inflasi turun kembali menjadi 3,4 persen pada April 2024.
Ini menimbulkan wacana bahwa The Fed perlu lebih pragmatis mengingat target 2 persen mungkin tidak lagi sesuai dengan kondisi perekonomian. Dari tren lima tahunan, keseimbangan baru inflasi tampaknya terjadi pada kisaran 3 persen sejak Juni 2023.
Pada saat yang sama, pertumbuhan AS triwulan I-2024 turun drastis menjadi 1,6 persen dari 3,4 persen pada triwulan sebelumnya. Situasi ini, oleh sejumlah ekonom, juga diterjemahkan sebagai tanda-tanda stagflasi, situasi terburuk untuk perekonomian dengan inflasi dibarengi oleh kontraksi pertumbuhan.
Ini menimbulkan dugaan bahwa kurva Philips, yaitu relasi positif antara pertumbuhan dan inflasi telah bergeser. Secara visual, dalam grafik dua dimensi di mana inflasi diletakkan di sumbu vertikal dan pertumbuhan di sumbu horizontal, akan terlihat pergerakan melawan arah jarum jam dengan kemiringan kurva akan lebih curam.
Dengan kata lain, inflasi lebih tinggi pada pertumbuhan yang lebih rendah (higher inflation for lower growth). Timbul wacana agar The Fed lebih pragmatis, merevisi target ”inflasi ideal” pada kisaran 3 persen sampai 3,5 persen.
Permasalahannya, guna menjaga kredibilitas dan reputasinya, The Fed harus konservatif, menunggu data inflasi, pertumbuhan, dan pengangguran yang akan datang. Dengan kata lain, perancangan kebijakan bergeser ke ex-post information dibandingkan dengan melihat ke depan (ahead of the curve).
Jebakan kebijakan
Persistensi inflasi di AS terjadi dewasa ini bersumber pada ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran di sektor perumahan. Jeda waktu antara keputusan membeli dan memproduksi tidak pernah dapat ditutup karena fenomena jaring laba-laba atau cobweb yang eksplosif (Poitras, 2022).
Sektor perumahan sekarang menyumbang sepertiga dari inflasi (Picchi, Mei 2024). Biaya kepemilikan rumah melalui kredit yang meningkat akibat suku bunga tinggi secara efektif meningkatkan harga jual dan sewa rumah.
Di sisi lain, pengembang yang bekerja berdasarkan pesanan juga mengalami peningkatan biaya modal kerja sehingga membuat produksi rumah baru turun. Selain itu, stok rumah di pasar terbatas. Sebab, mereka yang sudah memiliki rumah tidak bersedia menjualnya karena harga rumah penggantinya tidak terjangkau pada tingkat bunga tinggi seperti sekarang ini.
Situasi di atas merupakan jebakan lingkaran kebijakan (policy trap) yang tidak ada habis-habisnya. Inflasi membutuhkan suku bunga tinggi untuk menurunkannya.
Namun, suku bunga tinggi justru menimbulkan persistensi inflasi akibat fenomena cobweb, yang diobati dengan suku bunga tinggi yang kemudian justru memicu inflasi. Untuk itu, timbul wacana agar The Fed meninjau target inflasinya sesuai dengan kenyataan dewasa ini untuk keluar dari jebakan ini.
Dollar
Imbas dari dollar yang terlalu kuat terlihat pada pergeseran konsumsi masyarakat AS, dari berwisata di dalam negeri ke luar negeri, yang berdampak pada penurunan pertumbuhan. Ini justru merupakan berkah bagi sektor jasa negara-negara lain, seperti zona euro.
Sebagai gambaran, besaran Purchasing Managers’ Index (PMI) sektor jasa untuk zona euro naik dari kontraksi 48,4 pada Januari 2024 menjadi ekspansi 51,5 pada bulan Maret. Adapun untuk April dan Mei bertahan pada angka 53,3. Efek multiplier-nya adalah ikut mengerek PMI sektor manufakturnya dari 45,7 pada bulan April menjadi 47,2 pada bulan Mei,
Kombinasi dari berbagai hal di atas menimbulkan ekspektasi bahwa The Fed akan menurunkan suku bunga pada triwulan III-2024 (Goodkind, Mei 2024). Ini untuk mencegah agar tukaran (trade-off) antara inflasi dan pertumbuhan tidak menjadi semakin buruk, dengan inflasi tetap tinggi, tetapi pertumbuhan semakin rendah.
Ekspektasi di atas terlihat dari imbal hasil obligasi Pemerintah AS dengan tenor 10 tahun yang turun dari 4,71 persen pada akhir April menjadi 4,44 persen pada akhir Mei. Indeks dollar pun mendingin, pada kurun waktu yang sama turun dari 106,3 menjadi 104,2.
Dalam perkembangannya kemudian, indeks dollar kembali menguat tipis menjadi 104,9 karena rincian minutes of meeting The Fed yang bernada hawkish pada pertemuan 30 April-1 Mei. Keprihatinan mereka atas progres penurunan inflasi yang lamban menjadi catatan karena justru mengisyaratkan opsi menaikkan suku bunga untuk menjinakkan inflasi menjadi 2 persen.
Imbas globalnya adalah memberikan kesempatan kepada mata uang dari sejumlah negara untuk mengambil napas. Yen, misalnya, menguat dari 158,11 yen per dollar AS pada 24 April 2024 menjadi 152,88 yen per dollar AS padai pertengahan Mei.
Won Korea menguat dari 1.391 won menjadi 1.347,5 won. Rupiah pun tidak ketinggalan, menguat dari posisi kurs tengah Rp 16.200 pada awal Mei menjadi Rp 15.980 pada pekan ketiga Mei.
Ekspektasi apakah penguatan rupiah akan berlanjut menjauhi Rp 16.000 per dollar AS bergantung pada pergerakan indeks dollar. Data penciptaan kesempatan kerja AS menunjukkan adanya perlambatan sehingga tingkat pengangguran sudah mendekati 4 persen.
Dengan perkembangan ini, peluang resesi AS meningkat dari 12 persen pada Februari 2023 menjadi 85 persen pada 2024 (Fox, Februari 2024). Perhitungan ini berpotensi mengundang The Fed untuk menurunkan suku bunga pada September 2024. Prediksi ini didasarkan oleh model dari National Bureau of Economics Research.
Implikasinya, indeks dollar berpeluang bergerak kembali turun mendekati 100. Artinya, rupiah berpotensi kembali ke sekitar Rp 15.400 per dollar AS seperti pada triwulan I-2024. Bagi Indonesia, ini berperan dalam penurunan tipis inflasi dari 3,05 persen pada Maret menjadi 3 persen pada April.
Dampak di sektor riil adalah pertumbuhan Indonesia tetap berdaya tahan mencapai 5,11 persen pada triwulan I-2024. Ini terutama ditopang oleh sektor-sektor berbasis mobilitas.