Ikhtiar Melindungi Air
Kualitas air di Indonesia masih buruk. Untuk mengatasinya, perlu penguatan regulasi pengendalian air limbah domestik.
Keriuhan agenda internasional World Water Forum Ke-10 yang digelar di Bali menjadi momentum yang tepat bagi dunia untuk berikhtiar merawat sumber kehidupan manusia yang vital, yaitu air. Sejumlah pemimpin negara, pakar air, pemangku kepentingan, dan delegasi lainnya hadir di satu forum yang bertema ”Water for Shared Prosperity” ini untuk merumuskan fokus empat hal, yaitu konservasi air, air bersih dan sanitasi, ketahanan pangan dan energi, serta mitigasi bencana.
Ikhtiar konservasi air berarti upaya melindungi dan melestarikan air yang saat ini jumlahnya semakin terbatas dan tidak semua orang mudah untuk mengaksesnya. Sebuah data menunjukkan, 70 persen wilayah Bumi ini berupa perairan, tetapi hanya 2,5 persen merupakan air tawar yang hanya bisa dikonsumsi oleh populasi manusia yang dari waktu ke waktu kian bertambah.
Air limbah domestik
Jika kita melihat potret Indonesia akan akses air minum layak, cukup memprihatinkan. Berdasarkan hasil Studi Kualitas Air Minum Rumah Tangga (SKAMRT) dari Kementerian Kesehatan pada 2020, 7 dari 10 rumah tangga Indonesia mengonsumsi air minum yang terkontaminasi bakteri Escherichia coli (E. coli).
Lalu menurut penjelasan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, capaian sanitasi aman Indonesia masih sangat rendah. Angka sanitasi aman Indonesia baru mencapai 7 persen pada 2020. Capaian ini lebih rendah dibandingkan Thailand yang angka sanitasinya mencapai 26 persen dan India yang mencapai 46 persen.
Baca juga: Mengelola Air sebagai Sumber Kehidupan
Melihat fenomena akan kualitas air di Indonesia yang masih buruk, salah satu akar penyebabnya ialah kurangnya penguatan regulasi pengendalian air limbah domestik. Air limbah ini berasal dari aktivitas sehari-hari manusia yang kaitannya dengan pemakaian air.
Dalam skala rumah tangga, air limbah domestik terbagi menjadi dua, yaitu black water yang bersumber dari tinja dan air kencing, dan grey water yang bersumber dari air mandi, air cucian, dan air limbah dapur. Bayangkan, ratusan juta populasi di Indonesia di berbagai tempat setiap hari menghasilkan dua jenis air limbah domestik tersebut. Tidak semua terolah dalam sebuah instalasi pengolahan air limbah komunal, lalu jika tidak terolah bermuara ke mana limbah yang kita hasilkan?
Jika kita berjalan menelusuri beberapa permukiman padat, akan menjadi pemandangan yang umum, melihat genangan air hitam pekat, dan bau menyengat tampak menggenang di jalur drainase yang seharusnya sebagai jalur limpasan air hujan. Jika wilayah itu sedang musim kemarau, makin menjadi jalur drainase menggenang disertai endapan lumpur akibat kuantitas air limbah yang kian hari kian bertambah.
Sebagian mungkin akan meresap ke permukaan tanah (menimbulkan cemaran dan potensi penyakit), sebagian akan terdorong menuju badan air (sungai atau situ) yang pada akhirnya sumber daya air kita perlahan rusak seperti sungai. Lalu bagaimana kualitas air bersih kita layak jika sumbernya tercemar?
Berbicara mengenai sungai, di Indonesia terdapat sekitar 70.000 sungai. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 46 persen sungai di Indonesia termasuk dalam keadaan tercemar berat. Adapun 32 persen sungai lainnya termasuk dalam keadaan tercemar sedang berat, 14 persen termasuk dalam tercemar sedang, dan 8 persen termasuk tercemar ringan.
Zaman dahulu keberadaan sungai erat kaitannya sebagai awal mula tumbuhnya suatu peradaban. Namun di zaman modern ini, akibat upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan manusia, daya dukung dan daya tampung ekosistem sungai kian menurun.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 46 persen sungai di Indonesia termasuk dalam keadaan tercemar berat.
Sebuah penelitian menunjukkan, rata-rata air limbah domestik yang dihasilkan oleh masyarakat perkotaan X di Indonesia sebesar 116 liter per orang per hari. Jumlah air limbah secara keseluruhan 1.316.110 meter kubik (m3) per hari, dengan air buangan (limbah cair) domestik 987.000 meter kubik per hari.
Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa jumlah air limbah rumah tangga di wilayah kota X memberikan kontribusi terhadap pencemaran air sekitar 75 persen. Jika penelitian ini diilustrasikan dalam skala nasional, bisa dibayangkan berapa besar limbah cair domestik semrawut tak terolah dengan baik.
Laporan Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2020 menunjukkan, 57,42 persen air limbah mandi, mencuci, dan dapur dibuang ke got/selokan/sungai. Selain itu, sebanyak 18,71 persen membuang limbah rumah tangga ke lubang tanah. Ada juga 10,26 persen orang Indonesia yang membuang limbah ke tangki septik.
Berikutnya, 1,67 persen orang Indonesia membuang limbah rumah tangga ke sumur resapan. Namun, hanya ada 1,28 persen yang membuang limbah melalui instalasi pengolahan air limbah (IPAL) atau saluran pembuangan air limbah (SPAL).
Jika fenomena ini dibiarkan, akan memberikan berbagai dampak buruk, baik terhadap lingkungan, seperti kerusakan kualitas sumber daya air, mengganggu ekosistem fauna air, merusak kualitas tanah, dan mengganggu kehidupan tumbuhan. Adapun Dampak buruk bagi sosial ialah potensi berbagai sumber penyakit bagi manusia dan akses air bersih yang semakin buruk kualitasnya.
Pengendalian air limbah domestik
Saat ini regulasi pemerintah dalam mengatasi persoalan air limbah domestik hanya mengawasi pada pelaku usaha formal, seperti perkantoran, industri, area komersial tertentu, dan kawasan mandiri swasta.
Beberapa wilayah, terutama di perkotaan dengan tingkat penduduk yang padat serta sektor usaha informal di sekitarnya, beberapa belum tersedia instalasi pengolahan air limbah domestik komunal. Bertahun-tahun mereka beraktivitas, air limbah domestik yang dihasilkan mengalir begitu saja mencemari badan air di sekitarnya, yang pada akhirnya akan memiliki konsekuensi buruk terhadap kualitas sungai yang mereka tidak sadari merusak sumber air baku untuk pengolahan air bersih.
Bagaimana solusi mengatasi persoalan air limbah domestik?
Upaya pemerintah meningkatkan kualitas sanitasi masyarakat dan kebersihan lingkungan melalui program Sanimas (Sanitasi Berbasis Masyarakat) yang dilakukan di beberapa wilayah. Sedikitnya 8.000 fasilitas telah dibangun sejak 2003 dengan berbagai program, antara lain, Sanimas Reguler, Sanimas DAK, Sanimas USRI, dan Sanimas IDB.
Program tersebut perlu ditingkatkan dan diperluas jangkauan manfaatnya karena berorientasi pada prinsip keberlanjutan, dengan melibatkan kelompok swadaya masyarakat ketika mulai tahap perencanaan, konstruksi, hingga operasional sehingga selalu mengedepankan partisipasi masyarakat sehingga berdaya dengan mengelola mandiri. Meskipun demikian, program ini menjumpai sejumlah kendala teknis ketika proses operasi dan pemeliharaan, sosial, dan kelembagaan yang menjadi yang sulit diselesaikan di tingkat masyarakat.
Baca juga: Di Balik Kerusakan Citarum
Salah satu faktor pendorong peningkatan jumlah air limbah domestik erat kaitannya dengan peningkatan jumlah penduduk yang kian bertambah dari tahun ke tahun. Selama ini, terdapat kekosongan regulasi terhadap pengendalian sumber air limbah domestik yang faktanya didominasi oleh aktivitas rumah tangga di permukiman.
Bisa kita perkirakan, pertumbuhan penduduk tadi akan mendorong kebutuhan akan hunian. Oleh karena itu, perlunya regulasi pengetatan berupa kewajiban membangun instalasi pengolahan air limbah komunal kepada pengembang saat mengajukan izin membangun hunian di suatu wilayah.
Praktiknya, regulasi tersebut dapat disisipkan dengan peraturan persetujuan bangunan gedung (PBG) yang dahulu bernama izin mendirikan bangunan (IMB). Paradigma perizinan jangan hanya sebatas pengetatan administratif dan aspek teknis, harus mulai dipikirkan bagaimana pengelolaan lingkungan setelah bangunan tersebut terdapat aktivitas manusia.
Luaran yang diharapkan ketika hunian massal tersebut berdiri, sarana pendukung pengolahan air limbah domestik siap beroperasi. Kondisi terkini hanya permukiman elite yang siap menerapkan IPAL komunal di wilayahnya. Biasanya warga akan dikenai iuran pengelolaan lingkungan (IPL) yang termasuk jasa pengolahan air limbah domestik.
Beberapa permukiman untuk segmen menengah-bawah belum disediakan IPAL komunal oleh pengembangnya karena upaya meminimalkan biaya. Selain itu, juga tidak ada regulasi yang mengatur dan mengharuskan kewajiban menyiapkan sistem IPAL komunal tersebut.
Lalu apa yang terjadi? Seperti uraian di atas, kita akan disuguhkan sebuah potret genangan air hitam di jalur drainase berbau pekat dan secara tidak sadar menjadi sumber timbulan penyakit, kerusakan kualitas tanah, dan keanekaragaman hewan dan tumbuhan di sekitarnya. Secara tidak langsung akan menimbulkan kerugian ekonomi bagi masyarakat akibat membayar mahal kualitas sanitasi yang tidak layak akibat cemaran tersebut.
Baca juga: Belum Semua Fasilitas Sanitasi Terhubung ke IPAL
Selain upaya pencegahan lewat penerbitan regulasi pengetatan tadi terhadap calon hunian massal baru, program Sanimas yang sudah dilakukan, perlu ditingkatkan dan dilanjutkan, terutama di daerah dengan kategori menimbulkan cemaran berat bagi badan air yang selama ini muara akhir air limbah domestik.
Percayalah, kerugian akibat kerusakan lingkungan lebih mahal harganya dibandingkan biaya upaya mengendalikan pencemarannya. Saatnya kita mulai memupuk kepedulian akan keberlanjutan lingkungan kita agar generasi anak cucu kita dapat menikmati lingkungan yang terawat di masa yang akan datang.
Indra Arif Firmansyah, Praktisi Air dan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Lingkungan Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia