Rela Mundur
”Fairness” ditunjukkan kerelaan Klopp mundur. Dalam hal ini, ”fairness” berarti: orang jujur dengan keterbatasannya.
Air mata berjatuhan di Stadion Anfield di akhir Liga Inggris 2024. Banyak fans Liverpool menangis, mengiringi perpisahan mereka dengan Juergen Klopp. Di tribune, Ulla, istri Klopp, mengusap pipinya yang basah dengan air mata. Bahkan, lelaki-lelaki yang gagah perkasa, Trent Alexander-Arnold dan Van Dijk, tak kuasa menahan isaknya ketika Klopp memeluk mereka untuk terakhir kalinya.
Dari tribune terdengar nyanyian yang menggubah gubahan lagu The Beatles, I’am so glad that Jürgen is red. Dan saat itu seakan hanya kepada Klopp-lah, lagu kesayangan mereka digemuruhkan, ”You’ll never walk alone”. Klopp tak dapat bersuara. Yang bersuara menjawabnya adalah tulisan di jaket bertudungnya, ”i’ll never walk alone again”.
Menirukan kata-kata fans-nya, Klopp bilang, pertandingan melawan Wolverhampton Wanderers adalah tarian terakhir Liverpool bersama dia. Syukurlah, Liverpool lewat kaki Alexis Mac Allister dan Jarell Quansah dapat menghadiahkan dua gol bagi Klopp untuk perpisahannya. ”Maka, marilah sekarang kita menari,” ajak Klopp menghibur dirinya.
Sebenarnya Klopp, sendiri, nyaris sudah tak kuat lagi untuk menahan air mata.
Baca juga: ”Gegenpressing” dan Pemilihan Presiden 2024
Jangankan Liverpool, Pep Guardiola pun, saingan abadinya, berkaca-kaca pula karena kepergian Klopp itu. ”Saya sangat kehilangan dia. Juergen sungguh telah menjadi bagian besar dari hidup saya. Ia telah membawa level kepelatihan saya sampai pada tingkat ini. Saya kira, kami berdua amat saling menghormati,” sedih Guardiola justru di tengah Manchester City gembira merayakan juara keempat kali mereka di Liga Inggris setelah menekuk West Ham United, 3-1.
Banyak pengamat mengakui, dalam dekade terakhir ini Klopp dan Guardiola telah membawa sepak bola menuju puncaknya. Mereka adalah sahabat sejati sekaligus pesaing setengah mati. Sebagai manusia, mereka sehati. Sebagai pelatih bola, Klopp bagaikan api, Guardiola bagaikan air. Kalau harus memilih, fans bola tinggal menentukan, suka panas atau suka dingin. Alangkah idealnya bila di antara panas dan dingin itu bisa diambil tengah-tengahnya. Sayang, dalam fenomena bola mereka, pilihan itu tidak tersedia.
Rivalitas mereka sudah pecah sejak tahun 2013 saat Klopp melatih Borrusia Dortmund dan Guardiola melatih Bayern Muenchen. Persaingan mereka mirip, tetapi sekaligus lebih dibandingkan dengan persaingan Alex Ferguson dan Arsene Wenger. Ferguson dan Wenger terhitung berhadapan satu sama lain sudah 49 kali, sedangkan Klopp dan Guardiola baru 30 kali.
Namun, intensitas rivalitas Klopp dan Guardiola jauh lebih sengit dan seru daripada rivalitas Ferguson dan Wenger. Dalam sembilan laga, terhitung dari 2013 sampai 2015 di Bundesliga, dan sejak 2016 di Premier League, empat kali Klopp dan Guardiola bersaing di urutan dua teratas klasemen. Lalu dari enam pertandingan di Liga Champions, 5 kali entah Klopp entah Guardiola berhasil mencapai final. Belum lagi pertemuan-pertemuan lain mereka di tingkat yang lebih bawah.
Klopp adalah pribadi yang setia kepada dirinya. Seperti waktu di Dortmund, dan sekarang di Liverpool, ia tahu kapan harus mundur walau menurut orang lain, ia sedang dibutuhkan, atau sedang dalam puncak kepelatihannya.
Menurut Michael Reschke, direktur teknis semasa Guardiola di Bayern Muenchen, Klopp dan Pep berhasil dalam memadukan inteligensi dan kecintaan dalam bermain bola. Keduanya juga sangat melindungi pemain-pemainya. Namun, keduanya juga sangat berbeda. Guardiola bagaikan biola. Klopp bagaikan drum gebuk. Atau Klopp itu bagaikan api yang menguapkan air, sedangkan Guardiola bagaikan air yang memadamkan energi api.
Baca juga: Final Serasa Konser Metal
Terhadap publik, Guardiola kelihatan menjaga jarak. Sementara Klopp tampak lebih hangat. Dan dalam hal permainan, Reschke memberikan metafora ini: Klopp ingin agar kesebelasannya dengan buas segera memangsa dan melumat habis lawan. Sementara Guardiola lebih sabar, ia ingin anak-anaknya mem-filet-kan lawan, ibarat membeset, mengopek, dan menyisakan daging yang tinggal enak dimakan dari seekor ikan.
Klopp dan Guardiola saling bersaing, tetapi juga saling menghargai dengan setulus dan sejujur hati. Fairness dunia bola inilah yang berhasil ditunjukkan oleh keduanya. Sayang, drama fairness ini harus berakhir ketika Klopp sudah berpamit dari Liverpool.
Sembilan tahun lalu Klopp datang ke Liverpool. Ia memperkenalkan diri sebagai ”The Normal One” untuk membedakan dirinya dari ”The Special One” Jose Mourinho. Bersama Klopp, perlahan-lahan Liverpool beserta fans-nya berubah dari doubters, diri yang ragu, menjadi believers, diri yang percaya. Memang bersama Klopp, Liverpool berhasil menjadi klub yang kokoh dan disegani.
Namun, di ujung kepelatihannya, Klopp harus mengatakan tentang kebenaran. Dan kebenaran itu adalah ”saya harus mundur sekarang”. Dan, ia memberikan alasan, untuk terus mempertahankan Liverpool di jajaran puncak, dibutuhkan 100 persen totalitas. Tak bisa totalitas itu diturunkan, misalnya jadi 80 persen.
Sementara ia mengaku, sumber daya kekuatannya bukanlah tanpa batas. Energinya sudah tak memadai lagi untuk memenuhi tuntutan itu. Maka, katanya, ”Saya tidak bisa mengatakan ayo lagi dan lagi. Saatnya saya mengatakan kebenaran, saya harus mundur.”
Menurut BBC, jasa Klopp bagi Liverpool akan dikenang sejajar dengan legenda sejarah mereka, seperti Bill Shankly, Bob Paisley, dan Kenny Dalglish. Klopp memang pelatih jempolan. Tetapi, ia juga seorang manusia biasa, yang sadar akan keterbatasannya, hingga ia tahu dan rela mundur tepat pada waktunya.
Baca juga: Klopp Memantik Imajinasi Liverpool
”Klopp adalah pribadi yang setia kepada dirinya. Seperti waktu di Dortmund, dan sekarang di Liverpool, ia tahu kapan harus mundur walau, menurut orang lain, ia sedang dibutuhkan, atau sedang dalam puncak kepelatihannya,” kata Elmar Neveling, penulis biografi Klopp.
Rafael Benitez memuji Klopp, yang tak menyembunyikan keputusan untuk mundur, agar klub bisa mempersiapkan langkah sepagi mungkin dan tak dirugikan dengan kepergiannya. ”Klopp selalu bermain dengan kartu yang terbuka,” kata Benitez, yang juga mantan pelatih Liverpool.
Memang, Klopp pergi bukan karena klubnya sedang krisis. Ia pergi dengan meninggalkan sebuah klub yang sedang berprestasi, penuh kreativitas dan gairah, dan menjanjikan dengan bakat-bakat anak mudanya. ”Kami mempunyai semuanya untuk masa depan, yang membuat kami tertawa,” kata Klopp.
Klopp dan Guardiola telah menunjukkan apa sejatinya persaingan. Persaingan bukan untuk saling menjatuhkan, melainkan untuk menunjukkan kelebihan dalam berprestasi. Dengan demikian, persaingan bisa saling memberikan apresiasi. Itulah fairness dalam persaingan.
Fairness itu juga ditunjukkan oleh kerelaan Klopp untuk mundur. Dalam hal ini, fairness berarti: orang harus jujur dengan keterbatasannya, tak peduli akan pujian dan pandangan publik yang menyayangkan, mengapa ia mundur justru ketika ia berada dalam puncak prestasinya.
Fairness dalam persaingan dan pengakuan keterbatasan diri ini kiranya bukan hanya khas bola. Fairness semacam itu rasanya juga harus ada dalam setiap aspek kehidupan manusia, termasuk dalam politik. Sayangnya, lebih-lebih pada saat ini, ternyata fairness sedemikian itu jauh dari kehidupan dan tingkah laku politik kita.
Sindhunata, wartawan