Sejauh ini saya masih memercayai bahwa institusi tertinggi pada manusia adalah kesadaran, "awareness", eling....
Oleh
BRE REDANA
·3 menit baca
Akademi Bahagia dengan pondok terbuat dari kayu-kayu bekas, terletak di pinggir sawah di daerah Sleman, Yogyakarta, saya rasakan sebagai tempat yang cocok untuk proyek latihan menulis. Bersama belasan peserta dari sejumlah daerah, yang paling jauh dari Banda Aceh, kami bersama-sama melakukan olah surat (”menyurat”, begitu saya menyebutnya) disertai olah badan. Dua hal itu dalam pandangan saya tak ada bedanya: krida surat mengalirkan bahasa, krida badan mengalirkan gerak.
Saya merasa cocok dengan tempat tadi karena sifatnya yang organik—serupa sifat tubuh kita, organik sebelum dikorup oleh teknologi. Bersama Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain Untar, Jakarta, Dr Kurnia Setiawan, kami mengajak para peserta berkegiatan hanya berbekal kertas dan bolpoin.
Sejauh ini saya masih memercayai bahwa institusi tertinggi pada manusia adalah kesadaran, awareness, eling, dan sampai ujung peradaban manusia sebelum era digital menggantikannya, kesadaran itu dibentuk oleh bahasa. Renaisans, Revolusi Industri, Modernisme, bahkan nasionalisme seperti diteorikan oleh Benedict Anderson, semua diakselerasi oleh munculnya mesin cetak yang kemudian melahirkan budaya buku, koran, membaca: singkatnya literasi.
Memelihara dan mengembangkan bahasa bukan sekadar urusan mengasah kecakapan mengekspresikan diri dan berkomunikasi, tetapi juga menumbuhkan daya imajinasi dan perluasan kognisi. Kalau zaman postmo dulu saya mengagung-agungkan critical thinking, kini cukup awareness (untuk itu saya menulis buku Minggu Bersama Guru, terbit pertengahan bulan puasa lalu).
Tentu saja sebagaimana makhluk di Bumi pada era ini saya juga menggunakan peranti digital—dengan merek dan harga seadanya. Hanya saja saya senantiasa memperingatkan diri sendiri untuk berwaspada karena medium ini mampu secara perlahan mengubah sistem neurons dalam diri manusia, memengaruhi sistem kerja otak kita.
Banjir bandang informasi, seperti dikatakan oleh Umberto Eco di mana orang bodoh punya hak sama untuk berkata-kata setara penerima anugerah Nobel, bagi saya bukanlah soal lucu-lucuan. Banyak orang berkilah, ah itu, kan, cuma lucu-lucuan, gemoi-gemoian, jangan kelewat serius.
Dengan menguasai sumber daya yang luas, termasuk media sosial, saya melihat bagaimana penguasa merusak demokratisasi untuk mengingat. Memanfaatkan para influencer dan buzzer mereka mengacak-acak memori manusia, menimbun apa yang harus dilupakan dengan hal-hal tak penting.
Mereka kacaukan memori dengan hal-hal yang tidak perlu, remeh-temeh, kebohongan, disinformasi, sehingga, silakan cek sendiri sebagai contoh: seberapa banyak generasi masa kini tahu apa yang terjadi di negeri ini pada Mei 1998?
Mereka kacaukan memori dengan hal-hal yang tidak perlu, remeh-temeh, kebohongan, disinformasi, sehingga, silakan cek sendiri sebagai contoh: seberapa banyak generasi masa kini tahu apa yang terjadi di negeri ini pada Mei 1998? Terlebih peristiwa-peristiwa sejarah pada masa jauh sebelumnya. Kita di ambang menjadi bangsa ahistoris.
Informasi kelewat mudah didapat pada zaman ini. Kita mendengar apa saja, termasuk banyak hal yang sebetulnya kita tak peduli dan tak sudi tahu, tak terkecuali yang disodorkan oleh jurnalisme yang beberapa—kalau tak boleh menyebut sebagian besar—sama tak keruannya. Mereka memproduksi trivial issues.
Lalu, di mana kejernihan bisa didapat? Pada pers berkualitas, atau di dasar samudra seperti dalam dongeng ”Dewa Ruci”tatkala Bima mencari air suci?
Pertanyaannya bukan di mana, melainkan kejernihan, kemurnian bahasa hanya bisa didapat melalui latihan. Latihan menulis adalah proses terus-menerus dalam upaya mencapai kewajaran: berbahasa dengan wajar, hidup dengan wajar.
Istilah semacam overthinking, healing, galau,dan lain-lain adalah produk dari lingkungan hidup yang telah kehilangan kewajaran.
Tentu bakal ada yang menganggap pandangan tersebut sebagai bentuk skeptisme terhadap kemajuan zaman bahwa sekarang terlebih nanti semuanya akan digantikan oleh kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI).
Betul, tapi saya masih percaya ada yang tidak bisa digantikan oleh AI, antara lain story telling. Struktur, bangunan cerita, vokabulari, dan hal-hal teknis mungkin bisa diborong AI, tapi rasa seperti empati, humanisme, cinta, saya duga tak bakal bisa diambil alih AI. Yang menginspirasi saya bukanlah Tuan Elon Musk yang banyak duit dan dielu-elukan presiden, tapi Gabriel Garcia Marquez yang menulis Living to Tell the Tale.
Untung peserta kegiatan ini tidak menuntut sertifikat yang memang tidak kami janjikan dan sediakan. Malah sebaliknya ada yang mentraktir saya makan di warung di pinggir kali. Kejernihan pikiran mustahil bisa ditebus dengan sertifikat, tapi siapa tahu oleh suara gemercik air di dekat kami ngopi.