Ingatlah, Reformasi 1998 dibayar dengan harga sangat mahal. Ada anak-anak bangsa yang rela berkorban darah dan nyawa.
Oleh
MOHAMMAD SIDIK NUGRAHA
·2 menit baca
Bangsa Indonesia memperingati dua peristiwa sejarah penting pada bulan Mei, yakni berdirinya Budi Utomo dan lengsernya Presiden Soeharto. Peristiwa pertama diabadikan sebagai Hari Kebangkitan Nasional dan diperingati setiap tanggal 20 Mei. Peristiwa kedua dikenang sebagai Hari Reformasi Nasional dan diperingati setiap tanggal 21 Mei.
Sekadar mengingatkan, Reformasi 1998 mengamanatkan enam agenda: Pertama, adili Soeharto dan kroni-kroninya; Kedua, berantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN); Ketiga, tegakkan supremasi hukum; Keempat, cabut dwifungsi ABRI; Kelima, laksanakan otonomi daerah seluas-luasnya; Keenam, amendemen Undang-Undang Dasar 1945.
Dari keenam tuntutan itu, penegakan supremasi hukum dan pemberantasan KKN menjadi yang paling pokok. Jika keduanya dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, Indonesia yang adil dan makmur akan terwujud sebagaimana dicita-citakan para pendiri bangsa.
Namun, kita belajar dari pengalaman bahwa penegakan supremasi hukum menghadapi tantangan yang sangat berat. Bukan tidak mungkin penguasa yang cerdik mengakali hukum demi kepentingannya. Bisa saja ia mengaku taat konstitusi, tetapi malah mengatur siasat sedemikian rupa dengan sangat halus sehingga kecurangannya tidak terbukti.
Selain itu, pemberantasan KKN di Indonesia juga selalu terbentur kepentingan politis. Upaya-upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak pernah surut. Lebih buruk lagi, puluhan pegawainya terlibat kasus pungutan liar rumah tahanan KPK. Itu merupakan pertanda bahaya karena lembaga yang lahir dari rahim Reformasi ini mengalami pengeroposan dari dalam.
Tahun 2024 ini, kita memperingati 116 tahun Kebangkitan Nasional dan 26 tahun Reformasi. Jika semangat Kebangkitan Nasional menjadi modal penting bangsa kita meraih kemerdekaan, Reformasi 1998 membuka jalan untuk kehidupan demokrasi yang lebih baik di Indonesia. Namun, kualitasnya semakin rendah belakangan ini. Kompas (6/5/2023) melaporkan penurunan nilai Indeks Demokrasi Indonesia versi Badan Pusat Statistik dan Democracy Index versi The Economist Intelligence Unit.
Belum lama berselang, tepatnya pada 14 Februari 2024, kita menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih presiden, wakil presiden, dan anggota legislatif. Tujuan utama demokrasi yang sesuai dengan amanat Reformasi 1998 adalah untuk menyejahterakan rakyat banyak, bukan sekadar membagi-bagi kue kekuasaan di antara segelintir orang. Mirisnya, hasrat untuk mendapatkan jatah jabatan, seperti menteri, dipertontonkan secara terang-terangan.
Ingatlah, Reformasi 1998 dibayar dengan harga sangat mahal. Ada anak-anak bangsa yang rela berkorban darah dan nyawa ketika itu. Jangan biarkan pengorbanan mereka sia-sia. Jangan khianati Reformasi.
Kita semua menyimak dan terenyak apa yang dikatakan Prabowo Subianto bahwa siapa pun yang tidak mau bekerja sama silakan menjadi penonton yang baik, tetapi jangan mengganggu (pemerintahannya).
Peran oposisi dalam demokrasi memang bertugas melakukan check and balance, sebagai penyeimbang dan sebagai bentuk kontrol kekuasaan agar tidak kebablasan.
Jika ada partai politik dan individu sebagai oposan menyampaikan kritik, masukan, saran dengan cara halus atau keras, jangan dipersepsikan sebagai ”pengganggu” pemerintah.
Tujuan pengkritik dan pengontrol pemerintah pada prinsipnya sama, yakni untuk kebaikan dan kemakmuran bangsa. Tetapi, jika kritik dan kontrol itu dimaknai sebagai pengganggu, makna demokrasi akan tercederai.
Demokrasi memang berisik karena memberi ruang kepada pihak lain dan masyarakat untuk berdiri sebagai pihak yang beda posisi. Pemerintah jangan gampang merasa terganggu kontrol masyarakat.