Langkah menekan impor tak bisa sepotong-sepotong. Upaya itu mesti simultan dengan menggairahkan produksi dalam negeri.
Oleh
EDITORIAL
·2 menit baca
Lebih dari 25.000 kontainer tertahan di pelabuhan sejak 10 Maret 2024. Data per Jumat (17/5/2024) menyebutkan, 17.304 kontainer tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, dan 9.111 kontainer tertahan di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Kontainer-kontainer itu tertahan akibat tak bisa memenuhi pertimbangan teknis atau pertek dalam izin impornya.
Sebagai negara yang cukup banyak mengimpor barang konsumsi, bahan baku/penolong, dan barang modal, situasi puluhan ribu kontainer yang tertahan di pelabuhan tersebut sungguh menimbulkan tanda tanya. Sebab, ada berbagai kategori barang impor yang mestinya dibedakan perlakuannya. Bisa jadi, niat untuk mengendalikan barang impor masuk ke Indonesia merupakan niat yang baik. Akan tetapi, penerapannya tak bisa di-gebyah uyah atau disamaratakan terhadap seluruh barang.
Secara sederhana, ada barang yang tak mendesak dibutuhkan industri. Akan tetapi, ada barang yang bisa menghentikan kegiatan produksi jika tak tersedia. Oleh karena itu, penerapan aturan yang rigid mesti mengacu pada setiap jenis barang, misalnya, mengacu pada Harmonized System Code atau Kode HS.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), total impor Indonesia pada Januari-April 2024 senilai 70,952 miliar dollar AS. Dari jumlah tersebut, sekitar 73,22 persen di antaranya berupa bahan baku/penolong. Adapun sisanya, berupa barang modal (17,07 persen) dan barang konsumsi (9,71 persen).
Bayangkan, jika yang banyak tertahan adalah bahan baku/penolong dan barang modal. Otomatis, roda produksi barang di Indonesia, yang selama ini masih memerlukan bahan atau barang impor, akan terganggu. Gangguan pada roda produksi akan berentet panjang, antara lain memengaruhi pasokan barang di pasar yang tecermin pada harga barang.
Gangguan juga berdampak signifikan jika barang produksi tersebut nantinya diekspor. Ekspor akan terganggu, yang kemudian memengaruhi neraca perdagangan.
Gangguan ekspor bisa berdampak pada pertumbuhan ekonomi, kendati perannya tak sebesar konsumsi rumah tangga. Pada triwulan I-2024, dari pertumbuhan ekonomi tahunan 5,11 persen, ekspor barang dan jasa berperan 0,12 persen.
Adapun barang konsumsi, masih cukup banyak yang diimpor. Pada Januari-April 2024, barang konsumsi yang diimpor senilai 6,89 miliar dollar AS. Nilai ini meningkat 12,55 persen dibandingkan Januari-April 2023.
Mengatasi penumpukan kontainer ini, pemerintah pun merelaksasi aturan izin impor. Sejak Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor terbit, setidaknya sudah ada dua kali perubahan, yakni dengan Permendag Nomor 3 Tahun 2024 dan Permendag Nomor 7 Tahun 2024. Terbaru, diterbitkan Permendag Nomor 8 Tahun 2024 yang merelaksasi pengaturan impor.
Mengutip laman Kementerian Perdagangan, Minggu (19/5), dengan relaksasi tersebut, pertek tidak lagi diperlukan sebagai syarat persetujuan impor komoditas atau barang komersial. Diharapkan, ketiadaan syarat pertek tersebut akan mempercepat proses pengeluaran kontainer berisi barang komersial, atau barang yang diperdagangkan, yang masih menumpuk di pelabuhan.
Di tengah gempuran barang impor dan upaya meningkatkan peran produksi dalam negeri, barang impor perlu dibatasi. Namun, langkah tersebut tak bisa parsial atau sepotong-sepotong. Rumuskan kebijakan dan langkah bersama yang membatasi impor, khususnya barang yang sudah bisa diproduksi di dalam negeri. Rumuskan juga kebijakan dan langkah yang menggairahkan industri dalam negeri.