Gerakan Literasi Desa
Penguatan literasi desa melalui pengembangan perpustakaan desa akan berdampak terhadap afirmasi desa maju dan mandiri.
Tanggal 17 Mei diperingati sebagai hari jadi Perpustakaan Nasional sekaligus Hari Buku Nasional. Peringatan pada tahun ini menjadi spesial karena ada pencanangan Gerakan Literasi Desa sebagai gerakan sosial dan juga pemanfaatan anggaran desa untuk pengembangan perpustakaan desa, taman bacaan masyarakat, atau nama lainnya untuk percepatan kegemaran membaca dan literasi masyarakat.
Sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, perpustakaan bertujuan memberikan layanan kepada pemustaka, meningkatkan kegemaran membaca, serta memperluas wawasan dan pengetahuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kualitas warga desa menjadi bagian legitimasi otonom bagi desa. Ini sejalan dengan semangat UU Nomor 3 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa melalui penajaman terhadap konseptual, filosofis, hingga operasional untuk kemajuan dan kemandirian desa yang berkelanjutan menuju masyarakat berpengetahuan.
Baca juga: Menuju Desa Berdaulat Desa Berbudaya
Selama periode 2015-2023, dana desa telah digelontorkan sebesar Rp 538 triliun. Namun, tingkat ketimpangan desa masih tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, indikator kemiskinan desa dari 13,76 persen pada 2024 menjadi 12,36 persen pada 2023, atau hanya berkurang 1,4 persen selama 10 tahun terakhir.
Lambatnya perbaikan indikator tersebut disebabkan tata kelola yang belum baik, kewenangan desa belum dimanfaatkan secara penuh, inovasi rendah akibat kapasitas warga desa rendah. Penyebabnya ialah akses informasi dan pengetahuan belum memadai sehingga tidak cakap dalam hidupnya.
Ketidakhadiran masyarakat berpengetahuan adalah akibat belum maksimalnya pemanfaatan dan akses sumber bacaan berkualitas untuk mendorong kecakapan hidup.
Padahal, desa amat berpotensi dan strategis dalam akselerasi pencapaian tujuan SDGs Desa, yaitu pembangunan inklusif dan berkelanjutan yang memiliki dampak ganda dalam penanggulangan masalah sosial ekonomi masyarakat. Kenyataan, masalah kemiskinan dan tengkes (stunting) masih menghantui masyarakat desa.
Penyebabnya ialah akses informasi dan pengetahuan belum memadai sehingga tidak cakap dalam hidupnya.
Sungguh paradoks, sumber daya alam sangat melimpah, tetapi belum dapat dimanfaatkan secara maksimal karena rendahnya pengetahuan masyarakat. Perpustakaan desa sebagai ruang terbuka untuk belajar kontekstual, berbagi pengalaman, dan peningkatan keterampilan hidup menjadi perlu dibangun secara masif dan terstruktur.
Faktanya, pemenuhan akses informasi dan ilmu pengetahuan melalui perpustakaan desa masih rendah. Dari 83.971 desa/kelurahan, baru 17.429 atau 20,76 persen desa/kelurahan yang memiliki perpustakaan (Perpusnas, 2022).
Upaya penguatan masyarakat desa dalam peningkatan kecakapan hidup telah terbukti berhasil seperti China melalui gerakan Satu Desa, Satu Produk. India menjadi pengekspor beras terkemuka di dunia, menyumbang lebih dari 40 persen perdagangan beras global (CNBC, 2023), di mana pemerintah berinisiatif untuk mendorong pembangunan perdesaan dengan potensi lokal yang dimiliki untuk menghasilkan keunggulan produk desa.
Darurat literasi
Presiden Joko Widodo selalu mengingatkan, kesempatan bonus demografi 2045 merupakan kesempatan emas bagi Indonesia melompat menjadi negara maju. Tentu, kecakapan literasi menjadi hal yang esensial dan fundamental. Kecapakan literasi menjadi kemampuan individu dalam era destruktif agar dapat bertahan.
Pelaksana Tugas Kepala Perpustakaan Nasional Aminudin Aziz dalam Rapat Koordinasi Nasional Bidang Perpustakaan, 14-15 Mei 2024, di depan semua kepala dinas perpustakaan menyampaikan kebijakan menata ulang konsep dan praktik pembangunan literasi.
Literasi merupakan kemampuan seseorang dalam memaknai informasi, baik berupa teks maupun nonteks, yang berdampak pada berpikir kritis untuk meningatkan kualitas hidupnya. Artinya, literasi tidak hanya soal kemampuan numerik dan berbahasa, tetapi juga kemampuan pemahaman, pemaknaan, evaluasi, dan sintesis informasi untuk kualitas hidup.
Baca juga: Kemudahan Akses dan Budaya Membaca Mengungkit Literasi
Rendahnya literasi Indonesia menjadi perhatian khusus Komisi X DPR dengan dibentuknya Panitia Kerja Literasi dan Tenaga Perpustakaan tahun 2023. Berdasarkan temuan dan catatan Ketua Panja Abdul Fikri Faqih dalam buku Darurat Literasi Indonesia: Urgensi Reformulasi Sinergi dan Kolaborasi (DPR, 2024), betapa pentingnya kehadiran budaya membaca dan literasi untuk menuju keberdayaan Indonesia masa akan datang.
Kemampuan literasi sebagai kompetensi penting harus dimiliki oleh setiap manusia pada perkembangan teknologi dan era globalisasi. Sayangnya, kemampuan numerasi dan literasi siswa Indonesia masih rendah.
Hasil survei Program Penilaian Pelajar Internasional (PISA) yang dilakukan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) pada 2022 menunjukkan, meski hasil PISA Indonesia 2022 naik 5-6 peringkat dibandingkan pada 2018, siswa Indonesia masih mendapat nilai rata-rata kemampuan numerasi dan literasi di bawah rata-rata OECD.
Selaras dengan kajian Tingkat Gemar Membaca (TGM) tahun 2023, Perpustakaan Nasional menyimpulkan kegemaran membaca di Indonesia meningkat, dari nilai 63,94 pada 2022 menjadi 66,77 pada 2023. Ini masuk kategori sedang, dengan buku yang dibaca sebanyak lima buku dalam triwulan dan lama membaca 1,47 menit per hari.
Literasi tidak hanya soal kemampuan numerik dan berbahasa, tetapi juga kemampuan pemahaman, pemaknaan, evaluasi, dan sintesis informasi untuk kualitas hidup.
Sementara itu, hasil kajian Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat Indonesia (IPLM) tahun 2023 menyebutkan, rasio ketercukupan koleksi dengan rasio 1:11. Artinya, satu buku untuk 11 orang per kapita per tahun.
Tentu, kondisi ini belum mencapai target ideal menurut International Federation of Library Association (IFLA), yakni satu orang untuk dua judul buku per kapita per tahun. Ketercukupan bacaan sebesar 0,32 persen dan pemerataan layanan perpustakaan sebesar 0,43 persen.
Kesimpulannya, infrastruktur dan akses layanan perpustakaan serta rasio ketersediaan buku dengan penduduk masih rendah. Hal inilah menjadi penyebab belum membaiknya kecakapan literasi di Indonesia.
Barbara Tuchman, sejarawan dan penulis Amerika Serikat, mengatakan pentingnya buku. ”Buku adalah pengusung peradaban. Tanpa buku, sejarah diam, sastra bungkam, sains lumpuh, pemikiran macet. Buku adalah mesin perubahan jendela dunia.”
Buku sebagai pintu pengetahuan perlu terus ditumbuhkan sebagai bagian dari kemajuan masa lalu, kini, dan akan datang. Karena itu, Pemerintah Indonesia meletakkan fondasi kuat terhadap upaya pemajuan perbukuan di Tanah Air.
Peningkatan literasi masyarakat menjadi prioritas dalam RPJMN 2020-2024, menitikberatkan pada upaya pembangunan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Sayangnya, program literasi ini belum dilaksanakan secara holistik dan integratif antara kementerian/lembaga, pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota serta desa.
Tidak terbantahkan bahwa dampak ganda literasi dalam sosial ekonomi sangat berperan penting. Persoalan kemiskinan, tengkes yang masih menghantui bangsa ini, tentu tidak hanya faktor kemiskinan ekonomi semata. Penyebab utama adalah kemiskinan informasi dan pengetahuan sehingga masyarakat tidak berdaya.
Kebijakan peningkatan kacakapan literasi tahun 2024, Perpustakaan Nasional melakukan restrukturisasi program dengan fokus pada penguatan literasi desa.
Sejak 2018 Perpustakaan Nasional dan sebagian pemerintah daerah telah mengembangkan program transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial di 3.625 desa. Dampak program ini sangat menggembirakan dalam peningkatan sosial ekonomi masyarakat perdesaan.
Hasil evaluasi tahun 2022 menunjukkan terjadi penguatan kegemaran dan literasi masyarakat sangat efektif ditandai dengan analisis dampak return on investment dengan rasio 2,30. Artinya, satu rupiah dikeluarkan investasi literasi memberi keuntungan Rp 2,30. Demikian juga perbaikan terhadap peningkatan pembelajaran yang baik, yakni 85 persen membaca di perpustakaan, 96 persen mengalami peningkatan minat baca, 85 persen prestasi akademik meningkat.
Perpustakaan desa dan TBM
Kebijakan peningkatan kacakapan literasi tahun 2024, Perpustakaan Nasional melakukan restrukturisasi program dengan fokus pada penguatan literasi desa. Program ini merupakan kerja sama dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) serta Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi melalui pemanfaatan dana desa untuk buku bermutu dan pemanfaatan perpustakaan dan pembudayaan kegemaran membaca.
Perpustakaan Nasional akan membangun 10.000 perpustakaan desa/taman baca masyarakat (TBM) dengan sasaran peningkatan kapasistas literasi anak (siswa) dan keterampilan hidup masyarakat desa. Perpusnas menyediakan 10 juta buku bermutu dan buku keterampilan hidup (life skill) melalui program transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial, termasuk strategi keberlanjutan pemanfaatan.
Strategi keberlanjutan pemanfaatan tersebut melalui, pertama, peningkatan kapasitas pengelola dan pendamping literasi. Ini dilakukan melalui pembekalan pelatih ahli, fasilitator daerah, bimbingan teknis pengelola perpustakaan, pendampingan, pertemuan penguatan keterampilan pengelola perpustakaan.
Kedua, penguatan ekosistem. Pertemuan pemangku kepentingan tingkat nasional melalui pertemuan pemangku kepentingan tingkat provinsi, pendampingan tim sinergi provinsi.
Ketiga, pemanfaatan perpustakaan dan pembudayaan minat baca, membaca nyaring, resensi buku, sepekan satu buku, membacakan cerita.
Keempat, sarana dan prasarana literasi, yaitu dukungan koleksi buku berkualitas sesuai dengan minat dan kebutuhan masyarakat.
Kelima, publikasi, yaitu pembangunan kesadaran literasi melalui media cetak, media sosial.
Gerakan literasi saat ini telah menjadi isu pembangunan yang perlu terus didorong secara kolaboratif. Strategi pengembangan perpustakaan desa dan TBM untuk mewujudkan masyarakat yang literat perlu dikembangkan dan diperjuangkan melalui gerakan sosial kegemaran membaca dan literasi dengan melibatkan semua komponen bangsa, baik pemerintah daerah, masyarakat, tokoh agama dan dunia usaha (penerbit), pegiat literasi, pemengaruh (influencer), maupun pilantrofi.
Baca juga: Kemajuan Budaya Literasi Bangsa Butuh Panduan
Sebagai contoh, TBM Komunitas Gada Membaca Kecamata Malawi Ciamis yang diinisiasi Agus Munawar. Di sana, perpustakaan dijadikan sebagai ruang belajar kontekstual, peningkatan keterampilan, tempat diskusi, dan berbagi pengalaman antarwarga desa dengan melibatkan para pemangku kepentingan desa, yakni masyarakat, tokoh agama dan adat, kepala desa, dan sukarelawan literasi sehingga mampu bertransformasi membangun ekosistem yang berkelanjutan sebagai pusat aktivitas dan inovasi masyarakat desa.
Strategi penguatan literasi desa melalui pemanfaatan anggaran dana desa 2024 seiring dengan terbitnya Permendes dan PDTT Nomor 3 Tahun 2024 tentang Taman Bacaan Masyarakat. Kemudian, terbitnya Surat Edaran Bersama Menteri Desa dan PDTT dengan Kepala Perpustakaan Nasional Nomor 2 Tahun 2024 tentang Peningkatan Budaya Literasi Melalui Taman Bacaan Masyarakat/Perpustakaan Desa.
Surat edaran tersebut menjadi payung hukum dalam pemanfataan anggaran dana desa untuk peningkatan literasi warga desa. Ini meliputi, pertama, pembangunan, rehabilitasi, pemeliharaan, pengelolaan dan peningkatan TBM, perpustakaan desa, atau nama lain yang serupa. Kedua, meningkatkan nilai budaya literasi. Ketiga, mewujudkan SDGs Desa. Keempat, pendidikan desa yang berkualitas.
Kebijakan penguatan literasi desa melalui pengembangan perpustakaan desa dan TBM melalui kolaborasi antarpemangku kepentingan akan berdampak terhadap afirmasi desa maju dan mandiri, yakni indeks pembangunan desa serta kecakapan literasi masyarakat, sehingga terbentuk masyarakat berpengetahuan, kreatif, inovatif, dan produktif.
Adin Bondar, Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan, Perpustakaan Nasional