Kendaraan Hidrogen, Alternatif Kendaraan Listrik
Untuk sektor transportasi, di samping baterai kendaraan listrik, hidrogen berkecenderungan kuat jadi energi andalan.
”Sebagus apa pun mobil pejabat, tetapi kalau bukan mobil listrik, tidak bisa masuk IKN,” demikian seloroh seorang pejabat yang terekam di video Youtube.
Barangkali yang dimaksudkan adalah hanya mobil bebas/tanpa emisi yang boleh masuk Ibu Kota Nusantara atau IKN. Mobil bebas emisi bukan hanya mobil listrik, melainkan juga mobil hydrogen fuel cell atau HFC. IKN layak menjadi proyek percontohan kota hijau cerdas tanpa/rendah emisi.
Moral, etika, dan komitmen terhadap keberlanjutan (sustainability) serta perubahan iklim telah mendorong terbangunnya paradigma ekonomi hijau dan gerakan transisi energi. Perubahan iklim sama sekali bukan merupakan bentuk perubahan yang dikehendaki, melainkan untuk dimitigasi dan diminimalkan, baik faktor penyebab maupun dampaknya.
Energi baru/terbarukan (EBT) tengah hadir menjadi game changer baik di sektor pembangkitan listrik, industri, maupun transportasi. Untuk sektor transportasi, di samping baterai kendaraan listrik, hidrogen berkecenderungan kuat jadi energi andalan yang akan menggantikan bahan bakar minyak. Ketersediaan hidrogen cukup melimpah di alam semesta kendati bukan tak terbatas sama sekali.
Baca juga : Laju Adopsi Mobil Hidrogen Hijau
Dengan fuel cell, gas atau likuida hidrogen dipisahkan menjadi ion proton dan elektron oleh katalis di dalam anode fuel cell itu, serta direaksikan dengan oksigen, menghasilkan listrik, panas, dan uap air. Tenaga listrik ini lalu disalurkan melalui sirkuit listrik untuk menggerakkan motor listrik (electric motor) dan roda kendaraan sehingga kendaraan FCH juga termasuk kendaraan listrik, tetapi dengan bahan bakar hidrogen, bukan baterai kendaraan listrik.
Di sektor penerbangan komersial, kabar baik datang dari Arlington, Virginia, Amerika Serikat, tahun lalu, sebuah pesawat FCH terbesar telah berhasil diuji coba terbang oleh start up ZeroAvia yang mengembangkannya. Pesawat Bombardier Q400 Turboprop itu berasal dari Alaska Airlines yang menghibahkan pesawat yang dipensiunkan dan lalu dikonversi dari mesin berbahan bakar avtur menjadi FCH.
Sebelumnya pada Januari 2023, start up itu berhasil menguji coba terbang pesawat Dornier 228 yang dikonversikan ke FCH. Start up lainnya, Universal Hydrogen, pada Maret 2023 berhasil melakukan uji coba terbang pesawat berkapasitas 50 penumpang De Havilland Dash 8-300 yang juga hasil konversi serupa.
EV vs ”hydrogen fuel cell”
Hingga saat ini, kendaraan listrik (all in electric vehicle/EV) unggul di pasaran internasional daripada kendaraan berbahan bakar hidrogen (hydrogen fuel cell electric vehicle/H2FC). Sebab, biaya kepemilikan total (total cost of ownership/TCO) H2FC jauh lebih tinggi ketimbang kendaraan listrik. Sementara, TCO kendaraan listrik berkecenderungan masih lebih tinggi daripada TCO kendaraan BBM pada kelas dan jenis kendaraan setara.
Kendaraan listrik dan H2FC sama-sama kendaraan bermotor beremisi nol . Jika harga beli kendaraan bermotor beremisi nol tak jauh berbeda dari kendaraan BBM dan biaya operasionalnya jauh lebih rendah, terutama biaya bahan bakarnya, baik konsumen maupun penyedia transportasi publik akan terdorong beralih ke kendaraan bermotor beremisi nol.
Kompas, 6 Oktober 2022, menyajikan hasil kajian yang menunjukkan TCO mobil listrik selama lima tahun Rp 640,9 juta dan mobil BBM Rp 517,3 juta sesuai level harga BBM saat itu. Dengan jarak tempuh 100.000 kilometer, berarti TCO mobil listrik Rp 6.409/km dan mobil BBM Rp 5.173/km.
Bagaimana dengan mobil FCH? Mobil fuel cell kelas MPV buatan China, Maxus MIFA keluaran 2022, dibanderol setidaknya 100.000 dollar AS. Dengan kurs Rp 15.000/dollar AS, harga itu setara Rp 1,5 miliar, dan dengan kurs saat ini setara Rp 1,6 miliar, belum termasuk biaya operasional per tahun.
Indonesia punya keunggulan komparatif dalam produksi hidrogen berbasis gas alam dan/ atau gasifikasi batubara daripada Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan, dan sesama negara anggota ASEAN.
Dari angka-angka ini, TCO H2FC bisa lebih dari Rp 20.000/km, diklaim hanya butuh 0,01 kg hidrogen per km, sementara Kijang Innova diesel dengan 1 liter dapat menempuh jarak 15 km, atau 0,07 liter/km, dan MPV mobil listrik 0,19 kWh/km. Jika dirupiahkan pada nilai sekarang, biaya bahan bakar Innova diesel (Pertamina Dex) Rp 1.057/km, MPV mobil listrik Rp 703/km, dan MPV FCH (PLN) Rp 345/km.
Untuk kendaraan kelas bus, hasil penelitian Kim dkk (2021) di Eropa, yang dimuat di Energies, 2021, 14, 4384, menunjukkan TCO bus FCH 2 euro/km, bus listrik 1,56 euro/km, dan bus diesel (1,17 euro/km). Satu euro sekitar Rp 17.250.
Konsumsi energi bus FCH 0,06 kg/km, bus listrik 1,3 kWh/km, dan bus diesel 0,33-0,5 liter/km. Jika dirupiahkan, biaya bahan bakar bus FCH (harga PLN) Rp 2.079/km, bus listrik Rp 4.810/km, dan bus diesel Rp 3.400/km.
Kendati harga dan biaya bahan bakar hidrogen relatif murah di Indonesia, TCO mobil FCH dapat dipastikan jauh lebih tinggi dari TCO mobil listrik dan BBM di kelas setara.
Harga kendaraan FCH sebagai komponen utama TCO masih ”selangit”. Harga SUV Mirai Jepang, misalnya, lebih dari 58.000 dollar AS, Honda Clarity Fuel Cell 59.000 dollar AS, dan Hyundai Nexo 60.000 dollar AS. Kelas MPV lebih mahal lagi, setidaknya 100.000 dollar AS.
Di kendaraan hidrogen kelas bus besar, Toyota Sora AC Syncronous mematok harga Rp 9 miliar-Rp 10 miliar. Di AS, harga bus FCH 1,2 juta dollar AS dan bus listrik 750.000 dollar AS. Bandingkan dengan bus listrik buatan Mobil Anak Bangsa (MAB) yang Rp 5 miliar dan BYD K-9 low deck buatan China sekitar Rp 5,3 miliar. Sementara bus diesel Hino RM280 ABS Euro4 yang dipermak karoseri lokal menjadi SHD (superhigh deck) berkapasitas 52 tempat duduk hanya Rp 2,2 miliar.
Implikasinya, bagi pengusaha transportasi swasta, untuk beralih menggunakan bus listrik harus berpikir berkali-kali, terlebih untuk beralih ke bus FCH dari bus diesel.
Selain skala ekonomi, tingginya harga kendaraan FCH saat ini juga karena dua faktor lain. Pertama, kendaraan FCH butuh tangki bahan bakar ”superkhusus” yang bisa menyimpan gas hidrogen terkompresi bertekanan tinggi secara aman atau tangki kriogenik jika bahan bakar hidrogen berbentuk cair.
Kedua, material yang dipakai dalam peranti fuel cell stack, khususnya platina, relatif mahal. Selain platina, material lain yang krusial untuk katalis FCH adalah kobalt nitride, nikel, lantanum, besi, dan paladium.
Namun, alasan-alasan itu masih debatable karena harga baterai kendaraan listrik pun mahal. Maka, tantangan utama secara global adalah mendorong pencapaian skala ekonomi yang dapat menurunkan biaya produksi dan harga kendaraan FCH di pasar internasional.
BRIN dan Kemendikbudristek serta universitas perlu berpartisipasi dengan riset dan pengembangan bahan bakar hidrogen berbahan baku air laut yang ketersediaannya jauh lebih banyak ketimbang air tawar.
Pasar dan ekosistem baru
Secara faktual, pasar kendaraan hidrogen belum eksis di Indonesia. Hydrogen refueling station atau stasiun pengisian hidrogen (SPH) baru ada satu, milik PLN di Senayan, Jakarta, dan baru buka Februari 2024.
Maka, misi utama para pemangku kepentingan adalah menciptakan pasar baru itu. Sebagai entry point adalah dengan merintis terbentuknya ekosistem kendaraan hidrogen untuk mengamankan rantai pasok bahan baku/komponen dan bahan bakar kendaraan hidrogen.
Kendati bisnis intinya penyediaan energi listrik, dari 21 unit PLTU/PLTGU-nya PLN telah membangun pabrik hidrogen dengan bahan baku gas alam berkapasitas produksi total 199 ton/tahun. Hidrogen PLN diklaim green hydrogen karena proses produksinya menggunakan PLTS. PLN membanderol produk hidrogennya cukup murah, yaitu 2,3 dollar AS/kg.
Dari berbagai literatur diketahui, melalui proses elektrolisis (proton exchange membrane), untuk membuat 1 kg hidrogen perlu air 9-10 liter dan listrik 40-50 kWh. Sementara, dengan proses steam reforming, untuk membuat 1 kg hidrogen perlu gas alam 165 megajoule atau setara 3,3 kg, listrik 0,13-1,1 kWh, dan air 22 liter. Jika dengan gasifikasi batubara, perlu 7,8 kg batubara, listrik 1,72 KWh, dan air 2,91 liter.
Indonesia punya keunggulan komparatif dalam produksi hidrogen berbasis gas alam dan/ atau gasifikasi batubara daripada Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan, dan sesama negara anggota ASEAN. Harga green hydrogen di Eropa 5-8 euro/kg. Namun, gas alam bukan sumber daya yang berkelanjutan. Dalam jangka panjang, PLN atau produsen lain (Pertamina) harus menggunakan sumber bahan baku berkelanjutan, yakni air, termasuk air laut.
Sebagai perintis penyediaan bahan bakar hidrogen, PLN dan Pertamina bisa dan perlu membangun ekosistem kendaraan FCH dengan Toyota, Hyundai, dan mungkin pabrikan China. Pemerintah dan PLN bisa segera menyiapkan rencana jejaring SPH dan jejaring distribusi lainnya di titik-titik strategis. Investor enggan hadir jika prasarana pendukung belum siap.
PLN bisa menambah jumlah pabrik hidrogen dan SPH, misal di PLTU Tarahan, Lampung, yang memungkinkan bus AKAP jurusan Jakarta-Lampung mengisi bahan bakar di dua titik, Jakarta dan Lampung.
Di wilayah Jawa Tengah/DIY perlu disiapkan lokasi-lokasi SPH untuk mengantisipasi pengembangan transportasi berbasis hidrogen. Demikian pula di Kalimantan, transportasi bus jarak jauh berbasis hidrogen bisa dirintis pada rute Tanjung Selor-Balikpapan-IKN, Palangkaraya-Kutai Kartanegara-IKN, dan lainnya. Bus FCH memiliki jarak jelajah 450 km.
Pengadaan kendaraan FCH oleh pemerintah dan BUMN, baik untuk kepentingan transportasi publik jarak jauh maupun angkutan logistik, bisa dipandang sebagai strategi awal menciptakan demand yang mendorong transisi energi. Kendaraan FCH perlu diperkenalkan/disosialisasikan dan dipromosikan ke masyarakat.
Instrumen lain adalah subsidi. Sebagaimana kendaraan listrik, insentif bisa berupa subsidi pembelian kendaraan berbahan bakar hidrogen, keringanan pajak kendaraan bermotor berbahan bakar hidrogen, pembebasan pajak impor, tax holiday investasi, dan lainnya.
Pada waktunya, pemerintah bisa memberikan subsidi pembelian bus FCH ke operator bus AKAP, baik BUMN maupun swasta. Sementara, transportasi publik berenergi bersih perkotaan cukup dilayani dengan KRL/MRT/LRT dan bus listrik.
BRIN dan Kemendikbudristek serta universitas perlu berpartisipasi dengan riset dan pengembangan bahan bakar hidrogen berbahan baku air laut yang ketersediaannya jauh lebih banyak ketimbang air tawar. Di samping itu, suatu konsorsium kendaraan berbasis hidrogen juga perlu dibentuk.
Tantangan inovasi terbuka amat luas. Para ahli kita dapat fokus ke bidang tertentu, misal menciptakan lokomotif fuel cell bahan bakar hidrogen, sehingga nantinya kereta api jarak jauh seluruhnya berbasis energi bersih ini, di samping kereta cepat jarak jauh bertenaga listrik.
Keberadaan kendaraan berbasis hidrogen akan saling melengkapi dengan kendaraan listrik, terutama untuk moda transportasi jarak jelajah lebih jauh dan durasi pengisian bahan bakar secara cepat.
Pemerintah sebagai regulator perlu menyiapkan rancangan regulasi kendaraan berbasis hidrogen sehingga ketika kendaraan berbasis hidrogen hadir sebagai moda transportasi tidak timbul situasi yang unregulated’ atau kekosongan institusional (institutional void).
Dari perspektif New Institutional Economics, dibutuhkan desain institusional (regulasi/kebijakan/insentif-disinsentif fiskal-nonfiskal) yang tepat beserta implementasi dan penegakan regulasi yang bisa menstimulasi inovasi, percepatan transisi energi, dan terciptanya pasar kendaraan hidrogen.
Wihana Kirana JayaStaf Khusus Menteri Perhubungan dan Guru Besar FEB-UGM