Persepsi bangsa kita yang berdampak pada motivasi hidup perlu diperbarui, seiring perkembangan teknologi dan informasi.
Oleh
MUHAMAD SATOK YUSUF
·4 menit baca
Tren penggunaan media sosial semakin meningkat semenjak pandemi Covid-19. Tiktok menjadi teman setia semua kalangan saat kebijakan pembatasan sosial (lock down) ditetapkan pemerintah. Walaupun Covid-19 telah dianggap sebagai epidemi sejak 21 Juni 2023, sebagaimana dilansir dari laman Kementerian Kesehatan RI, nyatanya kebiasaan menonton Tiktok masih terbawa hingga kini.
Kecepatan penyebaran informasi di media sosial tersebut sangat tinggi. Jika boleh saya bandingkan, setara dengan penyebaran informasi di media sosial X. Keunggulan Tiktok dibandingkan dengan media sosial lain adalah cara penyampaian informasi yang menggabungkan audio, visual, dan video sehingga menarik perhatian dan lebih menjangkau pemahaman di seluruh kalangan.
Mirisnya, penyebaran konten informasi di media sosial tersebut sering kali menjadikan hal-hal penting sebagai candaan. Saya sebagai pengguna Tiktok turut terhibur dengan konten-konten yang mengundang gelak tawa, tetapi ada kalanya harus menyayangkan konten-konten yang memperlihatkan minimnya literasi di kalangan kita.
Salah kaprah tentang konten ”survei jumlah laki-laki yang tidak merokok tersisa 5 persen di Indonesia” menunjukkan lemahnya literasi kita. Berbekal kata-kata ”survei” tanpa mencantumkan sumbernya, pengguna Tiktok laki-laki beramai-ramai mengunggah video ”saya bangga sebagai bagian 5 persen”.
Padahal, survei tersebut dicomot dari artikel Nisa N Salsabila, dkk berjudul ”Gambaran Kebiasaan Merokok di Indonesia Berdasarkan Indonesia Family Life Survey 5 (IFLS 5)” (2022) tanpa memperhatikan karakter data. Nisa melampirkan tabel bahwa jumlah laki-laki perokok di Indonesia mencapai 95 persen, sedangkan perempuan perokok berjumlah 5 persen.
Cobalah mengetik kata kunci di fitur pencarian Tiktok tentang ”Ken Arok Cambridge”, maka Anda menemukan video meme ”Saat Ken Arok mendirikan kerajaan pada 1222, Universitas Cambridge telah berdiri 13 tahun sebelumnya. Seandainya diberi kesempatan, Ken Arok bisa kuliah di Cambridge”.
Tetapi, ada kalanya harus menyayangkan konten-konten yang memperlihatkan minimnya literasi di kalangan kita.
Konten ini memang terkesan lucu, membandingkan peradaban di bumi Indonesia dengan belahan Eropa. Warganet juga merespons konten dengan aneka komentar pengandaian bahwa Indonesia akan semaju Eropa ketika Ken Arok berkuliah di Cambridge.
Ada pula konten bule-bule yang mengeruk jumlah viewers melalui konten ”Aku cinta Indonesia”, ”Bule nyobain budaya Indonesia”, ”Bule berjilbab saat Ramadan di Indonesia”, dan sejenisnya. Memang tidak ada yang salah dengan konten tersebut. Namun, warganet kita terkesan overproud dengan konten-konten mereka.
Bermodal embel-embel ”Indonesia”, kita mendewakannya. Padahal, hanya sedikit keuntungan yang kita rasakan dibandingkan dengan jumlah uang yang mereka dapatkan melalui monetisasi konten. Jumlah penduduk kita yang menempati urutan keempat terbesar di dunia menjadi lahan basah bagi kreator konten.
Mentalitas Eropasentris
Tanpa kita sadari, konten hiburan tersebut sebenarnya merefleksikan pemikiran kita yang masih terkungkung pandangan Eropasentris. Kemajuan Eropa dipuja, sedangkan pengetahuan kita dianggap tertinggal jauh. Padahal, jika kita telisik lebih dalam, banyak sekali bukti sejarah dan arkeologis yang menunjukkan kemajuan pengetahuan kita sejak masa Hindu-Buddha.
Sebut saja pengetahuan tentang penggunaan simbol angka nol seperti yang kita gunakan hari ini diprakarsai Kerajaan Sriwijaya melalui penulisan tahun 608 pada prasasti Kota Kapur. Pengetahuan matematika dan astronomi kita juga sangat maju kala itu.
Ketika bangsa Eropa menetapkan satuan waktu: detik, menit, jam, hari, bulan, dan tahun, bangsa kita telah menetapkan 15 jenis satuan waktu menggunakan perhitungan perbintangan yang rumit. Satuan waktu tersebut menjadi kewajaran dalam penulisan tanggal prasasti di Jawa Kuno pada abad XI-XV.
Pun, jika kita setarakan situasi Universitas Cambridge pada masa hidup Ken Arok, institusi pendidikan tersebut masih bersifat lembaga pendidikan agama. Lembaga semacam ini telah hadir di Indonesia sejak abad VIII di Sumatera, Jawa, dan Bali. Para arkeolog dan sejarawan menyebutnya sebagai karesian, kadewaguruan, dan kuti wihara, sedangkan kita mengenalnya sebagai pedepokan.
Istilah pedepokan dalam pandangan modern mungkin dianggap sederhana, tempat guru mengajarkan ilmu silat, rohani, atau hal-hal mistis. Siapa sangka, pedepokan ala Hindu-Buddha sebanding, mungkin lebih maju dibandingkan dengan Universitas Cambridge pada abad XII.
Seleksi para profesor (maharesi), dosen senior (pamanguywan, pangubwanan), dan dosen yunior serta murid (kaki, endang, tapaswi) di Jawa Kuno dilakukan secara ketat dalam waktu bertahun-tahun. Ada kalanya keterbatasan jumlah profesor memaksa dosen yunior menjadi mahaguru di karesian, seperti kasus di karesian Subhasita pada masa Kerajaan Kediri tahun 1198.
Kesetaraan hak laki-laki dan perempuan dalam menimba dan mengembangkan ilmu pengetahuan di Jawa Kuno telah dijunjung tinggi. Hariani Santiko dalam tulisannya, Agama dan Pendidikan Agama pada Masa Majapahit (2012), menyatakan bahwa ilmuwan laki-laki bergelar pamanguywan, sedangkan ilmuwan perempuan bergelar pangubwanan.
Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan Universitas Cambridge yang baru mengakui kesetaraan hak perempuan dan laki-laki pada akhir 1940-an, dilansir dari laman Universitas Cambridge, ”The Rising Tide: Women at Cambridge”.
Permasalahan ini menjadi tantangan serius bagi kita bersama. Persoalan mentalitas Eropasentris masih membayangi bangsa kita. Saya tak ingin menyalahkan penjajahan bangsa Eropa yang berlangsung selama 350 tahun. Mungkin, mentalitas babu atau budak dari praktik kolonialisme masih kita warisi, tetapi seharusnya tidak dinormalisasi. Perlu ada kesadaran mental bahwa bangsa kita telah maju sejak lama.
Ulasan ini bukanlah sekadar pengingat romantisisme kejayaan Nusantara pada masa lalu, melainkan juga menjadi refleksi dan teladan bersama. Kita mampu bersaing dengan bangsa lain sejak lama. Seharusnya, kita dapat lebih keren daripada nenek moyang kita.
Pemerintah melalui kewenangannya dapat mengarahkan riset-riset serta materi belajar sejarah dan pendidikan kewarganegaraan yang berhubungan dengan mentalitas bangsa sejak masa kuno. Sebagai contoh, pandangan bahwa nenek moyang kita selama ini hanya dianggap sebagai konsumen produk keramik China, kepeng China, dan makam marmer Cambay. Sudah sepatutnya pandangan tersebut dibalik.
Ulasan ini bukanlah sekadar pengingat romantisisme kejayaan Nusantara pada masa lalu, melainkan juga menjadi refleksi dan teladan bersama.
Nenek moyang kita merupakan bangsa yang makmur. Saking makmurnya, produk mahal dari berbagai belahan dunia mampu dibeli dalam jumlah banyak. Bahkan, Dinasti Ming sempat melarang ekspor kepeng ke Majapahit karena rendahnya kurs kepeng dibandingkan dengan uang emas Jawa dan jumlah kepeng di negeri China telah menipis. Belum lagi temuan makam marmer Cambay di Indonesia merupakan yang terbanyak di dunia, berjumlah 15 unit dari total temuan 27 unit di seluruh dunia.
Memang ”pekerjaan rumah” ini terkesan sepele, tetapi berdampak besar. Persepsi bangsa kita yang berdampak pada motivasi hidup perlu diperbarui, seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi. Apabila mentalitas kita dibina dengan baik, saya yakin impian Indonesia Emas 2045 benar-benar dapat kita rasakan di berbagai bidang.
Muhamad Satok Yusuf, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia